Photobucket
http://i775.photobucket.com/albums/yy38/HUDA_021/cooltext457733964.png

- MUSTHOLAHUL HADITS

BAB I
MACAM-MACAM HADITS BERDASARKAN SIFAT SANAD

1. HADITS MUTTASHIL

Muttashil menurut bahasa asdalah isim fa’il dari kata kerja ittashala lawan kata dari inqatha’a artinya bersambung.
Hadits Muttashil ialah:
ما اتصل سنده، وسلم من الانقطاع، ويصدق ذلك على المرفوع والموقوف .
"Hadits yang bersambungsambung sanadnya dan terhindatr dari terputusnya sanad, dan yanh termasuk dalam hadits ini adalah hadits marfu’ dan mauquf". Persambungan sanad itu dinamai ittishal.
Hadits muttashil tidak harus berupa hadits marfu’, akan tetapi bisa berupa hadits marfu’ atau hadits mauquf yang disandarkan pada shahabat atau tabiin akan tetapi dengan syarat tidak ada sesuatu yang mengindikasikan terputusnya sanad (inqitha’).
Dengan demikian setiap hadits yang munqathi’ tidak bisa dikatakan hadits muttshil baik terputus di permulaan isnad, di akhir isnad maupun diantara keduanya. Maka hadit Mu’allaq, hadits Mu’adlal, hadits mursal dan juga hadits mudallas tidak termasuk dalam kategori hadits muttasil.
Begitu juga tidak termasuk hadits Muttashil apabila seorang perawi menerima hadits dari gurunya dengan melalui salah satu dari dua cara penerimaan hadits yang dlaif.
Hadits muttasil berkaitan dengan sanad bukan pada matan hadits.
Contoh dari hadits yang marfu’ (hadits yang sanadnya berujung langsung pada Nabi Muhammad SAW):
عن جابر قال رسول الله ص. حسن الملكة يمن وسوء الخلق شؤم
Artinya: dari Jabir telah bersabda Nabi SAW: “baik pekerti adalah pelajaran dan buruk kelakuan itu adalah sial” (HR. ibnu asakir).
Hadits diatas dikatakan sebagai Hadits Marfu karena dengan terang-terangan Jabr mengatakan “قال رسول الله”.
Contoh dari hadits Muquf (hadits yang sanadnya terhenti pada para sahabat nabi) :
عن عبد الله بن مسعود قال : لا يقلدن احدكم دينه رجلا فان امن امن وان كفر كفر (رواه ابو نعيم 136:1
Artinya: dari Abdullah (Bin Mas`Ud), ia berkata : “jangan lah hendaknya salah seorang dari kamu taqlid agamanya dari seseorang, karena jika seseorang itu beriman, maka ikut beriman, dan jika seseorang itu kufur, ia pun ikut kufur”. (R. Abu Na`im 1:136).
Abdullah Bin Mas`ud adalah seorang sahabat Nabi, maka ucapan diatas disandarkan kepada Abdullah Bin Masu`ud.
Contoh dari hadits Maqthu’ (yang disandarkan kepada tabi`in atau orang yang berada pada tingakat dibawahnya):
عن عبد الله بن سعيد بن ابي هند قال : قلت لسعيد بن المسيب : ان فلانا اعطس والامام يخطب فشمته فلان. قال : مره فلا يعودن
Artinya: dari Abdillah Bin Sa`Id Bin Abi Hindin, ia berkata: aku pernah bertanya kepada Sa`Id Bin Musaiyib; bahwasanya si fulan bersin, padahal imam sedang berkhutbah, lalu orang lain ucapkan “yarhamukallah” (bolehkan yang demikian?) jawab Sa`Id Bin Musayib “perintahlah kepadanya supaya jangan sekali-kali diulangi”. (al atsar 33).
Sa`id Bin Musayaib adalah seorang tabi`in, dan Hadits diatas adalah Hadits Maqthu. Tidak mengandung hukum.
2. HADITS MUSNAD
Menurut bahasa merupakan isim maf’ul dari kata asnada yang berarti menyandarkan atau menisbahkan.
Hadits Musnad, ialah: "tiap-tiap hadits marfu' yang sanadnya muttashil." Sebagian ulama menamai musnad segala hadits muttashil, walaupun mauquf, atau maqthu'. Dan sebagian yang lain menamai musnad, segala hadits marfu', walaupun mursal, mu'dlal ataupun munqathi'. Pendapat yang pertama, itulah yang terkenal dan terkuat.
Hadits musnad memiliki sifat bersambung (ittishal) dalam sisi matannya dan juga ittishal pada sanadnya. Mak hadits muttashil terkumpul di dalamya dua macam hadits, yaitu hadits muttashil dan marfu’. Maka apabila kriteria kedua macam hadits ini terkumpul dalam suatu hadits maka hadits tersebut dihukumi hadits Musnad.
Dengan demikian suatu hadits dikatakan Hadits musnad apabila terpenuhi dua syarat:
1. Disandarkan pada Nabi
2. Sand-sanadnya muttashil (tidak terputus)
Apabila dijumpai suatu hadits yann sanadnya muttashil namun disandarkan pada sahabat bukan pada Nabi maka tidak bisa dikatakan hadits Musnad. Begitu juga sebalikny, apabila ditemukan suatu hadits yang di sandarkan pada Nabi akan tetapi terdapat sanad yang terputus (munqathi’) maka juga tidak disebut dengan hadits Musnad.
Contoh hadits Musnad:
Hadits yang dikeluarkan oleh Bikhari, yang berkata, “Telah bercerita kepada kami Abdullah bin Yusuf dari Malik dari Abi Zanad dari Al-A’raj dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Jika seekor anjing meminum di dalam bejana kalian, maka cucilah sebanyak tujuh kali.”
Hadits ini sanadnya bersambung dari awal hingga akhir, juga marfu’ sampai kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.
3. HADITS MU’AN’AN
Hadits Mu'an'an. "Hadits yang diriwayatkan dengan memakai lafad "an", yang diriwayatkan secara an'anah, seperti dikatakan: diriwayatkan Abu Hurairah dari Nabi SAW." Sesuatu hadits yang diriwayatkan secara tersebut, maka Muslim hanya mensyaratkan bahwa perawi-perawi itu harus semasa harus mu'asharah. Al Bukhary mensyaratkan orang-orang itu di samping mu'asharah, pernah pula berjumpa satu sama lainnya, yakni diisyaratkan liqa’. Segolongan ulama yang lain mensyaratkan, bahwa orang itu harus pernah mempelajari hadits pada yang selainnya yaitu, 'An'anah yang dibuat oleh seseorang yang terkenal mudallis, tidak diterima.
Pendapat ulama ahli hadits dalam masalah ini terdapat dua fersi:
a) Bahwa hadits yang jalurnya (sanad) itu menggunakan redaksi ‘an (dari) termasuk dalam kategori hadits yang sanadnya muttasil. Akan tetapi hadits mu’an’an untuk bisa dikategorikn sebagai hadits muttasil, harus memenuhi beberapa syarat. Dalam hal-hal syarat ini terdapat dua pendapat:
1) Syarat-syarat yang ditentukan oleh Imam Bukhari, Ali bin al-Madani dan sejumlah ahli hadits lain antara lain:
• Perawi harus mempunyai sifat ‘adalah.
• Harus terdapat hubungan guru murid, dalm artian keduanya harus pernah bertemu.
• Perawi bukan termasuk mudallis.
2) Syarat-syarat yang ditentukan oleh imam muslim, antara lain:
• Perawi harus mempunyai sifat ‘adalah.
• Perawi bukan termasuk mudallis.
• Hubungan antara yang meriwayatkan hadits cukup dengan hidup dalam satu masa dan itu dimungkinkan untuk bertemu
b) Bahwa hadits mu’an’an termasuk dalam kategori hadits mursal. Oleh karena itu hadits mu’anan tidak bisa dijadikan sebagai hujjah.
Ketika redaksi ‘an itu pada tingkat sahabat, terdapat pemilahan. Apabila sahabat itu termasuk sahabat yang sebagian besar hidupnya senantiasa bersama dengan nabi, maka redaksi ‘an sama dengan redaksi sami’tu ((سمعت. Apabila sahabat itu jarang bertemu nabi, maka sanad itu perlu ditinjau ulang .
Contoh hadis mu’an’an:
حدثنا قتيبة بن سعي حدثنا عبد العزيز الدرواردى عن العلاء عن ابيه عن ابى هريرة قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: الد نيا سجن المؤمن وجنة الكافر )رواه مسلم(

4. HADITS MUSALSAL
Musalsal ini, merupakan salah satu sifat yang terdapat pada sanad (rawi) saja. Berlainan dengan Marfu’ yang merupakan salah satu sifat yang terdapat pada matan saja. Sedang shahih merupakan sifat yang terdapat baik pada sanad maupun pada matan. Jika pada rawi-rawi yang menjadi sanad suatu hadits atau pada periwayatannya, terdapat satu sifat atau keadaan yang selalu sesuai, maka hadits yang mempunyai sifat-sifat demikian disebut hadits musalsal (tali-temali).
Secara definitif yang disebut dengan hadits musalsal ialah:
هو ما تتابع فيه رجال الاسناد واحدا واحدا على صفة واحدة او حال واحدة او قول واحد
"Suatu hadits yang rawi-rawi (sanad)-nya Baling mengikuti se¬orang demi seorang mengenai satu sifat, keadaan atau perka¬taan".
Dengan memperhatikan di mana sifat-sifat yang selalu sesuai itu terdapat, maka hadits musalsal dapat diklasifisir kepada:
a. musalsal fi'r-ruwah dan
b. musalsal fi'r-riwayah.
I. Sifat-sifat atau keadaan-keadaan yang selalu sesuai terdapat pada para rawinya, dapat mengenai:
(1) Ucapannya, misalnya hadits Mu'adz bin Jabal yang men¬jelaskan bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda padanya, ujarnya:
يامعاذأحبك افقل فى دبركل صلاة: (اللهم أعنى على ذكرك وشكرك وحسن عبادتك)

“Wahai Mu'adz! Aku cinta padamu. Karena itu, ucapkanlah la akhir setiap salat (doa) ini : Ta Allah, tolonglah aku untuk menzikiri-Mu dan membaguskan ibadahku kepada-Mu".
Rawi-rawi kemudian yang meriwayatkan hadits Mu'adz ini, di kala meriwayatkan kepada orang lain, selalu menggunakan kalimat "uhibbuka" (aku mencintaimu), yang sesungguhnya kalimat itu spesifik pujian Nabi kepada Mu'adz saja.
(2) Perbuatannya, misalnya hadits Abu Hurairah r.a., ujar¬nya:
شبك بيدى أبوالقاسم صلعم وقال : خلق الله الأرض يوم السبت والجبال يوم الأ حد ..الحديث
'Abul-Qasim (Nabi Muhmmad) saw menjejerkan jari-jarinya dengan jari-jariku, seraya bersabda: ‘Allah menjadikan bumi pada hari Sabtu, gunung pada hari Ahad, dan seterusnya”.
Abu Hurairah r.a. dan rawi-rawi selanjutnya, bill meriwayat¬kan hadits, tersebut selalu dengan menjejerkan jari-jarinya de¬ngan jari-jari orang yang diberi riwayat.
(3) Perkataan dan perbuatan bersama-sama. Misalnya hadits Anas r.a., ujarnya:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : (لايجدالعبد حلا وة الاءيمان حتى يؤمن بالقدرخيرة وشره وحلوهومره). وقبض رسول الله صلعم على لحيته وقال (امنت بالقدرخيره وشره وحلوه ومره)

"Seseorang tidak akan mendapatkan kemanisan iman, sehing¬ga ia mempercayai qadar Allah, baik qadar yang baik atau buruk, maupun yang manis atau yang getir". Rasulullah setelah bersabda demikian itu, lalu memegang, janggut Anas dan seraya bersabda: "Aku percaya kepada qodar, baik qadar yang baik atau buruk, maupun yang nth atau yang getir.
Anas r.a. melakukan dan mengatakan persis dengan apa yang dikatakan dan dilakukan oleh Nabi. Demikian juga rawi berikutnya, melakukan demikian di kala meriwayatkan hadits tersebut.
II. Adapun sifat-sifat atau keadaan-keadaan yang selalu sesuai pada periwayatannya (musalsal fi'r-Riwayah) itu, dapat mengenai:
a. shighat meriwayatkan hadits, misalnya apabila masing-masing rawi yang meriwayatkan hadits tersebut selalu menyesuaikan dengan shighat yang dipakai rawi yang pertama, seperti kalau rawi pertama memakai shighat sami'tu / samina haddatsani / haddatsana, akhbarani/ akhbarana dan lain sebagainya, maka rawi yang kemudian pun demikian.
b. Zaman meriwayatkan, misalnya hadits Ibnu 'Abbas r.a., ujarnya:
شهدت مع رسول الله صلعم يوم عيد فطراواضحى، فلما فرغ من الصلاة اقبل علينا بوجهه فقال : ايها الناس قداصبتم خيرا فمن احب ان ينصرف فلينصرف ومن احب ان يقيم حتى يسمع الخطبة فليقم
"Saya hadir bersama Rasulullah saw pada salat Idul Fitri dan Idul Adha. Ketika selesai dari salat beliau memandang kepada kami seraya bersabda: 'Wahai manusia! Kamu sekali¬an telah memperoleh kebaikan. Maka siapa yang ingin pu¬lang, pulanglah dan siapa yang ingin tinggal mendengarkan khotbah, tinggallah!
Hadits tersebut musalsal pada hari raya, yakni setiap rawi yang meriwayatkan hadits tersebut selalu di saat-saat hari raya fitri atau Adha.
c. Tempat meriwayatkan, misalnya hadits Ibnu 'Abbas r.a. tentang doa yang mustajab, yang diucapkan di suatu tempat tertentu, yang disebut dengan Multazam. Kata Ibnu 'Abbas ra :

ماد غاأحدفى هذاالملتزم إلااستجيب له. وقال ابن عباس : وانا ماعوتالله فيه الا استجيب لى
Tidaklah seorang mendoa di Multazam ini, kecuali selalu di¬kabulkan. Ibnu 'Abbas selanjutnya berkata: Aku tidak mendoa kepada Allah di tempat ini, selain selalu dikabulkannya.
Demikianlah setiap rawi yang mendoa di tempat tersebut, se¬lalu dikabulkan-Nya.
Hukum Hadits Musalsal itu adakalanya:
1. Sifat musalsalnya tidak shahih, tetapi matannya shahih. Seperti hadits musalsal-musabbakah (menjejerkan jari-jari) tertera di atas menurut pendapat As-Sakhawy, matannya ada¬lah shahih, karena terdapat di dalam kitab shahih Muslim, sedang tasalsulnya menjadi masalah yang diperbincangkan oleh seluruh ulama.
2. Sifat tasalsul dan matannya tidak shahih. Misalnya seper¬ti hadits yang ditakhrijkan oleh Ibnu 'Atha' dalam kitab Miftahul Falah:
بالله العظيم لقد حدثنى جبريل اوقال : باالله العظيم لقد حدثنى اسرافيل اوقال : قال الله تبارك وتعالى : يااسرافيل بعزتى وجلالى وجودى وكرمى من قرأ بسم الله الرحمن الرحيم متصلا بفاتحة الكتاب مرة واحدة اشهدوا على، انى قد غفرت له وقبلت منه الحسنات وتجاوزت عنه السيئات، ولا احرق لسانه فى النار واجيره من عذاب القبر وعذاب النار وعذاب القيامة والفزع الاكبر، ويلقانى قبل الانبياء والاولياء اجمعين
"Demi Allah Yang Mahaagung, sungguh Jibril telah bercerita padaku, ujarnya: Demi Allah Yang Mahaagung, sungguh Mikail telah bercerita kepadaku, ujarnya: Demi Allah Yang Mahaagung, sungguh Israfil telah bercerita kepadaku, ajar. nya: Allah Tabaraka wa Ta'ala berfirman: Wahai Israfil, dengan kegagahan-Ku, keagungan-Ku, kedermawanan-Ku dan kemurahan-Ku, maka barang siapa yang membaca basmalah terus disambung dengan al-Fatihah sekali, saksikanlah pada-Ku, bahwa Aku mengampuni dosa-dosanya, menerima keba¬jikannya, menghapus kejelekannya, tidak Kuhanguskan lidahnya dengan api, Kuhapus siksa kuburnya, siksa nerakanya, siksa hari kiamatnya, kegelisahannya dan dapat menemui Aku sebelum para Nabi dan wall seluruhnya."
Menurut Al-Hafidh As-Sakhawy, bahwa redaksi dan susunan kalimat hadits tersebut adalah batal sama sekali, baik dari segi sifat tasalsulnya, maupun dari segi matannya.
3. Tasalsul itu tidak selalu terjadi terus-menerus pada selu¬ruh rawi yang menerimanya, tetapi adakalanya terputus di awal, di tengah atau di akhirnya.
Misal yang putus di awal (awwaliyah):
الراحمون يرحمهم الرحمن، ارحموا من فى الارض يرحمكم من فى السماء
Pengasih-pengasih itu bakal dikasihi oleh Zat Yang Maha¬ asih. Karena itu kasihilah orang-orang di permukaan bumi ini, tentu orang-orang yang ada di langit mengasihimu sekalian.
Hadits tersebut bertasalsul hanya kepada Ibnu 'Uyainah (yang pertama-tama menerima hadits) dari Ibnu Dinar, dan Ibnu Dinar (yang pertama-tama menerima) dari Abu Qabus dan Abu Qabus (yang pertama-tama menerima) dari 'Abdullah bin 'Amr dan Ibnu 'Amr (yang pertama-tama menerima) dari Nabi Muhammad saw. Setup rawi yang meriwayatkan hadits tersebut mengatakan: "Inilah hadits yang pertama saya dengar dari guru saya.
Jadi hadits itu merupakan hadits pertama yang diterimanya dari gurunya dan kemudian disampaikan kepada orang yang barn pertama kali menerima hadits daripadanya
Faedah mengetahui hadits musalsal ini, ialah untuk menambah penilaian tentang kekokohan ingatan para rawi.
Kitab yang terbaik yang khusus mengumpulkan hadits-hadits musalsal, ialah kitab "Fihrisu'l-Faharis wa’l-atsbat", karya al-Hafidh Muhammad 'Abdul Hayyi al-Kattany.
5. HADITS ‘ALI DAN NAZIL
Sebuah hadits yang di-isnad-kan kepada Nabi Muhammad saw. kadang-kadang hanya melalui rijalu's-sanad,(rawi hadits) yang banyak. Hadits yang melalui rijalu's-sanad yang sedikit jumlahnya disebut Hadits 'Aly, sedang yang melalui rijalu's¬ sanad yang banyak disebut Hadits Nazil (safil). Hadits yang melalui sanad lebih sedikit disebut 'aly (tinggi), karena dari jumlah sanad yang sedikit itulah dapat memperkecil noda-no¬da yang terdapat pada sanad. Sebab setiap rijalu's-sanad itu, adalah manusia biasa yang tidak terpelihara dari kekhilafan, baik sengaja ataupun tidak disengaja. Dengan sedikitnya rija¬lu's-sanad, sedikit pula kemungkinan adanya cacat dan noda. Sedangkan banyaknya rijalu's-sanad tidak menutup adanya kemungkinan banyaknya noda. Oleh karena itu, derajat hadits yang bersanad banyak, lebih rendah (nazil) daripada yang bersanad sedikit.
من كان يؤمن بالله واليوم الاخر فليقل خيراأوليصمت ومن كان يؤمن بالله واليوم الاخر فليكرم جاره. ومن كان يؤمن بالله واليوم الاخر فليكرم ضيفه
"Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah berkata yang baik atau berdiam diri; Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendahlah memuliakan tetangganya; Dan Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir hendaklah memuliakan tamunya".
Hadits Muslim yang bersanad: Harmalah bin Yahya, Ibnu Wahb, Yunus, Ibnu Syihab, Abu Salamah dan Abu Hurairah (6 orang), adalah hadits nazil.
Sedang hadits Bukhary yang bersanad Qutaibah bin Sa'id, Abul-Akhwash, Abu Hashin, Abu Shalih dan Abu Hurairoh (5 orang) adalah hadits 'aly, karena sanadnya lebih sedikit.
Di samping tentang jumlah sedikit atau banyaknya sanad juga, disyaratkan keduanya bernilai shahih, bukan dla'if atau rawinya, bukan orang yang tertuduh dusta. Sesuatu hadits, walau. pun sanadnya sedikit tetapi dla'if bukan termasuk hadits, 'aly.
Macam-macam Hadits 'Aly dan Nazil
Hadits 'ali itu ads 5 macam, yakni:
1. 'Aly-Mutlak. Hadits 'aly seperti pada contoh di atas, disebut dengan 'aly-mutlak. Bagian ini adalah bagian yang terpenting dan terutama. Dengan ketentuan, pada sanadnya tidak terdapat orang yang tertuduh dusta. Adapun kalau sanadnya dla'if, hilanglah keutamaannya. Apalagi dalam sanadnya terdapat seorang pendusta, yang mengaku mendengar hadits dan sahabat. Seperti Ibnu Hudabah, Nu'aim bin Salim, Ya'la bin al-Asydaq dan lain sebagainya.
Kata Al-Hafidh Adz-Dzahaby: "Manakala kamu mengetahui: seorang Muhaddits bangga dengan ke-'aly-an sanadnya, anggaplah ia itu bodoh."
2. 'Aly-Nisby. Yaitu bila ukuran dekatnya (karena rawinya sedikit jumlahnya) itu bukan kepada Nabi, tetapi kepada imam-imam hadits, yang mempunyai sifat-sifat tinggi mengenai kehafalannya, kedlabithannya, kemasyhurannya dan lain sebagainya. Seperti Ibnu Juraij, Az-Zuhry, Syu'bah, Malik, Asy-Syafi'iy, Al-Bukhary, Muslim dan lain sebagainya, walaupun kadang-kadang sanad antara imam-imam tersebut dengan Nabi, banyak jumlahnya. Misalnya:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم ان من اعظم الفرى ان يدعى الرجل الى غير ابيه وايرى عينه مالم تراو يقول على رسول الله صلى الله عليه وسلم مالم يقل
Rasulullah saw. bersabda: 'Sebesar-besar dusta ialah mendakwakan ayah kepada yang bukan ayahnya, memper¬lihat-lihatkan apa yang tidak dilihat oleh matanya atau mengatakan atas nama Rasulullah apa yang tidak beliau katakan."
Hadits Imam Syafi'iy (I) bersanad Abdu'l-'Aziz, Muhammad bin Ajlan, Abdu'l-Wahab bin Bukht, Abdu'l-Wahid An-¬Nashry dan Watsilah bin Al-Asqa'.
Hadits Al-Bukhary (II) bersanad 'Aly bin 'Ayyas, Hariz, Abdu'l-Wahid An-Nashry dan Watsilah bin Al-Asqa'.
Jika dinisbatkan kepada Abdu'l-Wahid An-Nashry, hadits Bukhary adalah lebih dekat, karena sanadnya hanya dua orang, daripada hadits Syafi'iy, yang sanadnya tiga orang. Oleh karena itu hadits Bukhary-lah yang "'aly-nisby". Dalam pada itu juga dapat dikatakan 'aly-mutlak karena jumlah sanad Bukhary sampai kepada Nabi adalah lebih sedikit daripada jumlah sanad Asy-Syafi'iy sampai kepada Nabi.
'Aly-nisby itu derajatnya lebih rendah daripada 'aly-mutlak. Sungguh pun demikian, syarat-syarat mengenai keshahihan hadits dan ketiadaan cacat, masih diperlukannya.
3. 'Aly-Tanzil. Yakni bila ukuran dekatnya itu dinisbatkan kepada suatu kitab dari kitab-kitab yang mu'tamad. Seperti kedua kitab shahih Bukhary dari Muslim, kitab-kitab sunan dan kitab musnad Imam Ahmad.
'Aly-Tanzil ini ada 4 macam yaitu:
a. Muwafagah. Misalnya seorang' muhaddits meriwayatkan hadits dari suatu kitab mu'tamad, kemudian sanad yang dicari oleh muhaddits tersebut bertemu dengan guru dari penyusun kitab yang mu'tamad dan ternyata sanadnya lebih sedikit dari pada sanad yang terdapat dalam kitab mu'tamad.
b. Badal. Misalnya seorang muhaddits meriwayatkan hadits dari suatu kitab yang mu'tamad, kemudian sanad yang diusa¬hakannya bertemu dengan guru dari gurunya pengarang kitab mu'tamad.
c. Musawah. Misalnya jumlah sanad seorang muhaddits dari awal sampai akhir bersamaan jumlahnya dengan jumlah sanad yang terdapat pada suatu kitab mu'tamad.
d. Mushafahah. Yakni bila jumlah sanad muhaddits tersebut kelebihan seorang daripada sanad pengarang kitab mu'tamad.
4. ‘Aly bitaqdimi'l-wafat. Misalnya suatu hadits yang diri¬wayatkan dari dua orang, dari Al-Baihaqy dari Al-Hakim ada¬lah lebih tinggi daripada hadits yang diriwayatkan dari tiga orang, dari Abu Bakar bin Khalaf dari Al-Hakim. Karena Al ¬Baihaqy lebih dahulu meninggal daripada Abu Bakar bin Khalaf.
5. 'Aly bitaqdimis-sama'. Misalnya suatu hadits yang diri¬wayatkan oleh seorang yang lebih dulu mendengarnya dari se¬orang guru adalah lebih 'aly daripada hadits yang diriwayat¬kan oleh kawannya yang mendengar kemudian dari guru ter¬sebut.
Sebagaimana hadits 'aly terbagi menjadi 5 macam seperti ter¬sebut di atas, maka hadits nazil pun demikian halnya.


BAB II
MACAM-MACAM HADITS DITINJAU DARI DITERIMA ATAU DITOLAKNYA MENJADI HUJJAH
A. Hadits Maqbul dan Permasalahannya
i) Pengertian
Maqbul menurut bahasa adalah yang diambil, yang diterima dan yang dibenarkan. Sedangkan menurut istilah ahli hadis, hadis maqbul ialah hadis yang telah sempurna syarat-syarat penerimaannya . Adapun syarat-syarat penerimaan hadits menjadi hadits yang maqbul berkaitan dengan sanad-nya yang tersambung, diriwayatkan oleh rawi yang adil dan dhabit, dan dari segi matan yang tidak syadz dan tidak terdapat illat.
Hadits maqbul ialah hadits yang dapat diterima sebagai hujjah. Jumhur ulama sepakat bahwa hadits Shohih dan hasan sebagai hujjah. Pada prinsipnya, baik hadits shohih maupun hadits hasan mempunyai sifat-sifat yang dapat diterima (Maqbul). Walaupun rawi hadits hasan kurang hafalannya dibanding dengan rawi hadits shohih, tetapi rawi hadits hasan masih terkenal sebagai orang yang jujur dan dari pada melakukan dusta.
ii) Klasifikasi Hadits Maqbul
Yang termasuk kedalam kategori hadits maqbul ialah :
1. Hadits Shohih, baik shohih lidzatihi maupun shohih ligahirih.
2. Hadits Hasan, baik hasan lidzatihi maupun hasan lighairihi.
Kedua macam hadits tersebut wajib diterima, namun demikian para muhaddisin dan juga ulama yang lain sependapat bahwa tidak semua hadis yang maqbul itu harus diamalkan, mengingat dalam kenyataan terdapat hadis-hadis yang telah dihapuskan hukumnya disebabkan datangnya hukum atau ketentuan lain yang juga ditetapkan oleh hadis Rasulullah SAW.
Maka dari itu, apabila ditinjau dari sifatnya. Maka hadits maqbul terbagi pula menjadi dua, yakni Hadits maqbul yang dapat diterima menjadi hujjah dan dapat pula diamalkan, inilah yang disebut dengan hadits maqbul ma’mulun bih. Disamping itu juga ada hadits maqbul yang tidak dapat diamalkan, yang disebut dengan hadits maqbul ghairu ma’mulin bih. Berikut ini adalah rincian dari masing-masing hadits tersebut yakni sebagai berikut :
a) Hadits Maqbul yang Ma’mul bih.
1. Hadits Muhkam
Al-Muhkam menurut bahasa artinya yang dikokohkan, atau yang diteguhkan. Yaitu hadits-hadits yang tidak mempunyai saingan dengan hadits yang lain, yang dapat mempengaruhi artinya. Dengan kata lain tidak ada hadits lain yang melawannya. Dikatakan muhkam ialah karena dapat dipakai sebagai hukum lantara dapat diamalkan secara pasti, tanpa syubhat sedikitpun.
Kebanyakan hadits tergolong kepada jenis ini, sedangkan yang bertentangan jumlahnya sedikit.
2. Hadits Mukhtalif.
Mukhtalif artinya adalah yang bertentangan atau yang berselisih. Sedangkan secara istilah ialah hadits yang diterima namun pada dhahirnya kelihatan bertentangan dengan hadits maqbul lainnya dalam maknanya, akan tetapi memungkinkan untuk dikompromikan antara keduanya. Kedua buah hadits yang berlawanan ini kalau bisa dikompromikan, diamalkan kedua-kaduanya.
3. Hadits Rajih
Yaitu sebuah hadits yang terkuat diantara dua buah hadits yang berlawanan maksudnya.
4. Hadits Nasikh
Yakni hadits yang datang lebih akhir, yang menghapuskan ketentuan hukum yang terkandung dalam hadits yang datang mandahuluinya.
Contoh dari hadits Maqbul ma’mulul bih banyak sekali. Secara garis besar pembagiannya ialah hadits yang tidak ada perlawanannya dengan hadits lain dan hadits yang terjadi perlawanan dengan hadits lain. Sebagai contoh akan dikemukakan tentang hadits yang tidak memiliki perlawanan dengan hadits lain (Hadits Muhkam) berikut ini.
“janganlah kamu larang isterimu untuk pergi kemesjid (untuk bersembahyang), tetapi sembahyang dirumah lebih baik bagi mereka” (H.R Abu Daud dari Ibnu Umar)[4]
Contoh Hadits yang memiliki perlawanan dari hadits lain tetapi salah satu dari hadits tersebut telah menghapus ketentuan hukum yang terkandung dari hadits yang turun sesudahnya (hadits nasikh). Yakni sebagai berikut :
Barra berkata : “sesungguhnya nabi saw. pernah sembahyang menghadap baitul maqdis selama enam belas bulan”. (Riwayat Bukhari)
Hukum menghadap kiblat ke baitul maqdis itu telah dinasikhkah oleh Allah pada firmanNya :
“Hendaklah kamu menghadapkan mukamu kearah masjidil haram (ka’bah). (QS. Albaqarah :144)
b) Hadits Maqbul Ghairu Ma’mul bih
1. Hadits Mutasyabih
yakni hadits yang sukar dipahami maksudnya lantaran tidak dapat diketahui takwilnya. Ketentuan hadits mutasyabih ini ialah harus diimankan adanya, tetapi tidak boleh diamalkan.

2. Hadits Mutawaqqaf fihi
Yakni dua buah hadits maqbul yang saling berlawanan yang tidak dapat di kompromikan, ditarjihkan dan dinasakhkan. Kedua hadits ini hendaklah dibekukan sementara.
3. Hadits Marjuh
Yakni sebuah hadits maqbul yang ditenggang oleh oleh hadits Maqbul lain yang lebih kuat. Kalau yang ditenggang itu bukan hadits maqbul, bukan disebut hadits marjuh,
4. Hadits Mansukh
Secara bahasa mansukh artinya yang dihapus, Yakni maqbul yang telah dihapuskan (nasakh) oleh hadits maqbul yang datang kemudian.
5. Hadits Maqbul yang maknanya berlawanan dengan alQur’an, Mutawatir, akal yang sehat dan ijma’ ulama.
Contoh dari hadits Maqbul ghairu ma’mul bih ini salah satunya ialah tentang hadits yang bertentangan dengan akal sehat yakni berikut ini :
”Konon termasuk yang diturunkan kepada nabi Muhammad saw. Wahyu yang diturunkan di malam hari dan nabi melupakannya disiang hari” (HR. Ibnu Abi Hatim dari Riwayat Ibnu Abbas r.a)[6]
Hadits tersebut secara akal sehat, sebab menerima anggapan bahwa nabi pernah lupa sedangkan menurut akal sehat dan putusan ijma’ nabi ialah terpelihara dari dosa dan kelupaan (ma’shum) dalam menyampaikan syariat dan wahyu.
iii) Persoalan seputar hadits Maqbul
Apabila kita mendapati dua buah hadits maqbul yang saling bertentangan maksudnya menurut lahirnya, maka :
1. Hendaklah kita berusaha untuk mengumpulakan (mengkompromikan) kedua-duanya sampai hilang perlawanannya. Dalam hal ini apabila dapat dikumpulakan, maka kedua hadits tersebut wajib diamalkan.
2. Kalau usaha pertama gagal, maka kita mencari, mana diantara kedua hadits tersebut yang datang lebih dahulu (Nasikh), dan mana yang datang kemudian (mansukh).[7]
3. Kalau usaha mencari nasikh tidak pula berhasil, beralih pada penelitian mana hadits yang lebih kuat, baik sanad ataupun matannya untuk ditarjihkan. Dalam hal ini hadits yang lebih kuat tersebut (rajih) diamalkan, sedangkan hadits yang lemah tersebut (marjuh) untuk tidak diamalkan.[8]
4. Jika usaha terakhir juga gagal, maka hadits tersbut hendaklah dibekukan, ditinggalkan untuk pengamalannya.
B. Hadits Mardud dan Permasalahannya
i) Pengertian Hadits Mardud
Secara bahasa mardud artinya ialah yang ditolak, yang tidak diterima. Secara istilah Hadits Mardud ialah hadis yang tidak menunjuki keterangan yang kuat akan adanya dan tidak menunjuki keterangan yang kuat atas ketidakadaannya, tetapi adanya dengan ketidakadaannya bersamaan. Dalam definisi yang ekstrim disebutkan bahwa hadis mardud adalah semua hadis yang telah dihukumi dhoif[9]
Simpulan tentang penyebab-penyebab tidak diterimanya hadits ini akan dijelaskan berdasarkan klasifikasi hadits mardud ini sebagai berikut :
ii) Klasifikasi Hadits Mardud
(1) Adanya Kekurangan pada Perawinya
Dalam hal ini, kekurangan pada perawinya dapat disebabkan oleh ketidakadilannya maupun kehafalannya. Yakni terbagi menjadi :
(a) Dusta (hadits maudlu)
(b) Tertuduh dusta (hadits matruk)
(c) Fasik, yaitu banyak salah lengah dalam menghafal
(d) Banyak waham (prasangka) disebut hadits mu’allal
(e) Menyalahi riwayat orang kepercayaan
(f) Tidak diketahui identitasnya (hadits Mubham)
(g) Penganut Bid’ah (hadits mardud)
(h) Tidak baik hafalannya (hadits syadz dan mukhtalith)

(2) Karena sanadnya tidak bersambung
(a) Kalau yang digugurkan sanad pertama disebut hadits mu’allaq
(b) Kalau yang digugurkan sanad terakhir (sahabat) disebut hadits mursal
(c) Kalau yang digugurkan itu dua orang rawi atau lebih berturut-turut disebut hadits mu’dlal
(d) Jika tidak berturut-turut disebut hadits munqathi’

(3) Karena Matan (Isi Teks) Yang Bermasalah
Selain karena dua hal di atas, kedhaifan suatu hadits bisa juga terjadi karena kelemahan pada matan. Hadits Dhaif yang disebabkan suatu sifat pada matan ialah hadits Mauquf dan Maqthu’.


BAB III
ILMU JARH DAN TA’DIL

A. Ta’rif
Lafadz 'Jarh ", menurut muhadditsin ialah sifat seorang rawi yang dapat mencacatkan keadilan dan kehafalannya. Men-Jarh atau men-tajrih seorang rawi berarti menyifati seorang rawi dengan sifat-sifat yang dapat menyebabkan kelemahan atau tertolak apa yang diriwayatkannya.
Rawi yang dikatakan adil ialah orang yang dapat mengendalikan sifat-sifat yang dapat menodai agama dan keperwiraan¬nya. Memberikan sifat-sifat yang terpuji kepada seorang rawi, hingga apa yang diriwayatkannya dapat diterima disebut men¬ta'dilkannya.
Ilmu pengetahuan yang membahas tentang memberikan kritik¬an adanya aib atau memberikan pujian adil kepada seorang rawi disebut dengan "Ilmu Jarh watta'dil ".
Dr. 'Ajjaj Al-Khathib menta'rifkannya sebagai berikut:
هوا العلم الذى يبحث فى احوال الرواة من حيث قبول روايتهم أوردها
"Ialah suatu ilmu yang membahas hal ihwal para rawi dart segi diterima atau ditolak periwayatannya.
B. Faedah Ilmu Jarh wat-Ta'dil
Faedah mengetahui Ilmu Jarh wat-Ta'dil itu ialah untuk mene¬tapkan apakah periwayatan seorang rawi itu dapat diterima atau harus ditolak sama sekali. Apabila seorang rawi dijarh Oleh para ahli sebagai rawi yang cacat, maka periwayatannya harus ditolak dan apabila seorang rawi dipuji sebagai orang yang adil, niscaya periwayatannya diterima, selama syarat-syarat yang lain untuk menerima hadits dipenuhi.
- Macam-macam keaiban rawi
Keaiban seorang rawi itu banyak. Akan tetapi umumnya hanya berkisar kepada 5 macam raja. Yakni:
1. Bid'ah (melakukan tindakan tercela, di luar. ketentuan syari'at),
2. Mukhalafah (melaini dengan periwayatan orang yang lebih tsiqah),
3. Ghalath (banyak kekeliruan dalam periwayatan).
4. Jahalatu'l-Hal (tidak dikenal identitasnya) dan
5. Da'wa'l-ingitha' (diduga kerns sanadnya tidak bersambung).
Orang yang disifati dengan bid'ah adakalanya tergolong orang' yang dikafirkan dan adakalanya tergolong orang yang difasik¬kan. Mereka yang dianggap kafir, ialah golongan Rafidlah, yang mempercayai bahwa Tuhan itu menyusup (bersatu) pada Sayyidina 'Ali, dan pada imam-imam lain, dan mempercayai bahwa 'Ali akan kembali lagi ke dunia sebelum hari kiamat.
Sedang orang-orang yang dianggap fasik ialah golongan yang mempunyai itikad berlawanan dengan dasar syari'at. Mukhalafah yang dapat menimbulkan kejanggalan dan kemungkaran suatu hadits, ialah apabila seorang rawi yang setia ingatannya lagi jujur meriwayatkan sesuatu hadits berlawanan dengan riwayat orang yang lebih setia ingatannya atau berlawanan dengan kebanyakan orang, yang kedua periwayatan tersebut tidak dapat dijama'kan. Periwayatan yang demikian ini disebut syadz, dan kalau perlawanannya itu berkesangatan atau rawinya sangat lemah hafalannya, periwayatnnya (hadits¬nya) disebut munkar.
Ghalath (salah) itu kadang-kadang banyak dan kadang-kadang sedikit. Seorang rawi yang disifati banyak kesalahannya, hen¬daklah diadakan peninjauan mengenal hadits-hadits yang telah diriwayatkannya. Kalau periwayatnnya tersebut terdapat pada periwayatan orang lain yang tidak disifati dengan ghalath.
Maka hadits yang diriwayatkan oleh orang yang banyak salah tersebut dapat dipakai, tetapi bukan menurut jalan (sanad)nya. Sedang apabila tidak didapati selain dengan jalan (sanad) nya hendaklah ditawaqufkan.
Adapun seorang rawi yang disifati dengan sedikit kesalaha¬nnya, seperti lemah hafalannya, atau salah sangka atau lain sebagainya, maka ditetapkan seperti ketentuan hukum sebelum ini, kecuali riwayat-riwayat mutabi’at yang terdapat dalam shahih Bukhary itu lebih banyak daripada riwayat yang terda¬pat pada mereka. Jahalatu'l-hal (tidak diketahui identitasnya) merupakan pantangan untuk diterima haditsnya selama belum jelas identitasnya. Apabila sebagian orang telah mengenal identitasnya dengan baik, kemudian orang lain mengingkari¬nya, dalam hal ini didahulukan penetapan orang yang telah mengenalnya, sebab tentu ia lebih tahu daripada orang yang mengingkarinya (rnenafikannya).
Da'wa'l-inqitha' (pendakwaan terputus) dalam sanad, misal¬nya mendakwa rawi men-tad-lis-kan atau meng-irsal-kan suatu hadits.
- Jalan-jalan untuk mengetahui keadilan dan kecacatan rawi dan masalah-masalahnya
Dalam uraian yang baru lalu telah (dikemukakan bahwa: men-ta'dil-kan (menganggap adil seorang rawi) ialah memuji rawi dengan sifat-sifat yang membawa ke-'adalah-annya, yakni sifat-sifat yang dijadikan dasar penerimaan riwayat.
Keadilan seorang rawi itu dapat diketahui dengan salah satu jari dua ketetapan berikut:
Pertama, dengan kepopulerannya di kalangan para ahli ilmu bahwa din terkenal sebagai orang yang adil (bisy-syuhrah). Seperti terkenalnya sebagai orang yang adil kalangan para ahli ilmu bagi Anas bin Malik, Sufyan Ats-Tsaury, Syu'bah bin al-Hajjaj, Asy-Syafi'iy, Ahmad dan lain sebagainya. Oleh ka¬rena mereka sudah terkenal sebagai orang yang adil di kalang¬an para ahli ilmu, maka mereka tidak perlu lagi untuk diper¬bincangkan tentang keadilannya.
Kedua, dengan pujian dari seseorang yang adil (tazkiyah) Yaitu ditetapkan sebagai rawi yang adil oleh orang yang adil . yang semula rawi yang dita'dilkan itu belum dikenal sebagai rawi yang adil.
Penetapan keadilan seorang rawi dengan jalan tazkiyah ini dapat dilakukan oleh:
a. Seorang rawi yang adil. Jadi tidak perlu dikaitkan dengan banyaknya orang yang menta'dilkan. Sebab jumlah itu tidak menjadi syarat untuk penerimaan riwayat (hadits). Oleh karena itu jumlah tersebut tidak menjadi syarat pula untuk menta’dilkan seorang rawi. Demikian menurut pendapat kebanyakan Muhadditsin. Berlainan dengan pendapat para fuqaha yang mensyaratkan sekurang-kurangnya dua orang dalam mentazkiyahkan seorang rawi.
b. Setup orang yang dapat diterima periwayatannya, baik ia laki-laki maupun perempuan dan baik orang yang merdeka maupun budak selama ia mengetahui sebab-sebab yang dapat mengadilkannya.
Penetapan tentang kecacatan seorang rawi juga dapat ditempuh melalui dua jalan:
a. Berdasarkan berita tentang ketenaran seorang rawi dalam keaibannya. Seorang rawi yang sudah dikenal sebagai orang yang fasik atau pendusta di kalangan masyarakat, tidak perlu lagi dipersoalkan. Cukuplah kemasyhuran itu sebagai jalan untuk menetapkan kecacatannya.
b. Berdasarkan pentajrihan dari seorang yang adil yang telah mengetahui sebab-sebabnya dia cacat. Demikian ketetapan yang dipegang oleh para Muhadditsin. Sedang menurut para fuqaha sekurang-kurangnya harus ditajrih oleh dua orang laki¬-laki yang adil.
1. Syarat-syarat bagi orang yang men-ta'dil-kan dan men-tajrih-kan
Bagi orang yang men-ta'dil-kan (mu'addil) dan orang yang men-jarh-kan (Jarih) diperlukan syarat-syarat. Yakni:
1) Berilmu pengetahuan.
2) Takwa.
3) Wara,' (orang yang selalu menjauhi perbuatan maksiat, syubhat-syubhat, dosa-dosa kecil dan makruhat-makruhat).
4) Jujur.
5) Menjauhi.fanatik golongan dan
6) Mengetahui sebab-sebab untuk men-ta'dil-kan dan untuk men-tajrih-kan.
2. Dapatkah pen-ta'dil-an dan pen-tajrih-an seseorang tanpa menyebutkan sebab-sebabnya
Sebagaimana kita ketahui, bahwa men-ta'dil-kan atau men-taj¬rih-kan seorang rawi itu adakalanya mubham (tak disebutkan sebab-sebabnya) dan adakalanya mufassar (disebutkan sebab-sebabnya). Untuk mubham ini, diperselisihkan oleh para ula¬ma, dalam beberapa pendapat:
1) Men-ta'dil-kan tanpa menyebutkan sebab-sebabnya, dite¬rima. Karena sebab-sebab itu banyak sekali, sehingga hal itu kalau disebutkan semua tentu menyibukkan kerja saja. Adapun men-tajrih-kan, tidak diterima, kalau tanpa me¬nyebutkan sebab-sebabnya, karena jarh itu dapat berhasil dengan satu sebab saja. Dan oleh karena orang-orang itu berlain-lainan dalam, mengemukakan sebab jarh, hingga tidak mustahil seseorang men-tajrih menurut keyakinan¬nya, tetapi tidak tepat dalam kenyataannya. Jadi agar jelas apakah ia tercacat atau tidak, perlu diterangkan sebab sebabnya.
2) Untuk ta'dil, harus disebutkan sebab-sebabnya, tetapi menjarahkan tidak perlu. Karena sebab-sebab men-ta'dil- kan itu, bisa dibuat-buat, hingga harus diterangkan, sedang mentaj-rih-kan tidak.
3) Untuk kedua-duanya harus disebutkan sebab-sebabnya.
4) Untuk kedua-duanya, tidak perlu disebutkan sebab-sebab¬nya. Sebab, si jarih dan mu'addil sudah mengenal seteliti-¬telitinya sebab-sebab tersebut.
Pendapat yang pertama adalah pendapat yang dianut oleh kebanyakan Para muhadditsin, semisal Bukhary-Muslim, Abu Dawud dan lain-lainnya.
3. Jumlah orang yang dipandang Cukup untuk men-ta’dil-kan dan men-tajrih-kan rawi-rawi
Dalam masalah ini juga diperselisihkan:
1) Minimal dua orang, baik dalam soal syahadah maupun dalam soal riwayah. Demikianlah pendapat kebanyakan fuqaha Madinah dan lainnya.
2) Cukup seorang saja dalam soal riwayah bukan dalam soal syahadah. Sebab oleh karena bilangan itu tidak menjadi syarat dalam penerimaan hadits, maka tidak pula disyaratkan dalam men-ta'dil-kan dan men-tajrih rawi-rawi. Berlainan dalam soal syahadah.
3) Cukup seorang saja, baik dalam soal riwayah maupun da¬lam soal syahadah.
Adapun kalau ke-'adalah-annya (keadilannya) itu diperoleh atas dasar pujian orang banyak atau dimasyhurkan oleh ahli-¬ahli ilmu, maka tidak memerlukan orang yang men-ta'dil-kan (muzakky = mu'addil). Seperti Malik, As-Syafi'iy, Ahmad bin Hanbal, Al-Laits, Ibnu'l-Mubarak, Syu'bah, Is-haq dan lain-lainnya.


4. Perlawanan antara jarh dan ta'dil
Apabila terdapat ta'arudl antara jarh dan ta'dil pada seorang rawi, yakni sebagian ulama men-ta'dil-kan dan sebagian ulama yang lain men-tajrih-kan dalam hal ini terdapat 4 pendapat:
1) Jarh harus didahulukan secara mutlak, walaupun jumlah mu'addil-nya lebih banyak daripada jarhnya. Sebab bagi jarih tentu mempunyai kelebihan ilmu yang tidak diketahui oleh mu'addil, dan kalau jarih dapat membenarkan mu'addil tentang apa yang diberitakan menurut lahirnya saja, sedang jarih memberitakan urusan batiniyah yang tidak diketahui oleh si mu'addil.
Pendapat ini dipegang oleh jumhuru'l-ulama.
2) Ta'dil harus didahulukan daripada jarh.
Karena si jarih dalam meng-aibkan si rawi kurang tepat, dikarenakan sebab yang digunakan untuk men-aibkan itu bukan sebab yang dapat mencacatkan yang sebenarnya, apalagi kalau dipengaruhi rasa benci. Sedang mu'addil, sudah barang tentu tidak serampangan men-ta'dil-kan se¬seorang selama tidak mempunyai alasan yang tepat dan logis.
3) Bila jumlah mu'addil-nya lebih banyak daripada jarih¬nya, didahulukan ta'dil. Sebab jumlah yang banyak itu dapat memperkuat kedudukan mereka dan mengharuskan untuk mengamalkan kabar-kabar mereka.
4) Masih tetap dalam ke-ta'arudlan-nya selama belum ditemukan yang me-rajih-kannya.
Pengarang at-Taqrib mengemukakan sebab timbulnya khi¬laf ini, ialah jika jumlah mu'addilnya lebih banyak, tetapi kalau jumlahnya seimbang antara mu'addil dan jarih-nya, maka mendahulukan jarah itu sudah merupakan putusan ijma' .
5. Susunan lafadh-lafadh untuk men-ta'dil-kan dan men¬tajrih-kan rawi
lafadh-lafadh yang digunakan untuk men-ta'dil-kan dan men¬tajrih-kan rawi-rawi itu bertingkat-tingkat. Menurut Ibnu Abi Hatim, Ibnu's Shalah dan Imam Nawawy, lafadh-lafad itu di¬susun menjadi 4 tingkatan, menurut Al-Hafidh Ad-Dzahaby dan Al-'Iraqy menjadi 5 tingkatan dan Ibnu Hajar menyusun¬nya menjadi 6 tingkatan, yakni:
Tingkatan dan lafadh-lafadh untuk men-ta'dil-kan rawi-rawi.
Pertama : segala sesuatu yang mengandung kelebihan rawi dalam keadilan dengan menggunakan lafadh-lafadh yang berbentuk af'alut-tafdil atau ungkapan Yang mengandung pengertian yang sejenis. Misalnya:
اوثق الناس Orang yang paling tsiqah,
اثبت الناس حفظا وعدالة Orang yang paling mantap hafalan dan keadilannya,
اليه المنتهى فى الثبت Orang Yang paling top keteguhan hati dan lidahnya
ثقة فوق الثقة Orang yang tsiqah melebihi orang yang tsiqah.
Kedua : memperkuat ketsiqahan rawi dengan membubuhi satu sifat dari sifat-sifat yang menunjuk keadilan dan kedlabitannya, baik sifatnya yang dibubuhkan itu selafadh (dengan mengulangnya) maupun semakna, Misalnya:
ثبت ثبت : Orang yang teguh (lagi) teguh,
ثقة ثقة : Orang yang tsiqah (lagi) tsiqah,
حجة حجة : Orang yang ahli (lagi) patah lidahnya,
ثبت ثقة : Orang yang teguh (lagi) tsiqah,
حافظ حجة : Orang yang hafidh lagi petah lidahnya.
ضابظ متقن : Orang yang kuat ingatan lagi meyakinkan ilmunya.
Ketiga : menunjuk keadilan dengan suatu lafadh yang mengandung arti kuat ingatan. Misalnya:
ثبت : Orang yang teguh (hati dan lidahnya)
متفق : Orang yang meyakinkan (ilmunya),
ثقة : Orang yang tsiqah,
حافظ : Orang yang hafidh (kuat hafalannya),
حجة : Orang yang petah lidahnya.
Keempat : menunjuk keadilan dan kedlabithan, tetapi dengan lafadh yang tidak mengandung arti kuat ingatan dan adil (tsiqah). Misalnya:
صدوق : Orang yang sangat jujur,
مأمون : Orang yang dapat memegang amanat,
لابأس به : Orang Yang tidak cacat.
Kelima : menunjuk kejujuran rawi, tetapi tidak terpaham adanya kedlabithan. Misalnya:
محله الصدق : Orang yang berstatus jujur,
جيد الحديث : Orang yang baik haditsnya,
حسن الحديث : Orang yang bagus haditsnya,
مقارب الحديث : Orang yang haditsnya berdekatan de¬ngan hadits-hadits orang lain yang tsiqah.
Keenam : menunjuk arti mendekati cacat. Seperti sifat-sifat tersebut di atas yang diikuti dengan lafadh "insya Allah", atau lafadh tersebut di-tashghir-kan (pengecilan arti). atau lafadh itu dikaitkan dengan suatu pengharapan. Misalnya:
صدوق إنشاء الله : Orang yang jujur, insya Allah.
فلان أرجو بأن لابأس به : Orang yang diharapkan tsiqat
فلان صويلح : Orang yang sedikit kesalehannya
فلان مقبول حديثه : Orang yang diterima haditsnya.
Para ahli ilmu menggunakan hadits-hadits yang diriwayatkan oleh rawi-rawi yang dita'dilkan menurut tingkatan pertama sampai tingkatan keempat sebagai hujjah. Sedang hadits-hadits para rawi yang dita'dilkan menurut tingkatan kelima dan keenam hanya dapat ditulis, dan baru dapat dipergunakan bila dikuatkan oleh hadits perawi lain.
Tingkatan dan lafadh-lafadh untuk mentajrih rawi-rawi.
Pertama : menunjuk kepada keterlaluan si rawi tentang cacatnya dengan menggunakan lafadh-lafadh yang berbentuk af a-lut-tafdlil atau ungkapan lain yang mengandung pengertian yang sejenisnya dengan itu. Misalnya:
اوضع الناس : orang yang paling dusta,
اكذب الناس : orang yang paling bohong,
اليه المنتقى فى الوضع : orang yang paling top kebohongannya
Kedua : menunjuk kesangatan cacat dengan menggunakan la¬fadh berbentuk shighat muballagah. Misalnya:
كذاب : orang yang pembohong,
وضاع : orang yang pendusta,
دجال : orang yang penipu.
Ketiga : menunjuk kepada tuduhan dusta, bohong atau lain sebagainya. Misalnya:
فلان منهم بالكذب : orang yang dituduh bohong,
اومهم بالوضع : orang yang dituduh dusta,
فلان فيه النظر : orang yang perlu diteliti,
فلان ساقط : orang yang gugur,
فلان ذاهب الحديث : orang yang haditsnya telah hilang,
فلان متروك الحديث : orang yang ditinggalkan haditsnya.
Keempat : menunjuk kepada berkesangatan lemahnya. Misalnya:
مطرح الحديث : orang yang dilempar haditsnya,
فلان ضعيف : orang yang lemah,
فلان مردود الحديث : orang yang ditolak haditsnya.
Kelima : menunjuk kepada kelemahan dan kekacauan rawi mengenai hafalannya. Misalnya:
فلان لايحتج به : orang yang tidak dapat dibuat huj¬jah haditsnya,
فلان مجهول : orang yang tidak dikenai identitasnya.
فلان منكر الحديث : orang yang mungkar haditsnya,
فلان مضطرب الحديث : orang yang kacau haditsnya,
فلان واه : orang yang banyak menduga-duga.
Keenam : menyifati rawi dengan sifat-sifat yang menunjuk kelemahannya, tetapi sifat itu berdekatan dengan adil. Misalnya:
ضعف حديثه : orang yang didla'ifkan haditsnya,
فلان مقال فيه : orang yang diperbincangkan,
فلان فيه خلف : Orang yang disingkiri
فلان لين : Orang yang lunak
فلان ليس بالحجة : orang yang tidak dapat digunakan hujjah haditsnya,
فلان ليس بالقوى : orang yang tidak kuat.
Orang-orang yang ditajrih menurut tingkat pertama sampai dengan tingkatan keempat, haditsnya tidak dapat dibuat hujjah sama sekali. Adapun orang-orang yang ditajrih menurut tingkatan kelima dan keenam, haditsnya masih dapat dipakai seba¬gai i'tibar (tempat membandingkan).
Perlu diketahui dalam masalah yang berkaitan dengan jarh dan ta'dil ini bahwa para sahabat itu tidak menjadi sasaran dalam pembahasan ilmu ini. Sebab sudah disepakati oleh kebanyakan Muhadditsin bahwa para sahabat itu seluruhnya dipandang adil, karena itu semua periwayatannya dapat diterima.
Dengan demikian yang menjadi sasaran utama ilmu jarh wat¬ta'dii ini ialah rawi-rawi selain sahabat.
- Untuk diperhatikan
Apabila kita temui sebagian ahli jarh dan ta'dil men-jarh-kan seorang rawi, maka kita tidak perlu segera menerima pen tajrih-an tersebut, tetapi hendaklah diselidiki lebih dulu. Jika pen-tajrih-an itu membawa kegoncangan yang hebat, kendati¬pun yang men-tajrih-kan tersebut orang-orang atau ulama-ulama yang masyhur sekalipun, tidak boleh terus kita terima pen¬-tajrih-annya. Sebab kadang-kadang, sebab-sebab yang diguna¬kan untuk men-jarh-kannya, setelah kita adakan penelitian da¬pat dipakai untuk menolak pen-jarh-annya.
Hal itu disebabkan adanya kemungkinan-kemungkinan antara lain, ialah si jarih sendiri termasuk orang yang di-tajrih-kan oleh orang lain, hingga pen-tajrih-annya dan pen-ta'dil-annya tidak harus segera kita terima selama orang-orang lain tidak menyetujuinya. Kemungkinan yang lain bisa terjadi, bahwa si jarih termasuk orang yang berkesangatan dalam men-tajrih¬kan seseorang. Sedang menurut pen-tajrih-an yang dilakukan oleh kebanyakan ahli tajrih dan ta'dil, lebih ringan.
Para ulama jumhur mengemukakan daftar nama-nama Muhad¬ditsin yang terkenal berkesangatan dan menjemukan bila men¬tajrih seseorang rawi. Mereka itu, ialah: Abu Hatim, An¬Nasa'iy. Yahya bin Main, Yahya bin Khaththan dan Ibnu Hibban."
C. Kitab-kitab Ilmu Jarh wat-Ta'dil
Para penulis kitab-kitab Jarh wat-Ta'dil berbeda-beda dalam menyusun buku-bukunva. Sebagian ada yang kecil, hanya terdiri satu jilid dan hanya mencakup beberapa ratus orang rawi. Sebagian yang lain menyusunnya menjadi bebera¬pa jilid besar-besar yang mencakup antara sepuluh sampai dua puluh ribu rijalus-sanad.
Di samping itu mereka juga berbeda-beda dalam mensistematiskan pembahasannya. Ada sebagian yang hanya menulis ten¬ting rawi-rawi yang dla'if dan bohong saja. ada yang menulis rawi-rawi yang tsiqah saja, dan ada pula yang mengumpulkan kedua-duanya. Kitab-kitab itu antara lain:
1. Ma'rifatu'r-rijal. Karya Yahya Ibni Ma' in. Kitab ini termasuk kitab yang pertama sampai kepada kita. Juz pertama kitab tersebut, yang masih berupa manuskrip (tulisan tangan) berada di Darul-Kutub Adh-Dhahiriyah.
2. Ad-Dlu'afa'. Karya Imam Muhammad bin Ismail Al Bukhary (194 - 252 H.). Kitab tersebut dicetak di Hindia pada tahun 320 H.
3. At-Tsiqat, karya Abu Hatim bin Hibban Al-Busty (wafat tahun 304 H.). Perlu diketahui bahwa Ibnu Hibban ini sangat mudah untuk mengadilkan seorang rawi. Karena itu hendaklah hati-hati terhadap penta'dilannya. Naskah aslinya diketemukan di Darul Kutub Al-Mishriyah, dengan tidak lengkap.
4. Al-Jarhu wat-Ta'dil, karya Abdur Rahman bin Abi Hatim Ar-Razy (240 - 326 H.). Ini merupakan kitab Jarh wat-Ta'dil yang terbesar yang sampai kepada kita dan yang sangat besar faedahnya. Kitab itu terdiri dari 4 jilid besar-besar yang memuat 18.050 orang rawi. Pada tahun 1373 H. ki¬tab itu dicetak di India menjadi 9 jilid. Satu jilid sebagai mu¬kadimah, sedang tiap-tiap jilid yang ash dijadikan dua jilid.
5. Mizanu'l-I'tidal, karya Imam Syamsuddin Muhammad Adz-Dzahaby (673 - 748 H.). Kitab itu terdiri dari 3 jilid. Setiap rawi biarpun rawi tsiqah diterangkan dan dikemukakan haditsnya, sebuah atau beberapa buah yang munkar atau gharib. Kitab yang sudah berulang kali dicetak ini dan cetakan yang terakhir dicetak di Mesir pada tahun 1325 H. dan terdiri dari 3 jilid, mencakup 10.907 orang riyalus-sanad.
6. Lisanu'l-Mizan, karya Al-Hafidh Ibnu Hajar Al-'Asqalany (773 - 852 H.) sudah mencakup isi kitab Mizanu'l-I'tidal dengan beberapa tambahan yang penting. Kitab itu memuat 14.343 orang rijalus-sanad. ia dicetak di India pada tahun 1329 - 1331 H. dalam 6 jilid.


BAB IV
SEJARAH SINGKAT SHAHABAT YANG BANYAK MERIWAYATKAN HADITS DAN PENTAKHRIJ HADITS

A. Riwayat tokoh-tokoh Rijalul Hadits dari kalangan sahabat
1. Abu Hurairah
Abu Hurairah ialah Abdur Rahman ibn Sakhr (Abdulah ibn Skhr) Ad Dausy At Tamimy.
Para ahli sejarah berbeda-beda pendapat mengenai nama beliau ini. Demikian pula tentang nama ayahnya. Beliau sendiri menerangkan, bahwa di masa jahiliyah beliau bernama Abu Syam. Setelah memeluk Islam, beliau diberi nama oleh Nabi dengan Abdur Rahman atau Abdullah, ibunya bernama Maimunah, yang memeluk Islam berkat seruan Nabi.
Beliau lahir tahun 21 sebelum Hijrah = tahun 602 M.
Abu Hurairah datang ke Madinah pada tahun Khaibar yakni pada bulan Muharram tahun 7 H, lalu memeluk nama Islam. Setelah beliau memeluk Islam, beliau tetap beserta Nabi dan menjadi ketua Jama'ah Ahlus Suffah. Karena inilah beliau mendengar hadits dari Nabi.
Menurut pentahqikan Baqy ibn Makhlad, seperti yang dikutib oleh Ibn Dausy, beliau meriwayatkan hadits sejumlah 5374 hadits, menurut Al Kirmany 5364. Dari jumlah tersebut, 325 hadits disepakati oleh Bukhary dan Muslim. Bukhary sendiri meriwayatkan 93 hadits dan Muslim sendiri sejumlah 189 hadits.
Abu Hurairah meriwayatkan hadits dari Nabi sendiri, dan dari shahabi, di antaranya ialah Abu Bakr, 'Umar, Al Fadlel ibn 'Abbas ibn 'Abdil Munththalib, 'Ubay ibn Ka'ab, Usamah ibn Zaid, 'Aisyah.
Hadits-haditsnya banyak diriwayat oleh Sahabat dan Tabi’in.
Di antara para sahabat Wah lbnu Abbas, Ibnu 'Umar, Anas, Watsilah ibn Al Asqa', Jabir ibn 'Abdullah Al Anshary.
Di antara para thabi'in besar, ialah: Marwan ibn Al Hakam, Said ibn Al Musaiyab, 'Urwah ibn Az Zubair, Sulaiman Al. Asyja'y Al Aghr, Abu Muslim, Syuraih ibn Hani', Sulaiman ibn Yasr, 'Abdullah ibn Syaqiq, Hamdlalah Al Aslamy, Tsabit ibn Iyadl, Sa'id ibn 'Amr ibn Sa'id Al 'Asy, Abu Al Habbab,Sa'id ibn Yassar, Muhammad ibn Sirrin, 'Abdur Rahman ibn Sa'ad, Abdullah ibn'Uqbab ibn Masud, Atha ibn Abi Rabah, Atha ibn Yassar.
Lebih dari 800 perawi menerima hadits dari beliau.
Kata Asy Syafi'y, "Abu Hurairah adalah orang yang paling banyak menghafal hadits di masanya."
Tersebut dalam Ash Shahih, bahwa Abu Hurairah berkata, "Ya Rasulullah, saya mendengar dari tuan banyak hadits, tetapi saya banyak lupa. Mendengar itu Nabi bersabda, "Hamparkan selimutmu". Maka Nabi mengambil kain itu dengan tangannya. Kemudian Nabi berkata, "Berselimutlah!" Selanjutnya Abu Hurairah berkata, "Maka saya pun berselimut. Setelah itu saya tidak pernah lupa sesuatu yang saya dengan dari Nabi." Abu Hurairah adalah orang yang pertama di antara tujuh sahabat yang banyak meriwayatkan hadits.
Al Hafidl ibn Hajar telah menerangkan keistimewaan Abu Hurairah dalam kitabnya Al Ishabah.
Abu Hurairah pemah menjadi gubernur Madinah, dan pada masa pemerintahan umar, beliau diangkat menjadi gubernur di Bahrain, kemudian beliau diberhentikan.
Beliau meninggal di Madinah pada tahun 59 H = 679 M.

2. Abdullah ibn Umar
Abdullah ibn Umar ialah Abu Abdur Rahman 'Abdullah ibn 'Umar ibn Al Khaththab Al Quraisyi Al Adawy, seorang sahabat Rasulullah yang terkemuka dalam lapangan ilmu dan aural.
Abdullah dilahirkan di Makkah pada tahun 10 s.H = 618 M.
Dalam usia 10 tahun Beliau berhijrah Madinah beserta ayahnya. Ada yang menyatakan ketika berusia 13 tahun. Beliau adalah saudara kandung dari Hafshah, permaisuri Rasul. 'Abdullah dapat menyaksikan peperangan Khandak. Bai'atul Ridlwan dan peperangan-peperangan yang sesudahnya. Beliau adalah seorang dari empat 'abadilah.
'Abdullah meriwayatkan sejumlah 2630 hadits.
Sejumlah 1700 di antaranya disepakati oleh Bukhary dan Muslim. Bukhary sendiri meriwayatkan 81 dan Muslim sendiri meriwayatkan 31 hadits.
Beliau menerima hadits dari Nabi sendiri dan dari sahabat. Di antaranya ialah ayahnya sendiri Umar, pamannya Zaid, saudara kandungnya Hafshah, Abu Bala, Utsman, Ali, Bilal, Ibnu Mas'ud, Abu Dzar dan Mu'adz.
Hadits-haditsnya banyak diriwayatkan oleh sahabat dan tabi'ip.
Di antara para sahabat ialah Jabir dan Ibnu Abbas, putera-putera beliau sendiri yaitu Salim, 'Abdullah, Hamzah, Bilal dan Zaid.
Di antara tabi'in ialah Nafi, Said ibn Al Musaiyab, Alqamah ibn Waqqash Al Laitsy, Abu Abdur Rahman Al Qahry Masruq, Abdur Rahman ibn Abi Laila, Mus'ab ibn Sa'ad ibn Abi Waqqash, Urwah ibn Az Zubair.
Di antara para mawaly ialah 'Abdullah ibn Dinar Al Adawy, Musa ibn 'Uqbail Atha' ibn Abi Rabah, Thariq ibn'Amral Amawy, Mujahid ibn Ja'far, Ibn Sirrin, Muhammad Abu Bakr Al Bishry Al Hasan ibn Abi Hasan Al Bishry, Shafwan ibn Sulaiman, Az Zuhry.
Menurut Malik, "Selama 60 tahun sesudah Nabi wafat ibn Umar memberi fatwa dan meriwayatkan hadits."
Ibn Al Bakr mengatakan, "Ibnu 'Umar menghafal semua yang didengar dari Rasul dan bertanya kepada orang-orang yang menghadiri majlis-majlis Rasul tentang tutur dan perbuatan Rasul.
'Abdullah ibn 'Umar adalah orang yang kedua antara 7 sahabat yang banyak meriwayatkan hadits.
Beliau tidak mau campur tangan atas segala rupa fitnah yang terjadi di masanya. Dalam kalangan sahabat beliau terkenal sebagai orang yang sangat meneladani segala gerak-gerik Rasul.
"Abdullah ibn 'Umar wafat di Makkah pada tahun 73 H = 693 H.

3. Anas Ibn Malik
Anas ibn Malik ialah Abu Tsumamah (Abu Hamzah) Anas ibn Malik ibn Nadler ibn Dlamdlam Al Najjary Al Anshary, seorang sahabat yang tetap selalu meladeni Rasulullah selama 10 tahun.
Anas dilahirkan di Madinah pada tahun 10 s. H = 612 M, setelah Rasul tibadi Madinah, Ibunya menyerahkan Anas kepada Rasul untuk menjadi khadam Rasul. Setelah Rasul wafat, Anas pindah ke Bashrah sampai akhir hayatnya.
Beliau meriwayatkan sejumlah 2276 atau 2236 hadits. Sejumlah 166 hadits disepakati oleh Bukhary Muslim, 93 di antaranya diriwayatkan oleh Bukhary sendiri dan 70 diriwayatkan oleh Muslim sendiri.
Anas menerima hadits dari Nabi sendiri dan dari banyak sahabat.
Diantaranya ialah: Abu Bakar, Umar, 'Utsman, 'Abdullah ibn Rahawah, Fathimah Az Zahra, Tsabit ibn Qais, Abdur Rahman ibn'Auf, ibnu Mas'ud, Abu Dzar, Malik ibn Shasha'ah, Mu'adz ibn Jabal, 'Ubadah ibn Shamit dari ibunya sendiri Ummu Sulaim dan saudara-saudara ibunya Ummu Hiram, dan Ummu Fadlel.
Hadits-haditsnya diriwayatkan oleh anak-anaknya, yaitu Musa An Nadir dan Abu Bakr.
Di antara tabi'in yang meriwayatkan haditsnya ialah: Al Hasanu Bishry, Sulaim at Tamimy, Abu Qilabah, 'Abdul'Aziz ibn Suhaib, Ishaq ibn Abi Thalhah, Abu Bakr ibn'Abdur Rahman, 'Abdullah Al Muzany, Qatadah, Tsabit Al Bana'iy, Humaid At Thawil, Al Ja'ad Abul 'Utsman, Muhammad ibn Sirrin, Anas ibn Sirrin, Az Zuhry, Yahya ibn Sa'id Al Anshary, Sa'id ibn Jubair.
Qatadah mengatakan, bahwa di hari Anas wafat, Muwarrid berkata, "Pada had ini telah lenyap seperdua ilmu."
Anas ibn Malik adalah orang ketiga di antara tujuh sahabat yang banyak meriwayatkan hadits.
Beliau wafat di Bashrah pada tahun 93 H 912 M, dalam usia 100 tahun.

4. 'Aisyah Ash Shiddiqiah
'Aisyah Ash Shiddiqiah ialah Aisyah binti Abi Bakr Ash Shiddieq.
Ibunda beliau bernama Ummu Ruman binti 'Amr ibn Umaimir Al Kinaniyah.
'Aisyah dilahirkan sesudah Nabi di bangkit menjadi Rasul.
Menurut riwayat yang masyhur Nabi mengawini beliau di Makkah di waktu beliau berusia enam tahun, sesudah sebulan Nabi kawin dengan Saudah, yaitu tiga tahun sebelum hijrah. Pada bulan Syawal sesudah 8 bulan Nabi berhijrah ke Madinah di kala itu 'Aisyah berusia 9 tahun, baru Nabi berumah tangga dengan beliau. Di kala Nabi wafat, beliau baru berusia 13 tahun.
Beliau meriwayatkan 2210 hadits. Bukhary Muslim menyepakati sejumlah 174 hadits. Bukhary sendiri meriwayatkan 64 hadits dan Muslim sendiri meriwayatkan 63 hadits.
Beliau menerima hadits dari Nabi sendiri dan dari para sahabat. Di antaranya ialah ayahanda beliau sendiri, Umar Hamzah ibn Al Aslamy, Sa'ad ibn Abi Waqqash, Fathimah az Zahra.
Hadits-haditsnya diriwayatkan oleh banyak sahabat dan tabi'in.
Di antara para sahabat tersebut ialah: 'Amr ibn 'Ash, Abu Musa Al Asy'ary, Zaid ibn Khalib Al Juhany, Abu Hurairah, 'Ibnu'Umar, Rabi'ah ibn Abbas, saudaranya sendiri Ummu Kaltsum bint Abi Bakr, saudara sesusuannya 'Auf ibn al Harits dan anak saudaranya Al Khisim ibn Muhammad.
Di antara para tabi’in ialah: Sayid ibn al Musaiyab 'Abdullah ibn 'Amr ibn Rabi'ah, Urwah, Asy Sarby' Atha, Mujahid, Mu'adzah al 'Adawiyah, Nafi' Maula ibn 'Umar.
Asy Syaby berkata, "Apabila Masruq meriwayatkan hadits dari 'Aisyah beliau berkata, kepadaku diceritakan oleh Shiddiqiah binti As Shiddiq, habibah habibillah."
Banyak para sahabat dan tabi'in menerima berbagai macam hukum dari beliau.
Pernah orang mengatakan, bahwa seperempat hukum syari'at diperoleh dari beliau.
Hisyam Ibn ‘Urwah mengatakan., "Aku tidak melihat seseorang yang mengetahui tentang Fiqh, obat-obatan dan syi'ir Arab selain 'Aisyah."
'Atha' berkata, "'Aisyah adalah sepandai-pandai ulama."
Menurut Az Zuhry, jika dibandingkan ilmu yang dimiliki oleh 'A,isyah dengan seluruh ilmu yang dipunyai oleh permaisuri-permaisuri Rasul yang lain dan ilmu para sahabat, maka ilmu yang dimiliki oleh 'Aisyah masih lebih unggul.
Ulama-ulama sahabat bertanya kepada 'Aisyah tentang soal-soal fara'idl.
'Aisyah adalah orang yang keempat di antara tujuh orang sahabat yang banyak meriwayatkan hadits.
Beliau wafat pada bulan Ramadlan sesudah melakukan shalat whir pada tahun 57 atau 58 H = 668 M.

5. Abdullah ibn Abbas
Abdulllah ibn Abbas ialahAbul 'Abbas ibn Abbas ibn 'Abdil Muththolib, seorang putera paman Rasulullah.
lbundanya bernama Ummu Fadlel Lubabah Al Qubra binti Al Harts Al Hilaliyah, saudara perempuan Maimunah permaisuri Rasul.
Beliau dilahirkan di Makkah ketika Bani Hasyim berada di Syi'ib, 3 atau 5 tahun sebelum hijrah. Di kala Rasul wafat beliau barn berusia 13 atau 15 tahun.
Beliau meriwayatkan sejumlah 1660 hadits. Bukhary dan Muslim menyepakati sejumlah 95 hadits, 29 buah di antaranya diriwayatkan oleh Bukhary sendiri dan 49 buah diriwayatkan oleh Muslim sendiri.
Beliau menerima hadits dari Nabi dan dari para sahabat.
Di antara para sahabat ialah, ayahandanya, bundanya, saudaranya Al Fadliel, makciknya Maimunah, Abu Bakr, 'Umar, 'Utsman, 'Ali, 'Abdur Rahman ibn'Auf, Mu'adz ibn Jabal, Abu Dzar, Ubay ibn Ka'ab, Abu Hurairah dan lain-lain.
Hadits-hadits yang diriwayatkan oleh putra-putranya, yaitu, 'Ali dan Muhammad cucunya Muhammad ibn 'Aly, saudaranya Katsir ibn Abbas.
Di antara para sahabat yang meriwayatkan hadits beliau ialah, 'Abdullah ibn 'Umar ibn Khaththab, Tsa'labah ibn al Hakam, Abul Thufail dan lain-lain.
Di antara para tabfin ialah, Abu Umamah ibn Sahal, Said ibn Musayyab, 'Abdullah ibn Harts ibn Naufal, Abu Salamah ibn Abdur Rahman ibn 'Auf, Abu Raja'. Abdullah ibn 'Abdullah ibn 'Utbah ibn Abi Waqqash, Ikrimah, Atha, Sa'id ibn Jubair, Sa'id ibn Abil Hasan al Bishry dan Sa'id ibn Yatsar.
Banyak sekali laqab-laqab Ibn Abbas ini.
Beliau bergelar Al Hijr dan Al Bahr, karena sangat luas ilmunya.
Ibnu 'Umar berkata, "Ibnu 'Abbas adalah orang yang paling mengetahui tantang apa yang diturunkan kepada Muhammad SAW. di antara orang¬-orang yang masih tinggal."
Menurut Masruq, "Apabila beliau melihat Ibnu 'Abbas, beliau mengatakan bahwa Ibnu 'Abbas adalah orang yang paling gagah, apabila ia berbicara, beliau mengatakan, Ibnu 'Abbaslah orang yang paling fasih lidahnya dan apabila ia meriwayatkan hadits beliau mengatakan, bahwa Ibnu 'Abbas adalah orang yang paling alim."
Kata 'Amr ibn Dinar, "Aku belum pernah melihat suatu majlis yang mengumpulkan semua kebajikan selain dari majlis Ibnu 'Abbas. Majlisnya menerangkan hukum halal dan haram, kesusasteraan Arab dan syair."
Beliau wafat di Thaif pada tahun 68 H = 687 M dalam usia 71 tahun. Jenazahnya disembahyangkan oleh Muhammad ibn Hanafrah.

B. Sejarah sinhkat enam perawi hadits
1. Imam Bukhari
Tokoh Islam penghimpun dan penyusun hadith itu banyak, dan yang lebih terkenal di antaranya seperti yang disebut diatas. Adapun urutan pertama yang paling terkenal diantara enam tokoh tersebut di atas adalah Amirul-Mu'minin fil-Hadith (pemimpin orang mukmin dalam hadith), suatu gelar ahli hadith tertinggi. Nama lengkapnya adalah Abu Abdullah Muhammad ibn Ismail ibn Ibrahim ibn al-Mughirah ibn Bardizbah. Abu Abdullah Muhammad ibn Ismail, terkenal kemudian sebagai Imam Bukhari, lahir di Bukhara pada 13 Syawal 194 H (21 Juli 810 M), cucu seorang Persia bernama Bardizbah. Kakeknya, Bardizbah, adalah pemeluk Majusi, agama kaumnya. Kemudian putranya, al-Mughirah, memeluk Islam di bawah bimbingan al-Yaman al Ja'fi, gubernur Bukhara. Pada masa itu Wala dinisbahkan kepadanya. Kerana itulah ia dikatakan "al-Mughirah al-Jafi."
Ayah Bukhari disamping sebagai orang berilmu, ia juga sangat wara' (menghindari yang subhat/meragukan dan haram) dan taqwa. Diceritakan, bahawa ketika menjelang wafatnya, ia berkata: "Dalam harta yang kumiliki tidak terdapat sedikitpun wang yang haram maupun yang subhat." Dengan demikian, jelaslah bahawa Bukhari hidup dan terlahir dalam lingkungan keluarga yang berilmu, taat beragama dan wara'. Tidak hairan jika ia lahir dan mewarisi sifat-sifat mulia dari ayahnya itu.
Ia dilahirkan di Bukhara setelah salat Jum'at. Tak lama setelah bayi yang baru lahr itu membuka matanya, iapun kehilangan penglihatannya. Ayahnya sangat bersedih hati. Ibunya yang saleh menagis dan selalu berdo'a ke hadapan Tuhan, memohon agar bayinya bisa melihat. Kemudian dalam tidurnya perempuan itu bermimpi didatangi Nabi Ibrahim yang berkata:

"Wahai ibu, Allah telah menyembuhkan penyakit putramu dan kini ia sudah dapat melihat kembali, semua itu berkat do'amu yang tiada henti-hentinya."

Ketika ia terbangun, penglihatan bayinya sudah normal. Ayahnya meninggal di waktu dia masih kecil dan meninggalkan banyak harta yang memungkinkan ia hidup dalam pertumbuhan dan perkembangan yang baik. Dia dirawat dan dididik oleh ibunya dengan tekun dan penuh perhatian.
Keunggulan dan kejeniusan Bukhari sudah nampak semenjak masih kecil. Allah menganugerahkan kepadanya hati yang cerdas, pikiran yang tajam dan daya hafalan yang sangat kuat, teristimewa dalam menghafal hadith. Ketika berusia 10 tahun, ia sudah banyak menghafal hadith. Pada usia 16 tahun ia bersama ibu dan abang sulungnya mengunjungi berbagai kota suci. Kemudian ia banyak menemui para ulama dan tokoh-tokoh negerinya untuk memperoleh dan belajar hadith, bertukar pikiran dan berdiskusi dengan mereka. Dalam usia 16 tahun, ia sudah hafal kitab sunan Ibn Mubarak dan Waki, juga mengetahui pendapat-pendapat ahli ra'yi (penganut faham rasional), dasar-dasar dan mazhabnya.
Rasyid ibn Ismail, abangnya yang tertua menuturkan, pernah Bukhari muda dan beberpa murid lainnya mengikuti kuliah dan ceramah cendekiawan Balkh. Tidak seperti murid lainnya, Bukhari tidak pernah membuat catatan kuliah. Ia dicela membuang waktu dengan percuma kerana tidak mencatat. Bukhari diam tidak menjawab. Pada suatu hari, kerana merasa kesal terhadap celaan yang terus-menerus itu, Bukhari meminta kawan-kawannya membawa catatan mereka. Tercenganglah mereka semua kerana Bukhari ternyata hapal di luar kepala 15.000 haddits, lengkap terinci dengan keterangan yang tidak sempat mereka catat.

Pengembaraannya
Tahun 210 H, Bukhari berangkat menuju Baitullah untuk menunaikan ibadah haji, disertai ibu dan saudaranya, Ahmad. Saudaranya yang lebih tua ini kemudian pulang kembali ke Bukhara, sedang dia sendiri memilih Mekah sebagai tempat tinggalnya. Mekah merupakan salah satu pusat ilmu yang penting di Hijaz. Sewaktu-waktu ia pergi ke Madinah. Di kedua tanah suci itulah ia menulis sebahagian karya-karyanya dan menyusun dasar-dasar kitab Al-Jami'as-Shahih dan pendahuluannya.
Ia menulis Tarikh Kabir-nya di dekat makam Nabi s.a.w. dan banyak menulis pada waktu malam hari yang terang bulan. Sementara itu ketiga buku tarikhnya, As-Sagir, Al-Awsat dan Al-Kabir, muncul dari kemampuannya yang tinggi mengenai pengetahuan terhadap tokoh-tokoh dan kepandaiannya bemberikan kritik, sehingga ia pernah berkata bahawa sedikit sekali nama-nama yang disebutkan dalam tarikh yang tidak ia ketahui kisahnya.
Kemudian ia pun memulai studi perjalanan dunia Islam selama 16 tahun. Dalam perjalanannya ke berbagai negeri, hampir semua negeri Islam telah ia kunjungi sampai ke seluruh Asia Barat. Diceritakan bahawa ia pernah berkata: "Saya telah mengunjungi Syam, Mesir, dan Jazirah masing-masing dua kali, ke basrah empat kali, menetap di Hijaz (Mekah dan Madinah) selama enam tahun dan tak dapat dihitung lagi berapa kali saya mengunjungi Kufah dan Baghdad untuk menemui ulama-ulama ahli hadith."
Pada waktu itu, Baghdad adalah ibu kota negara yang merupakan gudang ilmu dan ulama. Di negeri itu, ia sering menemui Imam Ahmad bin Hambal dan tidak jarang ia mengajaknya untuk menetap di negeri tersebut dan mencelanya kerana menetap di negeri Khurasan.
Dalam setiap perjalanannya yang melelahkan itu, Imam Bukhari senantiasa menghimpun hadith-hadith dan ilmu pengetahuan dan mencatatnya sekaligus. Di tengah malam yang sunyi, ia bangun dari tidurnya, menyalakan lampu dan menulis setiap masalah yang terlintas di hatinya, setelah itu lampu di padamkan kembali. Perbutan ini ia lakukan hampir 20 kali setiap malamnya. Ia merawi hadith dari 80.000 perawi, dan berkat ingatannya yang memang super jenius, ia dapat menghapal hadith sebanyak itu lengkap dengan sumbernya.

Kemasyhuran Imam Bukhari

Kemasyhuran Imam Bukhari segera mencapai bahagian dunia Islam yang jauh, dan ke mana pun ia pergi selalu di alu-alukan. Masyarakat hairan dan kagum akan ingatannya yang luar biasa. Pada tahun 250 H. Imam Bukhari mengunjungi Naisabur. Kedatangannya disambut gembira oleh para penduduk, juga oleh gurunya, az-Zihli dan para ulama lainnya.

Imam Muslim bin al-Hajjaj, pengarang kitab as-Shahih Muslim menceritakan: "Ketika Muhammad bin Ismail datang ke Naisabur, aku tidak pernah melihat seorang kepala daerah, para ulama dan penduduk Naisabur memberikan sambutan seperti apa yang mereka berikan kepadanya." Mereka menyambut kedatangannya dari luar kota sejauh dua atau tiga marhalah (± 100 km), sampai-sampai Muhammad bin Yahya az-Zihli berkata: "Barang siapa hendak menyambut kedatangan Muhammad bin Ismail besok pagi, lakukanlah, sebab aku sendiri akan ikut menyambutnya. Esok paginya Muhammad bin Yahya az-Zihli, sebahagian ulama dan penduduk Naisabur menyongsong kedatangan Imam Bukhari, ia pun lalu memasuki negeri itu dan menetap di daerah perkampungan orang-orang Bukhara. Selama menetap di negeri itu, ia mengajarkan hadith secara tetap. Sementara itu, az-zihli pun berpesan kepada para penduduk agar menghadiri dan mengikuti pengajian yang diberikannya. Ia berkata: "Pergilah kalian kepada orang alim yang saleh itu, ikuti dan dengarkan pengajiannya."

Imam Bukhari Difitnah
Tak lama kemudian terjadi fitnah terhadap Imam bukhari atas perbuatan orang-orang yang iri dengki. Mereka meniupkan tuduhannya kepada Imam Bukhari sebagai orang yang berpendapat bahawa "Al-Qur'an adalah makhluk." Hal inilah yang menimbulkan kebencian dan kemarahan gurunya, az-Zihli kepadanya, sehingga ia berkata: "Barang siapa berpendapat lafaz-lafaz Al-Qur'an adalah makhluk, maka ia adalah ahli bid’ahh. Ia tidak boleh diajak bicara dan majlisnya tidak boleh di datangi. Dan barang siapa masih mengunjungi majlisnya, curigailah dia." Setelah adanya ultimatum tersebut, orang-orang mulai menjauhinya.
Pada hakikatnya, Imam Bukhari terlepas dari fitnah yang dituduhkan kepadanya itu. Diceritakan, seorang berdiri dan mengajukan pertanyaan kepadanya: "Bagaimana pendapat Anda tentang lafaz-lafaz Al-Qur'an, makhluk ataukah bukan?" Bukhari berpaling dari orang itu dan tidak mau menjawab kendati pertanyaan itu diajukan sampai tiga kali. Tetapi orang tersebut terus mendesaknya, maka ia menjawab: "Al-Qur'an adalah kalam Allah, bukan makhluk, sedangkan perbuatan manusia adalah makhluk dan fitnah merupakan bid’ah." Yang dimaksud dengan perbuatan manusia adalah bacaan dan ucapan mereka. Pendapat yang dikemukakan Imam Bukhari ini, yakni dengan membedakan antara yang dibaca dengan bacaan, adalah pendapat yang menjadi pegangan para ulama ahli tahqiq dan ulama salaf. Tetapi dengki dan iri adalah buta dan tuli.
Dalam sebuah riwayat disebutkan bahawa Bukhari perbah berkata: "Iman adalah perkataan dan perbuatan, bisa bertambah dan bisa berkurang. Al-Qur'an adalah kalam Allah, bukan makhluk. Sahabat Rasulullah SAW. yang paling utama adalah Abu Bakar, Umar, Usman kemudian Ali. Dengan berpegang pada keyakinan dan keimanan inilah aku hidup, aku mati dan dibangkitkan di akhirat kelak, insya Allah." Demikian juga ia pernah berkata: "Barang siapa menuduhku berpendapat bahawa lafaz-lafaz Al-Qur'an adalah makhluk, ia adalah pendusta."
Az-Zahli benar-benar telah murka kepadanya, sehingga ia berkata: "Lelaki itu (Bukhari) tidak boleh tinggal bersamaku di negeri ini." Oleh kerana Imam Bukhari berpendapat bahawa keluar dari negeri itu lebih baik, demi menjaga dirinya, dengan hrapan agar fitnah yang menimpanya itu dapat mereda, maka ia pun memutuskan untuk keluar dari negeri tersebut.
Setelah keluar dari Naisabur, Imam Bukhari pulang ke negerinya sendiri, Bukhara. Kedatangannya disambut meriah oleh seluruh penduduk. Untuk keperluan itu, mereka mengadakan upacara besar-besaran, mendirikan kemah-kemah sepanjang satu farsakh (± 8 km) dari luar kota dan menabur-naburkan uang dirham dan dinar sebagai manifestasi kegembiraan mereka. Selama beberapa tahun menetap di negerinya itu, ia mengadakan majlis pengajian dan pengajaran hadith.
Tetapi kemudian badai fitnah datang lagi. Kali ini badai itu datang dari penguasa Bukhara sendiri, Khalid bin Ahmad az-Zihli, walaupun sebabnya timbul dari sikap Imam Bukhari yang terlalu memuliakan ilmu yang dimlikinya. Ketika itu, penguasa Bukhara, mengirimkan utusan kepada Imam Bukhari, supaya ia mengirimkan kepadanya dua buah karangannya, al-Jami' al-Shahih dan Tarikh. Imam Bukhari keberatan memenuhi permintaan itu. Ia hanya berpesan kepada utusan itu agar disampaikan kepada Khalid, bahawa "Aku tidak akan merendahkan ilmu dengan membawanya ke istana. Jika hal ini tidak berkenan di hati tuan, tuan adalah penguasa, maka keluarkanlah larangan supaya aku tidak mengadakan majlis pengajian. Dengan begitu, aku mempunyai alas an di sisi Allah kelak pada hari kiamat, bahawa sebenarnya aku tidak menyembunyikan ilmu." Mendapat jawaban seperti itu, sang penguasa naik pitam, ia memerintahkan orang-orangnya agar melancarkan hasutan yang dapat memojokkan Imam Bukhari. Dengan demikian ia mempunyai alas an untuk mengusir Imam Bukhari. Tak lama kemudian Imam Bukhari pun diusir dari negerinya sendiri, Bukhara.
Imam Bukhari, kemudian mendo'akan tidak baik atas Khalid yang telah mengusirnya secara tidak sah. Belum sebulan berlalu, Ibn Tahir memerintahkan agar Khalid bin Ahmad dijatuhi hukuman, dipermalukan di depan umum dengan menungang himar betina. Maka hidup sang penguasa yang dhalim kepada Imam Bukhari itu berakhir dengan kehinaan dan dipenjara.

Kewafatannya

Imam Bukhari tidak saja mencurahkan seluruh intelegensi dan daya ingatnnya yang luar biasa itu pada karya tulisnya yang terpenting, Shahih Bukhari, tetapi juga melaksanakan tugas itu dengan dedikasi dan kesalehan. Ia selalu mandi dan berdo'a sebelum menulis buku itu. Sebahagian buku tersebut ditulisnya di samping makan Nabi di Madinah.
Imam Durami, guru Imam Bukhari, mengakui keluasan wawasan hadith muridnya ini: "Di antara ciptaan Tuhan pada masanya, Imam Bukharilah agaknya yang paling bijaksana."
Suatu ketika penduduk Samarkand mengirim surat kepada Imam Bukhari yang isinya meminta ia supaya menetap di negeri mereka. Maka kemudian ia pergi untuk memenuhi permohonan mereka. Ketika perjalanannya sampai di Khartand, sebuah dsa kecil yang terletak dua farsakh sebelum Samarkand, dan desa itu terdapat beberapa familinya, ia pun singgah terlebih dahulu untuk mengunjungi mereka. Tetapi di desa itu Imam Bukhari jatuh sakit hingga menemui ajalnya.
Ia wafat pada malam Idul Fitri tahun 256 H. (31 Agustus 870 M), dalam usia 62 tahun kurang 13 hari. Sebelum meninggal dunia, ia berpesan bahawa jika meninggal nanti jenazahnya agar dikafani tiga helai kain, tanpa baju dalam dan tidak memakai sorban. Pesan itu dilaksanakan dengan baik oleh masyarakat setempat. Jenazahnya dikebumikan lepas dzuhur, hari raya Idul Fitri, sesudah ia melewati perjalanan hidup panjang yang penuh dengan berbagai amal yang mulia. Semoga Allah melimpahkan rahmat dan ridha-Nya.

Guru-gurunya
Pengembaraannya ke berbagai negeri telah mempertemukan Imam Bukhari dengan guru-guru yang berbobot dan dapat dipercaya, yang mencapai jumlah sangat banyak. Diceritakan bahawa dia menyatakan: "Aku menulis hadith yang diterima dari 1.080 orang guru, yang semuanya adalah ahli hadith dan berpendirian bahawa iman adalah ucapan dan perbuatan." Di antara guru-guru besar itu adalah Ali ibn al-Madini, Ahmad ibn Hanbal, Yahya ibn Ma'in, Muhammad ibn Yusuf al-Faryabi, Maki ibn Ibrahim al-Bakhi, Muhammad ibn Yusuf al-Baykandi dan Ibn Rahawaih. Guru-guru yang hadithnya diriwayatkan dalam kitab Shahih-nya sebanyak 289 orang guru.

Murid-muridnya
Keluasan ilmu beliau terdengar ke berbagai pelosok bumi ini sehingga tidak heran jika begitu banyak penuntut ilmu yang mendatanginya untuk talaqqi ilmu. Menurut Muhammad bin Yusuf Al Firabri jumlah murid yang mendengarkan dan meriwayatkan dari beliau kitab shohih Bukhari berjumlah 90.000 orang.
Diantara murid beliau yang terkenal :
1. Abul Husain Muslim bin Hajjaj An Naisaburi (wafat 261 H); penyusun kitab Shahih Muslim
2. Abu Isa Muhammad bin Isa Tirmidzi (wafat 279 H); penyusun kitab Jami’ atau Sunan Tirmidzi dan beliau salah seorang murid yang terdekat dengan Imam Bukhari
3. Abu Abdirrahman Ahmad bin Syuaib An Nasaai (wafat 303 H); penyusun kitab Al Mujtaba’ atau Sunan Nasaai
4. Abu Muhammad Abdullah bin Abdirrahman Ad Darimi (wafat 255 H); penyusun kitab Sunan Darimi
5. Abu Abdillah Muhammad bin Nashr Al Marwazi (wafat 294 H); faqih, hafizh, imam dan penulis beberapa kitab yang bermanfaat seperti Ta’zhim Qadri Ash Sholah dan Qiiyam Al Lail
6. Abu Hatim Muhammad bin Idris Al Hanzhali Ar Rozi (wafat 277 H); hafizh dan salah seorang ulama al jarh wa at ta’diel.
7. Abu Bakar Muhammad bin Ishaq bin Khuzaimah (wafat 311 H); imamnya para imam dan penyusun kitab Shohih Ibn Khuzaimah
8. Abu Ishaq Ibrahim bin Ishaq Al Harbi (wafat 285 H); salah seorang tokoh ulama di zamannya yang digelari dengan Syaikhul Islam, Daraquthni pernah mengatakan bahwa beliau disamakan dengan Imam Ahmad dari sisi zuhud, ilmu dan wara’nya.
9. Muhammad bin Yusuf Al Firabri (wafat 330 H); salah seorang yang meriwayatkan shohih Bukhari dan riwayatnya adalah riwayat yang paling dikenal
10. Abu Ishaq Ibrahim bin Ma’qil An Nasafi (wafat 295 H); termasuk yang meriwayatkan shohih Bukhari dengan sanadnya di negeri Maghrib
Keutamaan dan Keistimewaan Imam Bukhari
Kerana kemasyhurannya sebagai seorang alim yang super jenius, sangat banyak muridnya yang belajar dan mendengar langsung hadithnya dari dia. Tak dapat dihitung dengan pasti berapa jumlah orang yang meriwayatkan hadith dari Imam Bukhari, sehingga ada yang berpendapat bahawa kitab Shahih Bukhari didengar secara langsung dari dia oleh sembilan puluh ribu (90.000) orang (Muqaddimah Fathul-Bari, jilid 22, hal. 204). Di antara sekian banyak muridnya yang paling menonjol adalah Muslim bin al-Hajjaj, Tirmidzi, Nasa'i, Ibn Khuzaimah, Ibn Abu Dawud, Muhammad bin Yusuf al-Firabri, Ibrahim bin Ma'qil al-Nasafi, Hammad bin Syakr al-Nasawi dan Mansur bin Muhammad al-Bazdawi. Empat orang yang terakhir ini merupakan yang paling masyhur sebagai perawi kitab Shahih Bukhari.
Dalam bidang kekuatan hafalan, ketazaman pikiran dan pengetahuan para perawi hadith, juga dalam bidang ilat-ilat hadith, Imam Bukhari merupakan salah satu tanda kekuasaan (ayat) dan kebesaran Allah di muka bumi ini. Allah telah mempercayakan kepada Bukhari dan para pemuka dan penghimpun hadith lainnya, untuk menghafal dan menjaga sunah-sunah Nabi kita Muhammad SAW. Diriwayatkan, bahawa Imam Bukhari berkata: "Saya hafal hadith di luar kepala sebanyak 100.000 buah hadith shahih, dan 200.000 hadith yang tidak shahih."
Mengenai kejeniusan Imam Bukhari dapat dibuktikan pada kisah berikut. Ketika ia tiba di Baghdad, ahli-ahli hadith di sana berkumpul untuk menguji kemampuan dan kepintarannya. Mereka mengambil 100 buah hadith, lalu mereka tukar-tukarkan sanad dan matannya (diputar balikkan), matan hadith ini diberi sanad hadith lain dan sanad hadith lain dinbuat untuk matan hadith yang lain pula. 10 orang ulama tampil dan masing-masing mengajukan pertanyaan sebanyak 10 pertanyaan tentang hadith yang telah diputarbalikkan tersebut. Orang pertama tampil dengan mengajukan sepuluh buah hadith kepada Bukhari, dan setiap orang itu selesai menyebutkan sebuah hadith, Imam Bukhari menjawab dengan tegas: "Saya tidak tahu hadith yang Anda sebutkan ini." Ia tetap memberikan jawaban serupa sampai kepada penanya yang ke sepuluh, yang masing-masing mengajukan sepuluh pertanyaan. Di antara hadirin yang tidak mengerti, memastikan bahawa Imam Bukhari tidak akan mungkin mampu menjawab dengan benar pertanyaan-pertanyaan itu, sedangkan para ulama berkata satu kepada yang lainnya: "Orang ini mengetahui apa yang sebenarnya."
Setelah 10 orang semuanya selesai mengajukan semua pertanyaannya yang jumlahnya 100 pertanyaan tadi, kemudian Imam Bukhari melihat kepada penanya yang pertama dan berkata: "Hadith pertama yang anda kemukakan isnadnya yang benar adalah begini; hadith kedua isnadnya yang benar adalah beginii…"
Begitulah Imam Bukhari menjawab semua pertanyaan satu demi satu hingga selesai menyebutkan sepuluh hadith. Kemudian ia menoleh kepada penanya yang kedua, sampai menjawab dengan selesai kemudian menoleh kepada penanya yang ketiga sampai menjawab semua pertanyaan dengan selesai sampai pada penanya yang ke sepuluh sampai selesai. Imam Bukhari menyebutkan satu persatu hadith-hadith yang sebenarnya dengan cermat dan tidak ada satupun dan sedikitpun yang salah dengan jawaban yang urut sesuai dengan sepuluh orang tadi mengeluarkan urutan pertanyaanya. Maka para ulama Baghdad tidak dapat berbuat lain, selain menyatakan kekagumannya kepada Imam Bukhari akan kekuatan daya hafal dan kecemerlangan pikirannya, serta mengakuinya sebagai "Imam" dalam bidang hadith.
Sebahagian hadirin memberikan komentar terhadap "uji cuba kemampuan" yang menegangkan ini, ia berkata: "Yang mengagumkan, bukanlah kerana Bukhari mampu memberikan jawaban secara benar, tetapi yang benar-benar sangat mengagumkan ialah kemampuannya dalam menyebutkan semua hadith yang sudah diputarbalikkan itu secara berurutan persis seperti urutan yang dikemukakan oleh 10 orang penguji, padahal ia hanya mendengar pertanyaan-pertanyaan yang banyak itu hanya satu kali."Jadi banyak pemirsa yang hairan dengan kemampuan Imam Bukhari mengemukakan 100 buah hadith secara berurutan seperti urutannya si penanya mengeluarkan pertanyaannya padahal beliau hanya mendengarnya satu kali, ditambah lagi beliau membetulkan rawi-rawi yang telah diputarbalikkan, ini sungguh luar biasa.
Imam Bukhari pernah berkata: "Saya tidak pernah meriwayatkan sebuah hadith pun juga yang diterima dari para sahabat dan tabi'in, melainkan saya mengetahui tarikh kelahiran sebahagian besar mereka, hari wafat dan tempat tinggalnya. Demikian juga saya tidak meriwayatkan hadith sahabat dan tabi'in, yakni hadith-hadith mauquf, kecuali ada dasarnya yang kuketahui dari Kitabullah dan sunah Rasulullah SAW."
Dengan kedudukannya dalam ilmu dan kekuatan hafalannya Imam Bukhari sebagaimana telah disebutkan, wajarlah jika semua guru, kawan dan generasi sesudahnya memberikan pujian kepadanya. Seorang bertanya kepada Qutaibah bin Sa'id tentang Imam Bukhari, ketika menyatakan : "Wahai para penenya, saya sudah banyak mempelajari hadith dan pendapat, juga sudah sering duduk bersama dengan para ahli fiqh, ahli ibadah dan para ahli zuhud; namun saya belum pernah menjumpai orang begitu cerdas dan pandai seperti Muhammad bin Isma'il al-Bukhari."
Imam al-A'immah (pemimpin para imam) Abu Bakar ibn Khuzaimah telah memberikan kesaksian terhadap Imam Bukhari dengan mengatakan: "Di kolong langit ini tidak ada orang yang mengetahui hadith, yang melebihi Muhammad bin Isma'il." Demikian pula semua temannya memberikan pujian. Abu Hatim ar-Razi berkata: "Khurasan belum pernah melahirkan seorang putra yang hafal hadith melebihi Muhammad bin Isma'il; juga belum pernah ada orang yang pergi dari kota tersebut menuju Iraq yang melebihi kealimannya."
Al-Hakim menceritakan, dengan sanad lengkap. Bahawa Muslim (pengarang kitab Shahih), datang kepada Imam Bukhari, lalu mencium antara kedua matanya dan berkata: "Biarkan saya mencium kaki tuan, wahai maha guru, pemimpin para ahli hadith dan dokter ahli penyakit (ilat) hadith." Mengenai sanjungan diberikan ulama generasi sesudahnya, cukup terwakili oleh perkataan al-Hafiz Ibn Hajar yang menyatakan: "Andaikan pintu pujian dan sanjungan kepada Bukhari masih terbuka bagi generasi sesudahnya, tentu habislah semua kertas dan nafas. Ia bagaikan laut tak bertepi."
Imam Bukhari adalah seorang yang berbadan kurus, berperawakan sedang, tidak terlalu tinggi juga tidak pendek; kulitnya agak kecoklatan dan sedikit sekali makan. Ia sangat pemalu namun ramah, dermawan, menjauhi kesenangan dunia dan cinta akhirat. Banyak hartanya yang disedekahkan baik secara sembunyi maupun terang-terangan, lebih-lebih untuk kepentingan pendidikan dan para pelajar. Kepada para pelajar ia memberikan bantuan dana yang cukup besar. Diceritakan ia pernah berkata: "Setiap bulan, saya berpenghasilan 500 dirham,semuanya dibelanjakan untuk kepentingan pendidikan. Sebab, apa yang ada di sisi Allah adalah lebih baik dan lebih kekal."
Imam Bukhari sangat hati-hati dan sopan dalam berbicara dan dalam mencari kebenaran yang hakiki di saat mengkritik para perawi. Terhadap perawi yang sudah jelas-jelas diketahui kebohongannya, ia cukup berkata: "Perlu dipertimbangkan, para ulama meninggalkannya atau para ulama berdiam diri tentangnya." Perkataan yang tegas tentang para perawi yang tercela ialah: "Hadithnya diingkari."
Meskipun ia sangat sopan dalam mengkritik para perawi, namun ia banyak meninggalkan hadith yang diriwayatkan seseorang hanya kerana orang itu diragukan. Dalam sebuah riwayat diceritakan bahawa ia berkata: "Saya meninggalkan 10.000 hadith yang diriwayatkan oleh perawi yang perlu dipertimbangkan, dan meninggalkan pula jumlah yang sama atau lebih, yang diriwayatkan perawi yang dalam pandanganku, perlu dipertimbangkan."
Selain dikenal sebagai ahli hadith, Imam Bukhari juga sebenarnya adalah ahli dalam fiqh. Dalam hal mengeluarkan fatwa, ia telah sampai pada darjat mujtahid mustaqiil (bebas, tidak terikat pendapatnya pada madzhab-madzhab tertentu) atau dapat mengeluarkan hukum secara sendirian. Dia mempunyai pendapat-pendapat hukum yang digalinya sendiri. Pendapat-pendapatnya itu terkadang sejalan dengan madzhab Abu Hanifah, terkadang sesuai dengan Madzhab Syafi'i dan kadang-kadang berbeda dengan keduanya. Selain itu pada suatu saat ia memilih madzhab Ibn Abbas, dan disaat lain memilih madzhab Mujahid dan 'Ata dan sebagainya. Jadi kesimpulannya adalah Imam Bukhari adalah seorang ahli hadith yang ulung dan ahli fiqh yg berijtihad sendiri, kendatipun yang lebih menonjol adalah setatusnya sebagai ahli hadith, bukan sebagai ahli fiqh.
Di sela-sela kesibukannya sebagai seorang alim, ia juga tidak melupakan kegiatan lain yang dianggap penting untuk menegakkan Dinul Islam. Imam Bukhari sering belajar memanah sampai mahir, sehingga dikatakan bahawa sepanjang hidupnya, ia tidak pernah luput dalam memanah kecuali hanya dua kali. Keadaan itu timbul sebagai pengamalan sunah Rasul yang mendorong dan menganjurkan kaum Muslimin belajar menggunakan anak panah dan alat-alat perang lainnya. Tujuannya adalah untuk memerangi musuh-musuh Islam dan mempertahankannya dari kejahatan mereka.
Karya-karya Imam Bukhari

Di antara hasil karya Imam Bukhari adalah sebagai berikut :

• Al-Jami' as-Shahih (Shahih Bukhari).
• Al-Adab al-Mufrad.
• At-Tarikh as-Sagir.
• At-Tarikh al-Awsat.
• At-Tarikh al-Kabir.
• At-Tafsir al-Kabir.
• Al-Musnad al-Kabir.
• Kitab al-'Ilal.
• Raf'ul-Yadain fis-Salah.
• Birril-Walidain.
• Kitab al-Asyribah.
• Al-Qira'ah Khalf al-Imam.
• Kitab ad-Du'afa.
• Asami as-Sahabah.
• Kitab al-Kuna.

Sekilas Tentang Kitab AL-JAMI' AS-SHAHIH (Shahih Bukhari)
Diceritakan, Imam Bukhari berkata: "Aku bermimpi melihat Rasulullah SAW.; seolah-olah aku berdiri di hadapannya, sambil memegang kipas yang kupergunakan untuk menjaganya. Kemudian aku tanyakan mimpi itu kepada sebahagian ahli ta'bir, ia menjelaskan bahawa aku akan menghancurkan dan mengikis habis kebohongan dari hadith Rasulullah SAW. Mimpi inilah, antara lain, yang mendorongku untuk melahirkan kitab Al-Jami' as-Shahih."
Dalam menghimpun hadith-hadith shahih dalam kitabnya, Imam Bukhari menggunakan kaidah-kaidah penelitian secara ilmiah dan sah yang menyebabkan keshahihan hadith-hadithnya dapat dipertanggungjawabkan. Beliau telah berusaha dengan sungguh-sungguh untuk meneliti dan menyelidiki keadaan para perawi, serta memperoleh secara pasti keshahihan hadith-hadith yang diriwayatkannya. Beliau senantiasa membanding-bandingkan hadith-hadith yang diriwayatkan, satu dengan yang lain, menyaringnya dan memlih has mana yang menurutnya paling shahih. Sehingga kitabnya merupakan batu uji dan penyaring bagi hadith-hadith tersebut. Hal ini tercermin dari perkataannya: "Aku susun kitab Al-Jami' ini yang dipilih dari 600.000 hadith selama 16 tahun." Dan beliau juga sangat hati-hati, hal ini dapat dilihat dari pengakuan salah seorang muridnya bernama al-Firbari menjelaskan bahawa ia mendengar Muhammad bin Isma'il al-Bukhari berkata: "Aku susun kitab Al-Jami' as-Shahih ini di Masjidil Haram, dan tidaklah aku memasukkan ke dalamnya sebuah hadith pun, kecuali sesudah aku memohonkan istikharoh kepada Allah dengan melakukan salat dua rekaat dan sesudah aku meyakini betul bahawa hadith itu benar-benar shahih."
Maksud pernyataan itu ialah bahawa Imam Bukhari mulai menyusun bab-babnya dan dasar-dasarnya di Masjidil Haram secara sistematis, kemudian menulis pendahuluan dan pokok-pokok bahasannya di Rawdah tempat di antara makan Nabi SAW. dan mimbar. Setelah itu, ia mengumpulkan hadith-hadith dan menempatkannya pada bab-bab yang sesuai. Pekerjaan ini dilakukan di Mekah, Madinah dengan tekun dan cermat, menyusunnya selama 16 tahun.
Dengan usaha seperti itu, maka lengkaplah bagi kitab tersebut segala faktor yang menyebabkannya mencapai kebenaran, yang nilainya tidak terdapat pada kitab lain. Kerananya tidak menghairankan bila kitab itu mempunyai kedudukan tinggi dalam hati para ulama. Maka sungguh tepatlah ia mendapat predikat sebagai "Buku Hadith Nabi yang Paling Shahih."
Diriwayatkan bahawa Imam Bukhari berkata: "Tidaklah ku masukkan ke dalam kitab Al-Jami' as-Shahih ini kecuali hadith-hadith yang shahih; dan ku tinggalkan banyak hadith shahih kerana khawatir membosankan."
Kesimpulan yang diperoleh para ulama, setelah mengadakan penelitian secara cermat terhadap kitabnya, menyatakan bahawa Imam Bukhari dalam kitab Shahih-nya selalu berpegang teguh pada tingkat keshahihan yang paling tinggi, dan tidak turun dari tingkat tersebut kecuali dalam beberapa hadith yang bukan merupakan materi pokok dari sebuah bab, seperti hadith mutabi dan hadith syahid, dan hadith-hadith yang diriwayatkan dari sahabat dan tabi'in.
Jumlah Hadith Kitab Al-Jami'as-Shahih (Shahih Bukhari)
Al-'Allamah Ibnus-Salah dalam Muqaddimah-nya menyebutkan, bahawa jumlah hadith Shahih Bukhari sebanyak 7.275 buah hadith, termasuk hadith-hadith yang disebutnya berulang, atau sebanyak 4.000 hadith tanpa pengulangan. Perhitungan ini diikuti oleh Al-"Allamah Syaikh Muhyiddin an-Nawawi dalam kitabnya, At-Taqrib.
Selain pendapat tersebut di atas, Ibn Hajar di dalam muqaddimah Fathul-Bari, kitab syarah Shahih Bukhari, menyebutkan, bahawa semua hadith shahih mawsil yang termuat dalam Shahih Bukhari tanpa hadith yang disebutnya berulang sebanyak 2.602 buah hadith. Sedangkan matan hadith yang mu'alaq namun marfu', yakni hadith shahih namun tidak diwasalkan (tidak disebutkan sanadnya secara sambung-menyambung) pada tempat lain sebanyak 159 hadith. Semua hadith Shahih Bukhari termasuk hadith yang disebutkan berulang-ulang sebanyak 7.397 buah. Yang mu'alaq sejumlah 1.341 buah, dan yang mutabi' sebanyak 344 buah hadith. Jadi, berdasarkan perhitungan ini dan termasuk yang berulang-ulang, jumlah seluruhnya sebanyak 9.082 buah hadith. Jumlah ini diluar haits yang mauquf kepada sahabat dan (perkataan) yang diriwayatkan dari tabi'in dan ulama-ulama sesudahnya.

11. Imam Muslim

Penghimpun dan penyusun hadith terbaik kedua setelah Imam Bukhari adalah Imam Muslim. Nama lengkapnya ialah Imam Abul Husain Muslim bin al-Hajjaj bin Muslim bin Kausyaz al-Qusyairi an-Naisaburi. Ia juga mengarang kitab As-Shahih (terkenal dengan Shahih Muslim). Ia salah seorang ulama terkemuka yang namanya tetap dikenal hingga kini. Ia dilahirkan di Naisabur pada tahun 206 H. menurut pendapat yang shahih sebagaimana dikemukakan oleh al-Hakim Abu Abdullah dalam kitabnya 'Ulama'ul-Amsar.
Kehidupan dan Lawatannya untuk Mencari Ilmu
Ia belajar hadith sejak masih dalam usia dini, yaitu mulaii tahun 218 H. Ia pergi ke Hijaz, Iraq, Syam, Mesir dan negara-negara lainnya.
Dalam lawatannya Imam Muslim banyak mengunjungi ulama-ulama kenamaan untuk berguru hadith kepada mereka. Di Khurasan, ia berguru kepada Yahya bin Yahya dan Ishak bin Rahawaih; di Ray ia berguru kepada Muhammad bin Mahran dan Abu 'Ansan. Di Irak ia belajar hadith kepada Ahmad bin Hambal dan Abdullah bin Maslamah; di Hijaz belajar kepada Sa'id bin Mansur dan Abu Mas'Abuzar; di Mesir berguru kepada 'Amr bin Sawad dan Harmalah bin Yahya, dan kepada ulama ahli hadith yang lain.
Muslim berkali-kali mengunjungi Baghdad untuk belajar kepada ulama-ulama ahli hadith, dan kunjungannya yang terakhir pada 259 H. di waktu Imam Bukhari datang ke Naisabur, Muslim sering datang kepadanya untuk berguru, sebab ia mengetahui jasa dan ilmunya. Dan ketika terjadi fitnah atau kesenjangan antara Bukhari dan Az-Zihli, ia bergabung kepada Bukhari, sehingga hal ini menjadi sebab terputusnya hubungan dengan Az-Zihli. Muslim dalam Shahihnya maupun dalam kitab lainnya, tidak memasukkan hadith-hadith yang diterima dari Az-Zihli padahal ia adalah gurunya. Hal serupa ia lakukan terhadap Bukhari. Ia tidak meriwayatkan hadith dalam Shahihnya, yang diterimanya dari Bukhari, padahal iapun sebagai gurunya. Nampaknya pada hemat Muslim, yang lebih baik adalah tidak memasukkan ke dalan Shahihnya hadith-hadith yang diterima dari kedua gurunya itu, dengan tetap mengakui mereka sebagai guru.
Wafatnya
Imam Muslim wafat pada Minggu sore, dan dikebumikan di kampung Nasr Abad, salah satu daerah di luar Naisabur, pada hari Senin, 25 Rajab 261 H. dalam usia 55 tahun.
Guru-gurunya
Selain yang telah disebutkan di atas, Muslim masih mempunyai banyak ulama yang menjadi gurunya. Di antaranya : Usman dan Abu Bakar, keduanya putra Abu Syaibah; Syaiban bin Farwakh, Abu Kamil al-Juri, Zuhair bin Harb, Amr an-Naqid, Muhammad bin al-Musanna, Muhammad bin Yassar, Harun bin Sa'id al-Ayli, Qutaibah bin Sa'id dan lain sebagainya.
Murid-muridnya
Tidak sedikit para ulama yang meriwayatkan hadits dari Imam Muslim. Di antaranya terdapat ulama-ulama besar yang sederajat dengannya, seperti Abu Hafidh al-Razi, Musa bin Harun, Ahmad bin Salamah, Abu Bakar bin Khuzaimah, Yahya bin Said, Abu Tawwanah al-Ishfiroyini, dan Abu Isa al-Tirmidzi. Selain ulama-ulama di atas, yang juga tercatat sebagai murid Imam Muslim antara lain; Ahmad bin Mubarak al-Mustamli, Abu al-Abbas Muhammad bin Ishak bin al-Siraj. Di antara sekian banyak muridnya itu, yang paling istimewa adalah Ibrahim bin Muhammad bin Sufyan, seorang ahli fiqih lagi zahid. Ia adalah perawat utama kitab Shahih Muslim.
Keahlian dalam Hadith
Apabila Imam Bukhari merupakan ulama terkemuka di bidang hadith shahih, berpengetahuan luas mengenai ilat-ilat dan seluk beluk hadith, serta tajam kritiknya, maka Imam Muslim adalah orang kedua setelah Imam Bukhari, baik dalam ilmu dan pengetahuannya maupun dalam keutamaan dan kedudukannya.
Imam Muslim banyak menerima pujian dan pengakuan dari para ulama ahli hadith maupun ulama lainnya. Al-Khatib al-Baghdadi berketa, "Muslim telah mengikuti jejak Bukhari, memperhatikan ilmunya dan menempuh jalan yang dilaluinya." Pernyataan ini tidak bererti bahawa Muslim hanyalah seorang pengekor. Sebab, ia mempunyai ciri khas dan karakteristik tersendiri dalam menyusun kitab, serta metode baru yang belum pernah diperkenalkan orang sebelumnya.
Abu Quraisy al-Hafiz menyatakan bahawa di dunia ini orang yang benar-benar ahli di bidang hadith hanya empat orang; salah satu di antaranya adalah Muslim (Tazkiratul Huffaz, jilid 2, hal. 150). Maksud perkataan tersebut adalah ahli-ahli hadith terkemuka yang hidup di masa Abu Quraisy, sebab ahli hadith itu cukup banyak jumlahnya.
Karya-karya Imam Muslim

Imam Muslim meninggalkan karya tulis yang tidak sedikit jumlahnya, di antaranya :

• Al-Jami' as-Shahih (Shahih Muslim).
• Al-Musnadul Kabir (kitab yang menerangkan nama-nama para perawi hadith).
• Kitabul-Asma' wal-Kuna.
• Kitab al-'Ilal.
• Kitabul-Aqran.
• Kitabu Su'alatihi Ahmad bin Hambal.
• Kitabul-Intifa' bi Uhubis-Siba'.
• Kitabul-Muhadramin.
• Kitabu man Laisa lahu illa Rawin Wahid.
• Kitab Auladis-Sahabah.
• Kitab Awhamil-Muhadditsin.


Kitab Shahih Muslim
Di antara kitab-kitab di atas yang paling agung dan sangat bermanfat luas, serta masih tetap beredar hingga kini ialah Al-Jami' as-Shahih, terkenal dengan Shahih Muslim. Kitab ini merupakan salah satu dari dua kitab yang paling shahih dan murni sesudah Kitabullah. Kedua kitab Shahih ini diterima baik oleh segenap umat Islam.
Imam Muslim telah mengerahkan seluruh kemampuannya untuk meneliti dan mempelajari keadaan para perawi, menyaring hadith-hadith yang diriwayatkan, membandingkan riwayat-riwayat itu satu sama lain. Muslim sangat teliti dan hati-hati dalam menggunakan lafaz-lafaz, dan selalu memberikan isyarat akan adanya perbedaan antara lafaz-lafaz itu. Dengan usaha yang sedeemikian rupa, maka lahirlah kitab Shahihnya.
Bukti konkrit mengenai keagungan kitab itu ialah suatu kenyataan, di mana Muslim menyaring isi kitabnya dari ribuan riwayat yang pernah didengarnya. Diceritakan, bahawa ia pernah berkata: "Aku susun kitab Shahih ini yang disaring dari 300.000 hadith."
Diriwayatkan dari Ahmad bin Salamah, yang berkata : "Aku menulis bersama Muslim untuk menyusun kitab Shahihnya itu selama 15 tahun. Kitab itu berisi 12.000 buah hadith.
Dalam pada itu, Ibn Salah menyebutkan dari Abi Quraisy al-Hafiz, bahawa jumlah hadith Shahih Muslim itu sebanyak 4.000 buah hadith. Kedua pendapat tersebut dapat kita kompromikan, yaitu bahawa perhitungan pertama memasukkan hadith-hadith yang berulang-ulang penyebutannya, sedangkan perhitungan kedua hanya menghitung hadith-hadith yang tidak disebutkan berulang.
Imam Muslim berkata di dalam Shahihnya: "Tidak setiap hadith yang shahih menurutku, aku cantumkan di sini, yakni dalam Shahihnya. Aku hanya mencantumkan hadith-hadith yang telah disepakati oleh para ulama hadith."
Imam Muslim pernah berkata, sebagai ungkapan gembira atas karunia Tuhan yang diterimanya: "Apabila penduduk bumi ini menulis hadith selama 200 tahun, maka usaha mereka hanya akan berputar-putar di sekitar kitab musnad ini."
Ketelitian dan kehati-hatian Muslim terhadap hadith yang diriwayatkan dalam Shahihnya dapat dilihat dari perkataannya sebagai berikut : "Tidaklah aku mencantumkan sesuatu hadith dalam kitabku ini, melainkan dengan alasan; juga tiada aku menggugurkan sesuatu hadith daripadanya melainkan dengan alas an pula."
Imam Muslim di dalam penulisan Shahihnya tidak membuat judul setiap bab secara terperinci. Adapun judul-judul kitab dan bab yang kita dapati pada sebahagian naskah Shahih Muslim yang sudah dicetak, sebenarnya dibuat oleh para pengulas yang datang kemudian. Di antara pengulas yang paling baik membuatkan judul-judul bab dan sistematika babnya adalah Imam Nawawi dalam Syarahnya.

12. Imam Abu Dawud
Setelah Imam Bukhari dan Imam Muslim, kini giliran Imam Abu Dawud yang juga merupakan tokoh kenamaan ahli hadith pada zamannya. Kealiman, kesalihan dan kemuliaannya semerbak mewangi hingga kini.
Abu Dawud nama lengkapnya ialah Sulaiman bin al-Asy'as bin Ishaq bin Basyir bin Syidad bin 'Amr al-Azdi as-Sijistani, seorang imam ahli hadith yang sangat teliti, tokoh terkemuka para ahli hadith setelah dua imam hadith Bukhari dan Muslim serta pengarang kitab Sunan. Ia dilahirkan pada tahun 202 H/817 M di Sijistan.
Perkembangan dan Perlawatannya
Sejak kecilnya Abu Dawud sudah mencintai ilmu dan para ulama, bergaul dengan mereka untuk dapat mereguk dan menimba ilmunya. Belum lagi mencapai usia dewasa, ia telah mempersiapkan dirinya untuk mengadakan perlawatan, mengelilingi berbagai negeri. Ia belajar hadith dari para ulama yang tidak sedikit jumlahnya, yang dijumpainya di Hijaz, Syam, Mesir, Irak, Jazirah, Sagar, Khurasan dan negeri-negeri lain. Perlawatannya ke berbagai negeri ini membantu dia untuk memperoleh pengetahuan luas tentang hadith, kemudian hadith-hadith yang diperolehnya itu disaring dan hasil penyaringannya dituangkan dalam kitab As-Sunan. Abu Dawud mengunjungi Baghdad berkali-kali. Di sana ia mengajarkan hadith dan fiqh kepada para penduduk dengan memakai kitab Sunan sebagai pegangannya. Kitab Sunan karyanya itu diperlihatkannya kepada tokoh ulama hadith, Ahmad bin Hanbal.
Dengan bangga Imam Ahmad memujinya sebagai kitab yang sangat indah dan baik. Kemudian Abu Dawud menetap di Basrah atas permintaan gubernur setempat yang menghendaki supaya Basrah menjadi "Ka'bah" bagi para ilmuwan dan peminat hadith.
Guru-gurunya
Para ulama yang menjadi guru Imam Abu Dawud banyak jumlahnya. Di antaranya guru-guru yang paling terkemuka ialah Ahmad bin Hanbal, al-Qa'nabi, Abu 'Amr ad-Darir, Muslim bin Ibrahim, Abdullah bin Raja', Abu'l Walid at-Tayalisi dan lain-lain. Sebahagian gurunya ada pula yang menjadi guru Imam Bukhari dan Imam Muslim, seperti Ahmad bin Hanbal, Usman bin Abi Syaibah dan Qutaibah bin Sa'id.

Murid-muridnya (Para Ulama yang Mewarisi Hadithnya)
Ulama-ulama yang mewarisi hadithnya dan mengambil ilmunya, antara lain Abu 'Isa at-Tirmidzi, Abu Abdur Rahman an-Nasa'i, putranya sendiri Abu Bakar bin Abu Dawud, Abu Awanah, Abu Sa'id al-A'rabi, Abu Ali al-Lu'lu'i, Abu Bakar bin Dassah, Abu Salim Muhammad bin Sa'id al-Jaldawi dan lain-lain.
Cukuplah sebagai bukti pentingnya Abu Dawud, bahawa salah seorang gurunya, Ahmad bin Hanbal pernah meriwayatkan dan menulis sebuah hadith yang diterima dari padanya. Hadith tersebut ialah hadith yang diriwayatkan oleh Abu Dawud, dari Hammad bin Salamah dari Abu Ma'syar ad-Darami, dari ayahnya, sebagai berikut: "Rasulullah SAW. ditanya tentang 'atirah, maka ia menilainya baik."
Akhlak dan Sifat-sifatnya yang Terpuji
Abu Dawud adalah salah seorang ulama yang mengamalkan ilmunya dan mencapai darjat tinggi dalam ibadah, kesucian diri, wara' dan kesalehannya. Ia adalah seorang sosok manusia utama yang patut diteladani perilaku, ketenangan jiwa dan keperibadiannya. Sifat-sifat Abu Dawud ini telah diungkapkan oleh sebahagian ulama yang menyatakan:
“Abu Dawud menyerupai Ahmad bin Hanbal dalam perilakunya, ketenangan jiwa dan kebagusan pandangannya serta keperibadiannya. Ahmad dalam sifat-sifat ini menyerupai Waki', Waki menyerupai Sufyan as-Sauri, Sufyan menyerupai Mansur, Mansur menyerupai Ibrahim an-Nakha'i, Ibrahim menyerupai 'Alqamah dan ia menyerupai Ibn Mas'ud. Sedangkan Ibn Mas'ud sendiri menyerupai Nabi SAW dalam sifat-sifat tersebut.”
Sifat dan keperibadian yang mulia seperti ini menunjukkan atas kesempurnaan keberagamaan, tingkah laku dan akhlak.
Abu Dawud mempunyai pandangan dan falsafah sendiri dalam cara berpakaian. Salah satu lengan bajunya lebar namun yang satunya lebih kecil dan sempit. Seseorang yang melihatnya bertanya tentang kenyentrikan ini, ia menjawab:
"Lengan baju yang lebar ini digunakan untuk membawa kitab-kitab, sedang yang satunya lagi tidak diperlukan. Jadi, kalau dibuat lebar, hanyalah berlebih-lebihan.

Pujian Para Ulama Kepadanya
Abu Dawud adalah juga merupakan "bendera Islam" dan seorang hafiz yang sempurna, ahli fiqh dan berpengetahuan luas terhadap hadith dan ilat-ilatnya. Ia memperoleh penghargaan dan pujian dari para ulama, terutama dari gurunya sendiri, Ahmad bin Hanbal. Al-Hafiz Musa bin Harun berkata mengenai Abu Dawud:
"Abu Dawud diciptakan di dunia hanya untuk hadith, dan di akhirat untuk surga. Aku tidak melihat orang yang lebih utama melebihi dia."
Sahal bin Abdullah At-Tistari, seorang yang alim mengunjungi Abu Dawud. Lalu dikatakan kepadanya: "Ini adalah Sahal, datang berkunjung kepada tuan."

Abu Dawud pun menyambutnya dengan hormat dan mempersilahkan duduk. Kemudian Sahal berkata: "Wahai Abu Dawud, saya ada keperluan keadamu." Ia bertanya: "Keperluan apa?" "Ya, akan saya utarakan nanti, asalkan engkau berjanji akan memenuhinya sedapat mungkin," jawab Sahal. "Ya, aku penuhi maksudmu selama aku mampu," tandan Abu Dawud. Lalu Sahal berkata: "Jujurkanlah lidahmu yang engkau pergunakan untuk meriwayatkan hadith dari Rasulullah SAW. sehingga aku dapat menciumnya." Abu Dawud pun lalu menjulurkan lidahnya yang kemudian dicium oleh Sahal.
Ketika Abu Dawud menyusun kitab Sunan, Ibrahim al-Harbi, seorang ulama ahli hadith berkata: "Hadith telah dilunakkan bagi Abu Dawud, sebagaimana besi dilunakkan bagi Nabi Dawud." Ungkapan ini adalah kata-kata simbolik dan perumpamaan yang menunjukkan atas keutamaan dan keunggulan seseorang di bidang penyusunan hadith. Ia telah mempermudah yang sulit, mendekatkan yang jauh dan memudahkan yang masih rumit dan pelik.
Abu Bakar al-Khallal, ahli hadith dan fiqh terkemuka yang bermadzhab Hanbali, menggambarkan Abu Dawud sebagai berikut; Abu Dawud Sulaiman bin al-Asy'as, imam terkemuka pada zamannya adalah seorang tokoh yang telah menggali beberapa bidang ilmu dan mengetahui tempat-tempatnya, dan tiada seorang pun pada masanya yang dapat mendahului atau menandinginya. Abu Bakar al-Asbihani dan Abu Bakar bin Sadaqah senantiasa menyinggung-nyingung Abu Dawud kerana ketinggian darjatnya, dan selalu menyebut-nyebutnya dengan pujian yang tidak pernah mereka berikan kepada siapa pun pada masanya.
Madzhab Fiqh Abu Dawud
Syaikh Abu Ishaq asy-Syairazi dalam asy-Syairazi dalam Tabaqatul-Fuqaha-nya menggolongkan Abu Dawud ke dalam kelompok murid-murid Imam Ahmad. Demikian juga Qadi Abu'l-Husain Muhammad bin al-Qadi Abu Ya'la (wafat 526 H) dalam Tabaqatul-Hanabilah-nya. Penilaian ini nampaknya disebabkan oleh Imam Ahmad merupakan gurunya yang istimewa. Menurut satu pendapat, Abu Dawud adalah bermadzhab Syafi'i.
Menurut pendapat yang lain, ia adalah seorang mujtahid sebagaimana dapat dilihat pada gaya susunan dan sistematika Sunan-nya. Terlebih lagi bahawa kemampuan berijtihad merupakan salah satu sifat khas para imam hadith pada masa-masa awal.
Tanggal Wafatnya
Setelah mengalami kehidupan penuh berkat yang diisi dengan aktivitas ilmia, menghimpun dan menyebarluaskan hadith, Abu Dawud meninggal dunia di Basrah yang dijadikannya sebagai tempat tinggal atas permintaan Amir sebagaimana telah diceritakan. Ia wafat pada tanggal 16 Syawwal 275 H/889M. Semoga Allah senantiasa melimpahkan rahmat dan ridha-Nya kepadanya.
Karya-karyanya

Imam Abu Dawud banyak memiliki karya, antara lain:
• Kitab AS-Sunnan (Sunan Abu Dawud).
• Kitab Al-Marasil.
• Kitab Al-Qadar.
• An-Nasikh wal-Mansukh.
• Fada'il al-A'mal.
• Kitab Az-Zuhd.
• Dala'il an-Nubuwah.
• Ibtida' al-Wahyu.
• Ahbar al-Khawarij.

Di antara karya-karya tersebut yang paling bernilai tinggi dan masih tetap eredar adalah kitab Amerika Serikat-Sunnan, yang kemudian terkenal dengan nama unan Abi Dawud.

Kitab Sunan Karya Abu Dawud
Metode Abu Dawud dalam Penyusunan Sunan-nya
Karya-karya di bidang hadith, kitab-kitab Jami' Musnad dan sebagainya disamping berisi hadith-hadith hukum, juga memuat hadith-hadith yang berkenaan dengan amal-amal yang terpuji (fada'il a'mal) kisah-kisah, nasehat-nasehat (mawa'iz), adab dan tafsir. Cara demikian tetap berlangsung sampai datang Abu Dawud. Maka Abu Dawud menyusun kitabnya, khusus hanya memuat hadith-hadith hukum dan sunnah-sunnah yang menyangkut hukum. Ketika selesai menyusun kitabnya itu kepada Imam Ahmad bin Hanbal, dan Ibn Hanbal memujinya sebagai kitab yang indah dan baik.
Abu Dawud dalam sunannya tidak hanya mencantumkan hadith-hadith shahih semata sebagaimana yang telah dilakukan Imam Bukhari dan Imam Muslim, tetapi ia memasukkan pula kedalamnya hadith shahih, hadith hasan, hadith dha'if yang tidak terlalu lemah dan hadith yang tidak disepakati oleh para imam untuk ditinggalkannya. Hadith-hadith yang sangat lemah, ia jelaskan kelemahannya.

Cara yang ditempuh dalam kitabnya itu dapat diketahui dari suratnya yang ia kirimkan kepada penduduk Makkah sebagai jawaban atas pertanyaan yang diajukan mereka mengenai kitab Sunannya. Abu Dawud menulis sbb:

"Aku mendengar dan menulis hadith Rasulullah SAW sebanyak 500.000 buah. Dari jumlah itu, aku seleksi sebanyak 4.800 hadith yang kemudian aku tuangkan dalam kitab Sunan ini. Dalam kitab tersebut aku himpun hadith-hadith shahih, semi shahih dan yang mendekati shahih. Dalam kitab itu aku tidak mencantumkan sebuah hadith pun yang telah disepakati oleh orang banyak untuk ditinggalkan. Segala hadith yang mengandung kelemahan yang sangat ku jelaskan, sebagai hadith macam ini ada hadith yang tidak shahih sanadnya. Adapun hadith yang tidak kami beri penjelasan sedikit pun, maka hadith tersebut bernilai salih (bias dipakai alasan, dalil), dan sebahagian dari hadith yang shahih ini ada yang lebih shahih daripada yang lain. Kami tidak mengetahui sebuah kitab, sesudah Qur'an, yang harus dipelajari selain daripada kitab ini. Empat buah hadith saja dari kitab ini sudah cukup menjadi pegangan bagi keberagaman tiap orang. Hadith tersebut adalah, yang ertinya:
Pertama: "Segala amal itu hanyalah menurut niatnya, dan tiap-tiap or memperoleh apa yang ia niatkan. Kerana itu maka barang siapa berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, niscaya hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya pula. Dan barang siapa hijrahnya kerana untuk mendapatkan dunia atau kerana perempuan yang ingin dikawininya, maka hijrahnya hanyalah kepada apa yang dia hijrah kepadanya itu."
Kedua: "Termasuk kebaikan Islam seseorang ialah meninggalkan apa yang tidak berguna baginya."
Ketiga: "Tidaklah seseorang beriman menjadi mukmin sejati sebelum ia merelakan untuk saudaranya apa-apa yang ia rela untuk dirinya."
Keempat: "Yang halal itu sudah jelas, dan yang haram pun telah jelas pula. Di antara keduanya terdapat hal-hal syubhat (atau samar) yang tidak diketahui oleh banyak orang. Barang siapa menghindari syubhat, maka ia telah membersihkan agama dan kehormatan dirinya; dan barang siapa terjerumus ke dalam syubhat, maka ia telah terjerumus ke dalam perbuatan haram, ibarat penggembala yang menggembalakan ternaknya di dekat tempat terlarang. Ketahuilah, sesungguhnya setiap penguasa itu mempunyai larangan. Ketahuilah, sesungguhnya larangan Allah adalah segala yang diharamkan-Nya. Ingatlah, di dalam rumah ini terdapat sepotong daging, jika ia baik, maka baik pulalah semua tubuh dan jika rusak maka rusak pula seluruh tubuh. Ingatlah, ia itu hati."
Demikianlah penegasan Abu Dawud dalam suratnya. Perkataan Abu Dawud itu dapat dijelaskan sebagai berikut:
Hadith pertama adalah ajaran tentang niat dan keikhlasan yang merupakan asas utama bagi semua amal perbuatan diniah dan duniawiah.
Hadith kedua merupakan tuntunan dan dorongan bagi ummat Islam agar selalu melakukan setiap yang bermanfaat bagi agama dan dunia.
Hadith ketiga, mengatur tentang hak-hak keluarga dan tetangga, berlaku baik dalam pergaulan dengan orang lain, meninggalkan sifat-sifat egoistis, dan membuang sifat iri, dengki dan benci, dari hati masing-masing.
Hadith keempat merupakan dasar utama bagi pengetahuan tentang halal haram, serta cara memperoleh atau mencapai sifat wara', yaitu dengan cara menjauhi hal-hal musykil yang samar dan masih dipertentangkan status hukumnya oleh para ulama, kerana untuk menganggap enteng melakukan haram.
Dengan hadith ini nyatalah bahawa keempat hadith di atas, secara umum, telah cukup untuk membawa dan menciptakan kebahagiaan.
Komentar Para Ulama Mengenai Kedudukan Kitab Sunan Abu Dawud
Tidak sedikit ulama yang memuji kitab Sunan ini. Hujatul Islam, Imam Abu Hamid al-Ghazali berkata: "Sunan Abu Dawud sudah cukup bagi para mujtahid untuk mengetahui hadith-hadith ahkam." Demikian juga dua imam besar, An-Nawawi dan Ibnul Qayyim Al-Jauziyyah memberikan pujian terhadap kitab Sunan ini bahkan beliau menjadikan kitab ini sebagai pegangan utama di dalam pengambilan hukum.

Hadith-hadith Sunan Abu Dawud yang Dikritik
Imam Al-Hafiz Ibnul Jauzi telah mengkritik beberapa hadith yang dicantumkan oleh Abu Dawud dalam Sunannya dan memandangnya sebagai hadith-hadith maudhu’ (palsu). Jumlah hadith tersebut sebanyak 9 buah hadith. Walaupun demikian, disamping Ibnul Jauzi itu dikenal sebagai ulama yang terlalu mudah memvonis "palsu", namun kritik-kritik telah ditanggapi dan sekaligus dibantah oleh sebahagian ahli hadith, seperti Jalaluddin as-Suyuti. Dan andaikata kita menerima kritik yang dilontarkan Ibnul Jauzi tersebut, maka sebenarnya hadith-hadith yang dikritiknya itu sedikit sekali jumlahnya, dan hampir tidak ada pengaruhnya terhadap ribuan hadith yang terkandung di dalam kitab Sunan tersebut. Kerana itu kami melihat bahawa hadith-hadith yang dikritik tersebut tidak mengurangi sedikit pun juga nilai kitab Sunan sebagai referensi utama yang dapat dipertanggungjawabkan keabsahanya.

Jumlah Hadith Sunan Abu Dawud
Di atas telah disebutkan bahawa isi Sunan Abu Dawud itu memuat hadith sebanyak 4.800 buah hadith. Namun sebahagian ulama ada yang menghitungnya sebanyak 5.274 buah hadith. Perbedaan jumlah ini disebabkan bahawa sebahagian orang yang menghitungnya memandang sebuah hadith yang diulang-ulang sebagai satu hadith, namun yang lain menganggapnya sebagai dua hadith atau lebih. Dua jalan periwayatan hadith atau lebih ini telah dikenal di kalangan ahli hadith.
Abu Dawud membagi kitab Sunannya menjadi beberapa kitab, dan tiap-tiap kitab dibagi pula ke dalam beberapa bab. Jumlah kitab sebanyak 35 buah, di antaranya ada 3 kitab yang tidak dibagi ke dalam bab-bab. Sedangkan jumlah bab sebanyak 1,871 buah bab.
13. Imam Tirmidzi
Setelah Imam Bukhari, Imam Muslim dan Imam Abu Dawud, kini giliran Imam Tirmidzi, juga merupakan tokoh ahli hadith dan penghimpun hadith yang terkenal. Karyanya yang masyhur yaitu Kitab Al-Jami’ (Jami’ At-Tirmidzi). Ia juga tergolonga salah satu “Kutubus Sittah” (Enam Kitab Pokok Bidang Hadith) dan ensiklopedia hadith terkenal.
Imam al-Hafiz Abu ‘Isa Muhammad bin ‘Isa bin Saurah bin Musa bin ad-Dahhak Amerika Serikat-Sulami at-Tirmidzi, salah seorang ahli hadith kenamaan, dan pengarang berbagai kitab yang masyhur lahir pada 279 H di kota Tirmiz.
Perkembangan dan Lawatannya
Kakek Abu ‘Isa at-Tirmidzi berkebangsaan Mirwaz, kemudian pindah ke Tirmiz dan menetap di sana. Di kota inilah cucunya bernama Abu ‘Isa dilahirkan. Semenjak kecilnya Abu ‘Isa sudah gemar mempelajari ilmu dan mencari hadith. Untuk keperluan inilah ia mengembara ke berbagai negeri: Hijaz, Iraq, Khurasan dan lain-lain. Dalam perlawatannya itu ia banyak mengunjungi ulama-ulama besar dan guru-guru hadith untuk mendengar hadith yang kem dihafal dan dicatatnya dengan baik di perjalanan atau ketika tiba di suatu tempat. Ia tidak pernah menyia-nyiakan kesempatan tanpa menggunakannya dengan seorang guru di perjalanan menuju Makkah. Kisah ini akan diuraikan lebih lanjut.
Setelah menjalani perjalanan panjang untuk belajar, mencatat, berdiskusi dan tukar pikiran serta mengarang, ia pada akhir kehidupannya mendapat musibah kebutaan, dan beberapa tahun lamanya ia hidup sebagai tuna netra; dalam keadaan seperti inilah akhirnya at-Tirmidzi meninggaol dunia. Ia wafat di Tirmiz pada malam Senin 13 Rajab tahun 279 H dalam usia 70 tahun.
Guru-gurunya
Ia belajar dan meriwayatkan hadith dari ulama-ulama kenamaan. Di antaranya adalah Imam Bukhari, kepadanya ia mempelajari hadith dan fiqh. Juga ia belajar kepada Imam Muslim dan Abu Dawud. Bahkan Tirmidzi belajar pula hadith dari sebahagian guru mereka.
Guru lainnya ialah Qutaibah bin Saudi Arabia’id, Ishaq bin Musa, Mahmud bin Gailan. Said bin ‘Abdur Rahman, Muhammad bin Basysyar, ‘Ali bin Hajar, Ahmad bin Muni’, Muhammad bin al-Musanna dan lain-lain.
Murid-muridnya
Hadith-hadith dan ilmu-ilmunya dipelajari dan diriwayatkan oleh banyak ulama. Di antaranya ialah Makhul ibnul-Fadl, Muhammad binMahmud ‘Anbar, Hammad bin Syakir, ‘Ai-bd bin Muhammad an-Nasfiyyun, al-Haisam bin Kulaib asy-Syasyi, Ahmad bin Yusuf an-Nasafi, Abul-‘Abbas Muhammad bin Mahbud al-Mahbubi, yang meriwayatkan kitab Al-Jami’ daripadanya, dan lain-lain.
Kekuatan Hafalannya
Abu ‘Isa at-Tirmidzi diakui oleh para ulama keahliannya dalam hadith, kesalehan dan ketaqwaannya. Ia terkenal pula sebagai seorang yang dapat dipercayai, amanah dan sangat teliti. Salah satu bukti kekuatan dan cepat hafalannya ialah kisah berikut yang dikemukakan oleh al-Hafiz Ibnu Hajar dalam Tahzib at-Tahzib-nya, dari Ahmad bin ‘Abdullah bin Abu Dawud, yang berkata:

“Saya mendengar Abu ‘Isa at-Tirmidzi berkata: Pada suatu waktu dalam perjalanan menuju Makkah, dan ketika itu saya telah menulis dua jilid berisi hadith-hadith yang berasal dari seorang guru. Guru tersebut berpapasan dengan kami. Lalu saya bertanya-tanya mengenai dia, mereka menjawab bahawa dialah orang yang ku maksudkan itu. Kemudian saya menemuinya. Saya mengira bahawa “dua jilid kitab” itu ada padaku. Ternyata yang ku bawa bukanlah dua jilid tersebut, melainkan dua jilid lain yang mirip dengannya. Ketika saya telah bertemu dengan dia, saya memohon kepadanya untuk mendengar hadith, dan ia mengabulkan permohonan itu. Kemudian ia membacakan hadith yang dihafalnya. Di sela-sela pembacaan itu ia mencuri pandang dan melihat bahawa kertas yang ku pegang masih putih bersih tanpa ada tulisan sesuatu apa pun. Demi melihat kenyataan ini, ia berkata: ‘Tidakkah engkau malu kepadaku?’ Lalu aku bercerita dan menjelaskan kepadanya bahawa apa yang ia bacakan itu telah ku hafal semuanya. ‘Cuba bacakan!’ suruhnya. Lalu aku pun membacakan seluruhnya secara beruntun. Ia bertanya lagi: ‘Apakah telah engkau hafalkan sebelum datang kepadaku?’ ‘Tidak,’ jawabku. Kemudian saya meminta lagi agar dia meriwayatkan hadith yang lain. Ia pun kemudian membacakan empat puluh buah hadith yang tergolong hadith-hadith yang sulit atau garib, lalu berkata: ‘Cuba ulangi apa yang ku bacakan tadi,’ Lalu aku membacakannya dari pertama sampai selesai; dan ia berkomentar: ‘Aku belum pernah melihat orang seperti engkau.”
Pandangan Para Kritikus Hadith Terhadapnya
Para ulama besar telah memuji dan menyanjungnya, dan mengakui akan kemuliaan dan keilmuannya. Al-Hafiz Abu Hatim Muhammad ibn Hibban, kritikus hadith, menggolangkan Tirmidzi ke dalam kelompok “Tsiqah” atau orang-orang yang dapat dipercayai dan kukuh hafalannya, dan berkata:
"Tirmidzi adalah salah seorang ulama yang mengumpulkan hadith, menyusun kitab, menghafal hadith dan bermuzakarah (berdiskusi) dengan para ulama.”

Abu Ya’la al-Khalili dalam kitabnya ‘Ulumul Hadith menerangkan; Muhammad bin ‘Isa at-Tirmidzi adalah seorang penghafal dan ahli hadith yang baik yang telah diakui oleh para ulama. Ia memiliki kitab Sunan dan kitab Al-Jarh wat-Ta’dil. Hadith-hadithnya diriwayatkan oleh Abu Mahbub dan banyak ulama lain. Ia terkenal sebagai seorang yang dapat dipercaya, seorang ulama dan imam yang menjadi ikutan dan yang berilmu luas. Kitabnya Al-Jami’us Shahih sebagai bukti atas keagungan darjatnya, keluasan hafalannya, banyak bacaannya dan pengetahuannya tentang hadith yang sangat mendalam.

Fiqh Tirmidzi dan Ijtihadnya
Imam Tirmidzi, di samping dikenal sebagai ahli dan penghafal hadith yang mengetahui kelemahan-kelemahan dan perawi-perawinya, ia juga dikenal sebagai ahli fiqh yang mewakili wawasan dan pandangan luas. Barang siapa mempelajari kitab Jami’nya ia akan mendapatkan ketinggian ilmu dan kedalaman penguasaannya terhadap berbagai mazhab fikih. Kajian-kajiannya mengenai persoalan fiqh mencerminkan dirinya sebagai ulama yang sangat berpengalaman dan mengerti betul duduk permasalahan yang sebenarnya. Salah satu contoh ialah penjelasannya terhadap sebuah hadith mengenai penangguhan membayar piutang yang dilakukan si berutang yang sudah mampu, sebagai berikut:

“Muhammad bin Basysyar bin Mahdi menceritakan kepada kami Sufyan menceritakan kepada kami, dari Abi az-Zunad, dari al-A’rai dari Abu Hurairah, dari Nabi SAW, bersabda: ‘Penangguhan membayar hutang yang dilakukan oleh si berhutang) yang mampu adalah suatu kezaliman. Apabila seseorang di antara kamu dipindahkan hutangnya kepada orang lain yang mampu membayar, hendaklah pemindahan hutang itu diterimanya.”
Imam Tirmidzi memberikan penjelasan sebagai berikut:
Sebahagian ahli ilmu berkata: “Apabila seseorang dipindahkan piutangnya kepada orang lain yang mampu membayar dan ia menerima pemindahan itu, maka bebaslah orang yang memindahkan (muhil) itu, dan bagi orang yang dipindahkan piutangnya (muhtal) tidak dibolehkan menuntut kepada muhil.” Diktum ini adalah pendapat Syafi’i, Ahmad dan Ishaq.
Sebahagian ahli ilmu yang lain berkata: “Apabila harta seseorang (muhtal) menjadi rugi disebabkan kepailitan muhal ‘alaih, maka baginya dibolehkan menuntut bayar kepada orang pertama (muhil).”
Mereka memakai ala an dengan perkataan Usma dan lainnya, yang menegaskan: “Tidak ada kerugian atas harta benda seorang Muslim.”
Menurut Ishak, maka perkataan “Tidak ada kerugian atas harta benda seorang Muslim” ini adalah “Apabila seseorang dipindahkan piutangnya kepada orang lain yang dikiranya mampu, namun ternyata orang lain itu tidak mampu, maka tidak ada kerugian atas harta benda orang Muslim (yang dipindahkan utangnya) itu.”

Itulah salah satu contoh yang menunjukkan kepada kita, bahawa betapa cemerlangnya pemikiran fiqh Tirmidzi dalam memahami nas-nas hadith, serta betapa luas dan orisinal pandangannya itu.
Karya-karyanya

Imam Tirmidzi banyak menulis kitab-kitab. Di antaranya:

• Kitab Al-Jami’, terkenal dengan sebutan Sunan at-Tirmidzi.
• Kitab Al-‘Ilal.
• Kitab At-Tarikh.
• Kitab Asy-Syama’il an-Nabawiyyah.
• Kitab Az-Zuhd.
• Kitab Al-Asma’ wal-kuna.
Di antara kitab-kitab tersebut yang paling besar dan terkenal serta beredar luas adalah Al-Jami’.
Sekilas tentang Al-Jami’
Kitab ini adalah salah satu kitab karya Imam Tirmidzi terbesar dan paling banyak manfaatnya. Ia tergolonga salah satu “Kutubus Sittah” (Enam Kitab Pokok Bidang Hadith) dan ensiklopedia hadith terkenal. Al-Jami’ ini terkenal dengan nama Jami’ Tirmidzi, dinisbatkan kepada penulisnya, yang juga terkenal dengan nama Sunan Tirmidzi. Namun nama pertamalah yang popular.
Sebahagian ulama tidak berkeberatan menyandangkan gelar as-Shahih kepadanya, sehingga mereka menamakannya dengan Shahih Tirmidzi. Sebenarnya pemberian nama ini tidak tepat dan terlalu gegabah.
Setelah selesai menyususn kitab ini, Tirmidzi memperlihatkan kitabnya kepada para ulama dan mereka senang dan menerimanya dengan baik. Ia menerangkan: “Setelah selesai menyusun kitab ini, aku perlihatkan kitab tersebut kepada ulama-ulama Hijaz, Irak dan Khurasa, dan mereka semuanya meridhainya, seolah-olah di rumah tersebut ada Nabi yang selalu berbicara.”
Imam Tirmidzi di dalam Al-Jami’-nya tidak hanya meriwayatkan hadith shahih semata, tetapi juga meriwayatkan hadith-hadith hasan, da’if, garib dan mu’allal dengan menerangkan kelemahannya.
Dalam pada itu, ia tidak meriwayatkan dalam kitabnya itu, kecuali hadith-hadith yang diamalkan atau dijadikan pegangan oleh ahli fiqh. Metode demikian ini merupakan cara atau syarat yang longgar. Oleh kerananya, ia meriwayatkan semua hadith yang memiliki nilai demikian, baik jalan periwayatannya itu shahih ataupun tidak shahih. Hanya saja ia selalu memberikan penjelasan yang sesuai dengan keadaan setiap hadith.
Diriwayatkan, bahawa ia pernah berkata: “Semua hadith yang terdapat dalam kitab ini adalah dapat diamalkan.” Oleh kerana itu, sebahagian besar ahli ilmu menggunakannya (sebagai pegangan), kecuali dua buah hadith, yaitu:

“Sesungguhnya Rasulullah SAW menjamak shalat Zuhur dengan Asar, dan Maghrib dengan Isya, tanpa adanya sebab “takut” dan “dalam perjalanan.”

“Jika ia peminum khamar – minum lagi pada yang keempat kalinya, maka bunuhlah dia.”
Hadith ini adalah mansukh dan ijma ulama menunjukan demikian. Sedangkan mengenai shalat jamak dalam hadith di atas, para ulama berbeda pendapat atau tidak sepakat untuk meninggalkannya. Sebahagian besar ulama berpendapat boleh (jawaz) hukumnya melakukan salat jamak di rumah selama tidak dijadikan kebiasaan. Pendapat ini adalah pendapat Ibn Sirin dan Asyab serta sebahagian besar ahli fiqh dan ahli hadith juga Ibn Munzir.
Hadith-hadith da’if dan munkar yang terdapat dalam kitab ini, pada umumnya hanya menyangkut fadha’il al-a’mal (anjuran melakukan perbuatan-perbuatan kebajikan). Hal itu dapat dimengerti kerana persyaratan-persyaratan bagi (meriwayatkan dan mengamalkan) hadith semacam ini lebih longgar dibandingkan dengan persyaratan bagi hadith-hadith tentang halal dan haram.

14. Imam Nasa'i
Imam Nasa'i juga merupakan tokoh ulama kenamaan ahli hadith pada masanya. Selain Shahih Bukhari, Shahih Muslim, Sunan Abu Dawud, Jami' At-Tirmidzi, juga karya besar Imam Nasa'i, Sunan us-Sughra termasuk jajaran kitab hadith pokok yang dapat dipercayai dalam pandangan ahli hadith dan para kritikus hadith.
Ia adalah seorang imam ahli hadith syaikhul Islam sebagaimana diungkapkan az-Zahabi dalam Tazkirah-nya Abu 'Abdurrahman Ahmad bin 'Ali bin Syu'aib 'Ali bin Sinan bin Bahr al-Khurasani al-Qadi, pengarang kitab Sunan dan kitab-kitab berharga lainnya. Juga ia adalah seorang ulama hadith yang jadi ikutan dan ulama terkemuka melebihi para ulama yang hidup pada zamannya.
Dilahirkan di sebuah tempat bernama Nasa' pada tahun 215 H. Ada yang mengatakan pada tahun 214 H.
Pengembaraannya
Ia lahir dan tumbuh berkembang di Nasa', sebuah kota di Khurasan yang banyak melahirkan ulama-ulama dan tokoh-tokoh besar. Di madrasah negeri kelahirannya itulah ia menghafal Al-Qur'an dan dari guru-guru negerinya ia menerima pelajaran ilmu-ilmu agama yang pokok. Setelah meningkat remaja, ia senang mengembara untuk mendapatkan hadith. Belum lagi berusia 15 tahun, ia berangkat mengembara menuju Hijaz, Iraq, Syam, Mesir dan Jazirah. Kepada ulama-ulama negeri tersebut ia belajar hadith, sehingga ia menjadi seorang yang sangat terkemuka dalam bidang hadith yang mempunyai sanad yang 'Ali (sedikit sanadnya) dan dalam bidang kekuatan periwayatan hadith.
Nasa'i merasa cocok tinggal di Mesir. Kerananya, ia kemudian menetap di negeri itu, di jalan Qanadil. Dan seterusnya menetap di kampung itu hingga setahun menjelang wafatnya. Kemudian ia berpindah ke Damsyik. Di tempatnya yang baru ini ia mengalami suatu peristiwa tragis yang menyebabkan ia menjadi syahid. Alkisah, ia dimintai pendapat tentang keutamaan Mu'awiyyah r.a. Tindakan ini seakan-akan mereka minta kepada Nasa'i agar menulis sebuah buku tentang keutamaan Mu'awiyyah, sebagaimana ia telah menulis mengenai keutamaan Ali r.a.
Oleh kerana itu ia menjawab kepada penanya tersebut dengan "Tidakkah Engkau merasa puas dengan adanya kesamaan darjat (antara Mu'awiyyah dengan Ali), sehingga Engkau merasa perlu untuk mengutamakannya?" Mendapat jawaban seperti ini mereka naik pitam, lalu memukulinya sampai-sampai buah kemaluannya pun dipukul, dan menginjak-injaknya yang kemudian menyeretnya keluar dari masjid, sehingga ia nyaris menemui kematiannya.
Wafatnya
Tidak ada kesepakatan pendapat tentang di mana ia meninggal dunia. Imam Daraqutni menjelaskan, bahawa di saat mendapat cubaan tragis di Damsyik itu ia meminta supaya dibawa ke Makkah. Permohonannya ini dikabulkan dan ia meninggal di Makkah, kemudian dikebumikan di suatu tempat antara Safa dan Marwah. Pendapat yang sama dikemukakan pula oleh Abdullah bin Mandah dari Hamzah al-'Uqbi al-Misri dan ulama yang lain.
Imam az-Zahabi tidak sependapat dengan pendapat di atas. Menurutnya yang benar ialah bahawa Nasa'i meningal di Ramlah, suatu tempat di Palestina. Ibn Yunus dalam Tarikhnya setuju dengan pendapat ini, demikian juga Abu Ja'far at-Tahawi dan Abu Bakar bin Naqatah. Selain pendapat ini menyatakan bahawa ia meninggal di Ramlah, tetapi yang jelas ia dikebumikan di Baitul Maqdis. Ia wafat pada tahun 303 H.
Sifat-sifatnya
Ia bermuka tampan. Warna kulitnya kemerah-merahan dan ia senang mengenakan pakaian garis-garis buatan Yaman. Ia adalah seorang yang banyak melakukan ibadah, baik di waktu malam atau siang hari, dan selalu beribadah haji dan berjihad.
Ia sering ikut bertempur bersama-sama dengan gabenor Mesir. Mereka mengakui kesatriaan dan keberaniannya, serta sikap konsistensinya yang berpegang teguh pada sunnah dalam menangani masalah penebusan kaum Muslimin yang tetangkap lawan. Dengan demikian ia dikenal senantiasa "menjaga jarak" dengan majlis sang Amir, padahal ia tidak jarang ikut bertempur besamanya. Demikianlah. Maka, hendaklah para ulama itu senantiasa menyebar luaskan ilmu dan pengetahuan. Namun ada panggilan untuk berjihad, hendaklah mereka segera memenuhi panggilan itu. Selain itu, Nasa'i telah mengikuti jejak Nabi Dawud, sehari puasa dan sehari tidak.
Fiqh Nasa'i
Ia tidak saja ahli dan hafal hadith, mengetahui para perawi dan kelemahan-kelemahan hadith yang diriwayatkan, tetapi ia juga ahli fiqh yang berwawasan luas.
Imam Daraqutni pernah berkata mengenai Nasa'i bahawa ia adalah salah seorang Syaikh di Mesir yang paling ahli dalam bidang fiqh pada masanya dan paling mengetahui tentang hadith dan perawi-perawi.
Ibnul Asirr al-Jazairi menerangkan dalam mukadimah Jami'ul Usul-nya, bahawa Nasa'i bermazhab Syafi'i dan ia mempunyai kitab Manasik yang ditulis berdasarkan mazhab Safi'i, rahimahullah.
Karya-karyanya
Imam Nasa'i telah menusil beberapa kitab besar yang tidak sedikit jumlahnya. Di antaranya:
• As-Sunan ul-Kuba.
• As-Sunan us-Sughra, tekenal dengan nama Al-Mujtaba.
• Al-Khasa'is.
• Fada'ilus-Sahabah.
• Al-Manasik.
Di antara karya-karya tersebut, yang paling besar dan bemutu adalah Kitab As-Sunan.
Sekilas tentang Sunan An-Nasa'i
Nasa'i menerima hadith dari sejumlah guru hadith terkemuka. Di antaranya ialah Qutaibah Imam Nasa'i Sa'id. Ia mengunjungi kutaibah ketika berusia 15 tahun, dan selama 14 bulan belajar di bawah asuhannya. Guru lainnya adalah Ishaq bin Rahawaih, al-Haris bin Miskin, 'Ali bin Khasyram dan Abu Dawud penulis as-Sunan, serta Tirmidzi, penulis al-Jami'.
Hadith-hadithnya diriwayatkan oleh para ulama yang tidak sedikit jumlahnya. Antara lain Abul Qasim at-Tabarani, penulis tiga buah Mu'jam, Abu Ja'far at-Tahawi, al-Hasan bin al-Khadir as-Suyuti, Muhammad bin Mu'awiyyah bin al-Ahmar al-Andalusi dan Abu Bakar bin Ahmad as-Sunni, perawi Sunan Nasa'i.
Ketika Imam Nasa'i selesai menyusun kitabnya, As-Sunan ul-Kubra, ia lalu menghadiahkannya kepada Amir ar-Ramlah. Amir itu bertanya: "Apakah isi kitab ini shahih seluruhnya?" "Ada yang shahih, ada yang hasan dan ada pula yang hampir serupa dengan keduanya," jawabnya. "Kalau demikian," kata sang Amir, "Pisahkan hadith-hadith yang shahih saja." Atas permintaan Amir ini maka Nasa'i berusaha menyeleksinya, memilih yang shahih-shahih saja, kemudian dihimpunnya dalam suatu kitab yang dinamakan As-Sunan us-Sughra. Dan kitab ini disusun menurut sistematika fiqh sebagaimana kitab-kitab Sunan yang lain.
Imam Nasa'i sangat teliti dalam menyususn kitab Sunan us-Sughra. Kerananya ulama berkata: "Kedudukan kitab Sunan Sughra ini di bawah darjat Shahih Bukhari dan Shahih Muslim, kerana sedikit sekali hadith dha'if yang tedapat di dalamnya."
Oleh kerana itu, kita dapatkan bahawa hadith-hadith Sunan Sughra yang dikritik oleh Abul Faraj ibnul al-Jauzi dan dinilainya sebagai hadith maudhu’ kepada hadith-hadith tersebut tidak sepenuhnya dapat diterima. As-Suyuti telah menyanggahnya dan mengemukakan pandangan yang berbeda dengannya mengenai sebahagian besar hadith yang dikritik itu. Dalam Sunan Nasa'i terdapat hadith-hadith shahih, hasan, dan dha'if, hanya saja hadith yang dha'if sedikit sekali jumlahnya. Adapun pendapat sebahagian ulama yang menyatakan bahawa isi kitab Sunan ini shahih semuanya, adalah suatu anggapan yang terlalu sembrono, tanpa didukung oleh penelitian mendalam. Atau maksud pernyataan itu adalah bahawa sebahagian besar ini Sunan adalah hadith shahih.
Sunan us-Sughra inilah yang dikategorikan sebagai salah satu kitab hadith pokok yang dapat dipercaya dalam pandangan ahli hadith dan para kritikus hadith. Sedangkan Sunan ul-Kubra, metode yang ditempuh Nasa'i dalam penyusunannya adalah tidak meriwayatkan sesuatu hadith yang telah disepakati oleh ulama kritik hadith untuk ditinggalkan.
Apabila sesuatu hadith yang dinisbahkan kepada Nasa'i, misalnya dikatakan, "hadith riwayat Nasa'i", maka yang dimaksudkan ialah "riwayat yang di dalam Sunan us-Sughra, bukan Sunan ul-Kubra", kecuali yang dilakukan oleh sebahagian kecil para penulis. Hal itu sebagaimana telah diterangkan oleh penulis kitab 'Aunul-Ma'bud Syarhu Sunan Abi Dawud pada bahagian akhir huraiannya: "Ketahuilah, pekataan al-Munziri dalam Mukhtasar-nya dan perkataan al-Mizzi dalam Al-Atraf-nya, hadith ini diriwayatkan oleh Nasa'i", maka yang dimaksudkan ialah riwayatnya dalam As-Sunan ul-Kubra, bukan Sunan us-Sughra yang kini beredar di hampir seluruh negeri, seperti India, Arabia, dan negeri-negeri lain. Sunan us-Sughra ini merupakan ringkasan dari Sunan ul-Kubra dan kitab ini hampir-hampir sulit ditemukan. Oleh kerana itu hadith-hadith yang dikatakan oleh al-Munziri dan al-Mizzi, "diriwayatkan oleh Nasa'i" adalah tedapat dalam Sunan ul-Kubra. Kita tidak perlu bingung dengan tiadanya kitab ini, sebab setiap hadith yang tedapat dalam Sunan us-Sughra, terdapat pula dalam Sunanul-Kubra dan tidak sebaliknya.
Mengakhiri pengkajian ini, perlu ditegaskan kembali, bahawa Sunan Nasa'i adalah salah satu kitab hadith pokok yang menjadi pegangan.

15. Imam Ibn Majah
Ibn Majah adalah seorang kepercayaan yang besar, yang disepakati tentang kejujurannya, dapat dijadikan argumentasi pendapat-pendapatnya. Ia mempunyai pengetahuan luas dan banyak menghafal hadith.
Imam Abu Abdullah Muhammad bin Yazid bin Majah ar-Rabi'i al-Qarwini, pengarang kitab As-Sunan dan kitab-kitab bemanfaat lainnya. Kata "Majah" dalam nama beliau adalah dengan huruf "ha" yang dibaca sukun; inilah pendapat yang shahih yang dipakai oleh mayoritas ulama, bukan dengan "ta" (majat) sebagaimana pendapat sementara orang. Kata itu adalah gelar ayah Muhammad, bukan gelar kakeknya, seperti diterangkan penulis Qamus jilid 9, hal. 208. Ibn Katsr dalam Al-Bidayah wan-Nibayah, jilid 11, hal. 52.
Imam Ibn Majah dilahirkan di Qaswin pada tahun 209 H, dan wafat pada tanggal 22 Ramadhan 273 H. Jenazahnya dishalatkan oleh saudaranya, Abu Bakar. Sedangkan pemakamannya dilakukan oleh kedua saudaranya, Abu Bakar dan Abdullah serta putranya, Abdullah.
Pengembaraannya
Ia berkembang dan meningkat dewasa sebagai orang yang cinta mempelajari ilmu dan pengetahuan, teristimewa mengenai hadith dan periwayatannya. Untuk mencapai usahanya dalam mencari dan mengumpulkan hadith, ia telah melakukan lawatan dan berkeliling di beberapa negeri. Ia melawat ke Irak, Hijaz, Syam, Mesir, Kufah, Basrah dan negara-negara serta kota-kota lainnya, untuk menemui dan berguru hadith kepada ulama-ulama hadith. Juga ia belajar kepada murid-murid Malik dan al-Lais, rahimahullah, sehingga ia menjadi salah seorang imam terkemuka pada masanya di dalam bidang ilmu nabawi yang mulia ini.
Aktivitas Periwayatannya
Ia belajar dan meriwayatkan hadith dari Abu Bakar bin Abi Syaibah, Muhammad bin Abdullah bin Numair, Hisyam bin 'Ammar, Muhammad bin Ramh, Ahmad bin al-Azhar, Bisyr bin Adan dan ulama-ulama besar lain.
Sedangkan hadith-hadithnya diriwayatkan oleh Muhammad bin 'Isa al-Abhari, Abul Hasan al-Qattan, Sulaiman bin Yazid al-Qazwini, Ibn Sibawaih, Ishak bin Muhammad dan ulama-ulama lainnya.
Penghargaan Para Ulama Kepadanya
Abu Ya'la al-Khalili al-Qazwini berkata: "Ibn Majah adalah seorang kepercayaan yang besar, yang disepakati tentang kejujurannya, dapat dijadikan argumentasi pendapat-pendapatnya. Ia mempunyai pengetahuan luas dan banyak menghafal hadith."
Zahabi dalam Tazkiratul Huffaz, melukiskannya sebagai seorang ahli hadith besarm mufasir, pengarang kitab sunan dan tafsir, serta ahli hadith kenamaan negerinya.
Ibn Kasir, seorang ahli hadith dan kritikus hadith berkata dalam Bidayah-nya: "Muhammad bin Yazid (Ibn Majah) adalah pengarang kitab sunan yang masyhur. Kitabnya itu merupakan bukti atas amal dan ilmunya, keluasan pengetahuan dan pandangannya, serta kredibilitas dan loyalitasnya kepada hadith dan usul dan furu'."
Karya-karyanya
Imam Ibn Majah mempunyai banyak karya tulis, di antaranya:

• Kitab As-Sunan, yang merupakan salah satu Kutubus Sittah (Enam Kitab Hadith yang Pokok).
• Kitab Tafsir Al-Qur'an, sebuah kitab tafsir yang besar manfatnya seperti diterangkan Ibn Kasir.
• Kitab Tarikh, berisi sejarah sejak masa sahabat sampai masa Ibn Majah.
Sekilas Tentang Sunan Ibn Majah
Kitab ini adalah salah satu kitab karya Imam Ibn Majah terbesar yang masih beredar hingga sekarang. Dengan kitab inilah, nama Ibn Majah menjadi terkenal.
Ia menyusun sunan ini menjadi beberapa kitab dan beberapa bab. Sunan ini terdiri dari 32 kitab, 1.500 bab. Sedan jumlah hadithnya sebanyak 4.000 buah hadith.
Kitab sunan ini disusun menurut sistematika fiqh, yang dikerjakan secara baik dan indah. Ibn Majah memulai sunan-nya ini dengan sebuah bab tentang mengikuti sunnah Rasulullah SAW. Dalam bab ini ia menguraikan hadith-hadith yang menunjukkan kekuatan sunnah, kewajiban mengikuti dan mengamalkannya.
Kedudukan Sunan Ibn Majah di antara Kitab-kitab Hadith
Sebahagian ulama tidak memasukkan Sunan Ibn Majah ke dalam kelompok "Kitab Hadith Pokok" mengingat darjat Sunan ini lebih rendah dari kitab-kitab hadith yang lima.
Sebahagian ulama yang lain menetapkan, bahawa kitab-kitab hadith yang pokok ada enam kitab (Al-Kutubus Sittah/Enam Kitab Hadith Pokok), yaitu:
• Shahih Bukhari, karya Imam Bukhari.
• Shahih Muslim, karya Imam Muslim.
• Sunan Abu Dawud, karya Imam Abu Dawud.
• Sunan Nasa'i, karya Imam Nasa'i.
• Sunan Tirmidzi, karya Imam Tirmidzi.
• Sunan Ibn Majah, karya Imam Ibn Majah.
Ulama pertama yang memandang Sunan Ibn Majah sebagai kitab keenam adalah al-Hafiz Abul-Fardl Muhammad bin Tahir al-Maqdisi (wafat pada 507 H) dalam kitabnya Atraful Kutubus Sittah dan dalam risalahnya Syurutul 'A'immatis Sittah.
Pendapat itu kemudian diikuti oleh al-Hafiz 'Abdul Gani bin al-Wahid al-Maqdisi (wafat 600 H) dalam kitabnya Al-Ikmal fi Asma' ar-Rijal. Selanjutnya pendapat mereka ini diikuti pula oleh sebahagian besar ulama yang kemudian.
Mereka mendahulukan Sunan Ibn Majah dan memandangnya sebagai kitab keenam, tetapi tidak mengkategorikan kitab Al-Muwatta' karya Imam Malik sebagai kitab keenam, padahal kitab ini lebih shahih daripada Sunan Ibn Majah, hal ini mengingat bahawa Sunan Ibn Majah banyak zawa'idnya (tambahannya) atas Kutubul Khamsah. Berbeda dengan Al-Muwatta', yang hadith-hadith itu kecuali sedikit sekali, hampir seluruhnya telah termuat dalam Kutubul Khamsah.
Di antara para ulama ada yang menjadikan Al-Muwatta' susunan Imam Malik ini sebagai salah satu Usul us-Sittah (Enam Kitab Pokok), bukan Sunan Ibn Majah. Ulama pertama yang berpendapat demikian adalah Abul Hasan Ahmad bin Razin al-Abdari as-Sarqisti (wafat sekitar tahun 535 H) dalam kitabnya At-Tajrid fil Jam'i Bainas-Sihah. Pendapat ini diikuti oleh Abus Sa'adat Majduddin Ibnul Asir al-Jazairi asy-Syafi'i (wafat 606 H). Demikian pula az-Zabidi asy-Syafi'i (wafat 944 H) dalam kitabnya Taysirul Wusul.

Nilai Hadith-hadith Sunan Ibn Majah
Sunan Ibn Majah memuat hadith-hadith shahih, hasan, dan da'if (lemah), bahkan hadith-hadith munkar dan maudhu’ meskipun dalam jumlah sedikit.
Martabat Sunan Ibn Majah ini berada di bawah martabat Kutubul Khamsah (Lima Kitab Pokok). Hal ini kerana kitab sunan ini yang paling banyaknya hadith-hadith da'if di dalamnya.
Oleh kerana itu tidak sayugianya kita menjadikan hadith-hadith yang dinilai lemah atau palsu dalam Sunan Ibn Majah ini sebagai dalil. Kecuali setelah mengkaji dan meneliti terlebih dahulu mengenai keadaan hadith-hadith tersebut. Bila ternyata hadith dimaksud itu shahih atau hasan, maka ia boleh dijadikan pegangan. Jika tidak demikian adanya, maka hadith tersebut tidak boleh dijadikan dalil.
Sulasiyyat Ibn Majah
Ibn Majah telah meriwayatkan beberapa buah hadith dengan sanad tinggi (sedikit sanadnya), sehingga antara dia dengan Nabi SAW hanya terdapat tiga perawi. Hadith semacam inilah yang dikenal dengan sebutan Sulasiyyat.


BAB V
KITAB-KITAB HADITS

1) Pengertian Kitab Hadis
Para muhaddisin telah menulis berbagai jenis kitab dalam berbagai bidang bahasannya. Hal ini merupakan suatu khazanah ilmu hadis yang dapat menjawab semua masalah yang di jumpai oleh para ulama dan peneliti berbagai kitab . Selanjutnya inilah yang disebut sebagai kitab hadis.
2) Kitab Hadis Ditinjau dari Kriterianya
i) Kitab Shahih
kitab shahih merupakan kitab yang penyusunannya hanya menyatakan hadis-hadis yang shahih saja . Orang yang pertama kali mengumpulkan hadis-hadis shahih adalah Abu Abdillah Muhammad bin Ismail al-Bukhari. Kemudian disusul oleh sahabat yang juga muridnya Abu al-Husain Muslim bin al-Hajjaj al-Naisaburi. Kedua kitab ini adalah kitab yang paling shahih. Tetapi Bukhari lebih kuat karena Bukhari dalam mengeluarkan hadis mensayaratkan dua hal, yakni:

1. Perawi harus semasa dengan gurunya.

2.Perawi benar-benar bertemu atau mendengar langsung dari gurunya.
Sedangkan Muslim tidak mensyaratkan poin yang kedua, tetapi hanya mensyaratkan yang pertama .

ii) Kitab Sunnan
Kitab Sunnan adalah kitab hadis yang menghimpun hadis-hadis hukum yang marfu' dan disusun berdasarkan bab-bab fikih. Kitab-kitab yang masyhur adalah Sunan Abu Dawud, Sunan al-Tirmidzi, Sunan al-Nasa'i dan Sunan Ibnu Majah.
Keempat kitab sunan ini masyhur dengan sebutan al-Sunnan al-Arba'ah. Bila dikatakan al-Sunan al-Tsalasah, maka maksudnya ketiga sunan yang pertama, yakni selain Sunan Ibnu Majah.
Bila dikatakan al-Khamsah, maka yang dimaksud adalah al-Sunan al-Arba'ah dan Musnad Ahmad.
Bila dikatakan al-Sittah, maka yang dimaksud adalah Shahihaini dan al-Sunnan al-Arba'ah.

iii) Kitab Musnad
Di dalam sistem ini pengatur mengatur secara sistematis (tertib) mulai nama-nama dari sahabat yang lebih utama beserta seluruh hadisnya, kemudian disusul dengan deretan nama-nama sahabat yang utama beserta sahabat yang lebih rendah derajatnya beserta hadis-hadisnya. Misalnya dalam kitab tersebut dikemukakan oleh penyusun pada bab pertama, nama sahabat Abu Bakar r.a dengan menyebut seluruh hadisnya, kemudian disusul dengan nama Umar r.a dengan mencantumkan seluruh hadis yang beliau riwayatkan dan seterusnya berturut-turut nama-nama sahabat yang lebih rendah daripada Umar dengan seluruh hadisnya.
iv) Kitab al-Mustadrak
Al-Mustadrak adalah kitab yang disusun untuk memuat hadis-hadis yang tidak dimuat dalam kitab-kitab hadis shahih dan kitab tersebut mengikuti syarat kitab hadis shahih yang bersangkutan. Sebagai contoh adalah al-Mustadrak al-Hakim. Di situ al-hakim menyebutkan hadis-hadis shahih yang sesuai syarat dri Bukhari-Muslim atau salah satu syarat dari keduanya, tetapi keduanya tidaka mengeluarkan hadis tersebut.
3) Kitab Hadis Ditinjau dari Cara Penggunaannya
i) Kitab Mu'jam
Kitab Mu'jam menurut istilah para muhadditsin adalah kitab hadis yang disusun berdasarkan susunan guru-guru penulisnya yang kebanyakan disusun berdasarkan urutan huruf hijaiyah, sehingga penyusun mengawali pembahasan kitab mu'jamnya dengan hadis-hadis yang diterima dari Aban, lalu yang dari Ibrahim dan seterusnya.
Diantara kitab mu'jam yang terkenal adalah tiga buah kitab mu'jam karya al-Muhaddits al-Hafidz al-Kabir Abu Qasim Sulaiman bin Ahmad al-Thabarani (w. 360 H). Ketiga kitab mu'jam itu adalah: al-Mu'jam al-Shaghir , al-Mu'jam al-Ausath , dan al-Mu'jam al-Kabir .
Satu lagi kitab mu'jam adalah Mu'jam al-Buldan. Kitab ini disusun berdasarkan nama kota. Merupakan karya dari Abi Ya'la Ahmad bin Ali al-Muslihi. Beliau wafat pada tahun 307 H.
ii) Kitab Takhrij
Yaitu kitab yang disusun untuk mentakhrij hadis-hadis kitab tertentu. Di antara kitab takhrij yang terpenting adalah:

Nahbu al-Rayah li Ahadits al-Hidayah karya al-Imam al-Hafidz Jamluddin Abu Muhammad Abdillah bin Yusuf al-Zaila'I al-Hanafi (w. 762 H). kitab ini merupakan takhrij hadis-hadis kitab al-Hidayah, sebuah kitab fikih madzhab Hanafi, yang disusun oleh ali bin Abu Bakar al-Marghinani, salah satu seorang pemuka fuqaha Hanafi (w. 593 H).
Kitab ini mengungkp secara lengkap riwayat-riwayat yang penuh faedah, dan mengupas setiap hadis yang ada dalam kitab al-Hidayah dusertai riwayat dan hadis-hadis lain yang menguatkannya. Kitab ini juga mengungkpkan pembahasan mengenai hadis-hadis yang dijadikan dalil oleh para ulama yang berbeda pendapat dengan ulama hanafiah secara jelas dan tuntas, objektif dan tematis.
iii) Kitab Jarh wa Ta'dil
Lahirnya kitab-kitab tentang jarh dan ta'dil merupakan jerih payah para kritikus dan kajian mereka terhadap perilaku para perawi, dilihat dari sisi diterima atau tidak diterimanya hadis mereka.
Para ulama yang menulis kitab-kitab tentang jarh dan ta'dil menggunakan methode yang berbeda-beda. Di antara mereka, ada yang menyebutkan para pendusta dan para perawi yang lemah di dalam kitabnya. Ada yang menambahkan dengan menyebutkan sebagian hadis palsu. Ada yang menulis kitab hanya tentang perawi yang tsiqah, dan ada pula yang menulis kitab tentang para perawi yang lemah dan perawi yang tsiqah.
iv) Kitab al-Athraf
Kitab al-Athraf adalah kitab-kitab yang disusun untuk menyebutkan bagian hadis yang menunjukkan keseluruhannya, lalu disebutkan sanad-sanadnya pad kitab-kitab sumbernya. Sebagian penyusun menyebutkan sanadnya dengan lengkap dan sebagian lainnya hany menyebutkan sebagiannya. Kitab-kitab ini tidak memuat matan hadis secara lengkap dan bagian hadis pun tidak pasti bagian dalam arti tekstual. Kitab ini disusun berdasarkan nama perawi pada tingkat sahabat.
4) Kitab Hadis Ditinjau dari Sejarahnya
Buku-buku dan catatan kecil yang muncul pertama kli tau bahkan pada awal abad kedua, dapat dikategorikan menjadi dua kelompok; pertama, buku-buku yang berisi hadis-hadis Nabi semata, koleksi acak, tanpa sistemasi bahan. Kedua, buku-buku kecil (catatan) yang berisikan hadis-hadis Nabi yang msih bercampur dengan keputusan (resmi) yang diarahkan oleh para khalifah dan sahabat lainnya, bahkan para tabi'in.
Pada abad kedua, terjadi perubahan trend sedikit dan buku-buku yang kebanyakan membahas masalah hukum muli bermunculan. Al-Muwatha' termasuk dalam kategori ini. Buku tersebut telah diatur menurut judul-judul dalam masalah hukum yang berkaitan dengan keseluruhan jaringan kehidupan manusia; dari ibadah (ritual), zakat, haji, perkawinan, perceraian, pertnian, perdagangan dan lain-lain.
Berikutnya pada abad ketiga, kebanyakan buku-buku yang muncul adalah berisikan hadis-hadis semata. Sejumlah buku muncul, pada periode ini, yang mengikuti pada pola abad kedua, seperti Mushannaf, karangan Abdur Razaq dan Ibnu Abu Syaibah (w. 235 H), al-Awsath, karangan Ibnu al-Mundzir (w. 319 H). Buku-buku inti dikarang dengan pola yang berbeda dan disebut Musnad, Jami', Shahih, Sunan, Mustakhraj atau Mu'jam.
Abad keempat dan kelima adalah masa pengisnadan hadis dan muncul kitab al-Mustadrak, yaitu kitab hadis yang standar keshahihannya sama dengan standar Imam yang lain tetapi tidak terdapat dalam kitab asli. Abad ketujuh dan kedelapan mulai muncul kritik sanad dan matan. Yaitu dengan munculnya kitab jarh wa ta'dil.
5) Urgensi Pengkajian Kitab Hadis
• Membantu dalam mengetahui jumlah dan jenis hadis yang diriwiyatkan oleh
para sahabat dari Nabi SAW dan mempermudah pengecekannya.
• Mempermudah mengetahui sanad-sanad hadis, kerena sanad-sanad itu terkumpul dalam satu tempat.
• Mempermudah mengetahui penyusun sumber asli yang mengeluarkan hadis
tersebut serta bab hadis dalam sumber-sumber tersebut.
6) Contoh-Contoh Kitab Hadits
JENIS KKITAB NAMA KITAB PENGARANG TAHUN
الجامع صحيح الإمام البخاري , محمد بن إسماعيل 256 هـ
صحيح الإمام مسلم الإمام مسلم 261 هـ
صحيح ابن خزيمة محمد بن إسحاق 311 ه
صحيح الإمام ابن حبان محمد بن حبان 354 هـ
السنن سنن أبي داود السجستاني أبي داود السجستاني 275 هـ

سنن الترمذي – ويسمى بالجامع أيضا الترمذي 279 هـ

سنن النسائي ( المجتبى ) أحمد بن شعيب
302 هـ .
السنن الكبرى أحمد بن شعيب

سنن ابن ماجة القزويني
ابن ماجة القزويني
275 هـ .
سنن سعيد بن منصور
سعيد بن منصور
227 هـ
سنن الدارمي عبد الله بن عبد الرحمن 255 هـ
سنن البيهقي سنن البيهقي , أحمد بن الحسين 458 هـ
المعجم المعجم الكبير لأبي القاسم سليمان بن أحمد الطبراني 360 هـ
المعجم الأوسط لأبي القاسم سليمان بن أحمد الطبراني 360 هـ
المعجم الصغير لأبي القاسم سليمان بن أحمد الطبراني 360 هـ
معجم الصحابة لأحمد بن علي بن لال الهمداني 398 هـ
معجم الصحابة لأبي القاسم عبد الله بن محمد البغوي 317 هـ
المصنف المصنف لأبي بكر عبد الله بن محمد بن أبي شيبة الكوفي
المصنف لأبي بكر عبد الرزاق بن همام الصنعاني ( 211 هـ)
المصنف لبقي بن مخلد القرطبي 276 هـ
المصنف لأبي سفيان وكيع بن الجراح الكوفي 196 هـ
المصنف لأبي سلمة حماد بن سلمة البصري 167 هـ
المسند مسند أحمد بن حنبل أحمد بن حنبل 204 هـ
مسند أبي بكر عبدا لله بن الزبير الحميدي مسند أبي بكر عبدا لله بن الزبير الحميدي 212
مسند أبي داود سليمان بن داود الطيالسي أبي داود سليمان بن داود الطيالسي 228 هـ
مسند أسد بن موسى الأموي أسد بن موسى الأموي 229 هـ
مسند مسدد بن مسرهد الأسدي البصري مسدد بن مسرهد الأسدي البصري 213 هـ
مسند نعيم بن حماد نعيم بن حماد 234 هـ
مسند عبيد الله بن موسى العبسي عبيد الله بن موسى العبسي 307 هـ
مسند أبي خيثمة زهير بن حرب أبي خيثمة زهير بن 249هـ
مسند أبي يعلى أحمد بن علي المثنى الموصلي أبي يعلى أحمد بن علي المثنى الموصلي 307 هـ
مسند عبد بن حميد (249 عبد بن حميد (249هـ
الاطراف تحفة الأشراف بمعرفة الأطراف للحافظ الإمام أبي الحجاج يوسف بن عبد الرحمن المزي 742هـ .
إتحاف المهرة بأطراف العشرة للحافظ ابن حجر العسقلاني
أطراف المسانيد العشرة لشهاب الدين أبي العباس أحمد بن أبي بكر الكناني البوصيري الشافعي نزيل القاهرة ، المتوفى سنة 840هـ
ذخائر المواريث في الدلالة على مواضع الحديث لشيخ عبد الغني النابلسي المتوفى سنة 1143هـ
اطراف المسند المعتلى بأطراف المسند الحنبلي للإمام ابن حجر
أطراف الأحاديث المختارة للضياء المقدسي للإمام ابن حجر
أطراف مسند الفردوس للإمام ابن حجر
المستدرك المستدرك على الصحيحين للحاكم مع تعليقات الذهبي في التلخيص محمد بن عبدالله أبو عبدالله الحاكم النيسابوري




BAB II
SEJARAH PERKEMBANGAN HADITS
PERIODE MUTAQODDIMIN
A. Hadits pada Periode Pertama (Masa Rasulullah)
1. Masa Penyebaran Hadits

Rasulullah hidup di tengah-tengah masyarakat dan sahabatnya. Mereka bergaul secara bebas dan mudah, tidak ada peraturan atau larangan yang memepersulit para sahabat untuk bergaul dengan beliau. Segala perbuatan, ucapan, dan sifat Nabi bisa menjadi contoh yang nyata dalam kehidupan sehari-hari masyarakat pada masa tersebut. Masyarakat menjadikan nabi sebagai panutan dan pedoman dalam kehidupan mereka. Jika ada permasalahan baik dalam Ibadah maupun dalam kehidupan duniawi, maka mereka akan bisa langsung bertanya pada Nabi.
Kabilah-kabilah yang tinggal jauh di luar kota Madinah pun juga selalu berkonsultasi pada Nabi dalam segala permasalahan mereka. Adakalanya mereka mengirim anggota mereka untuk pergi mendatangi Nabi dan mempelajari hukum- hukum syari'at agama. Dan ketika mereka kembali ke kabilahnya, mereka segera menceritakan pelajaran (hadits Nabi) yang baru mereka terima.
Selain itu, para pedagang dari kota Madinah juga sangat berperan dalam penyebaran hadits. Setiap mereka pergi berdagang, sekaligus juga berdakwah untuk membagikan pengetahuan yang mereka peroleh dari Nabi kepada orang-orang yang mereka temui.

Pada saat itu, penyebarluasan hadits sangat cepat. Hal tersebut berdasar perintah Rasulullah pada para sahabat untuk menyebarkan apapun yang mereka ketahui dari beliau. Beliau bersabda,

"بلغوا عنى ولو أية"

“Sampaikanlah olehmu apa yang berasal dariku, kendati hanya satu ayat!”

Dalam hadits lain disebutkan
,
" ليبلغ الشاهد منكم الغائب فرب مبلغ أوعى من سامع "

“Hendaknya orang yang menyaksikan hadits di antara kamu menyampaikannya pada yang tidak hadir (dalam majlis ini). Karena boleh jadi, banyak orang yang menerima hadits (dari kamu) lebih memahami dari pada (kamu sendiri) yang mendengar (langsung dariku).
Perintah tersebut membawa pengaruh yang sangat baik untuk menyebarkan hadits. Karena secara bertahap, seluruh masyarakat muslim baik yang berada di Madinah maupun yang di luar Madinah akan segera mengetahui hukum–hukum agama yang telah diajarkan oleh Rasulullah. Meskipun sebagian dari mereka tidak memperoleh langsung dari Rasulullah, mereka akan memperoleh dari saudara–saudara mereka yang mendengar langsung dari Rasulullah. Metode penyebaran hadits tersebut berlanjut sampai Haji Wada’ dan wafatnya Rasulullah.
Faktor-faktor yang mendukung percepatan penyebaran hadits di masa Rasulullah :
a. Rasulullah sendiri rajin menyampaikan dakwahnya.
b. Karakter ajaran Islam sebagai ajaran baru telah membangkitkan semangat orang di lingkungannya untuk selalu mempertanyakan kandungan ajaran agama ini, selanjutnya secara otomatis tersebar ke orang lain secara berkesinambungan.

c. Peranan istri Rasulullah amat besar dalam penyiaran Islam, hadits termasuk di dalamnya.

2. Penulisan Hadits dan Pelarangannya

Penyebaran hadits-hadits pada masa Rasulullah hanya disebarkan lewat mulut ke mulut (secara lisan). Hal ini bukan hanya dikarenakan banyak sahabat yang tidak bisa menulis hadits, tetapi juga karena Nabi melarang untuk menulis hadits. Beliau khawatir hadits akan bercampur dengan ayat-ayat Al-Quran.
Menurut al-Baghdadi (w. 483 H), ada tiga buah hadits yang melarang penulisan hadits, yang masing-masing diriwayatkan oleh Abu Sa’id al-Khudri, Abu Hurairah, dan Zaid ib Tsabit. Namun yan dapat dipertanggungjawabkan otentisitasnya hanya hadits Abu Sa’id al-Khudri yang berbunyi,

"لا تكتبوا عنى ومن كتب عنى غير القرآن فليمحه وحدثوا عنى ولا حرج ومن كذب عليّ متمعدا فليتبوّأ مقعده من النار"

“Janganlah kamu sekalian menulis sesuatu dariku selain Al-Qur’an . Barangsiapa yang menulis dariku selain Al-Quran maka hendaklah ia menghapusnya. Riwayatkanlah dari saya. Barangsiapa yang sengaja berbohong atas nama saya maka bersiaplah (pada) tempatnya di neraka ” (HR. Muslim).
Disini Nabi melarang para sahabat menulis hadits, tetapi cukup dengan menghafalnya. Beliau membolehkan meriwayatkan hadits dengan disertai ancaman bagi orang yang berbuat bohong. Dan hadits tersebut merupakan satu satunya hadits yang shahih tentang larangan menulis hadits. Menurut Dr. Muhammad Alawi al-Maliki, meskipun banyak hadits dan atsar yang semakna dengan hadits larangan tersebut, semua hadits itu tidak lepas dari cacat yang menjadi pembicaraan di kalangan para ahli hadits.
Adapun faktor-faktor utama dan terpenting yang menyebabkan Rasulullah melarang penulisan dan pembukuan hadits adalah :
a) Khawatir terjadi kekaburan antara ayat-ayat al-Qur’an dan hadits Rasul bagi orang-orang yang baru masuk Islam.
b) Takut berpegangan atau cenderung menulis hadits tanpa diucapkan atau ditela’ah.
c) Khawatir orang-orang awam berpedoman pada hadits saja.

Nabi telah mengeluarkan izin menulis hadits secara khusus setelah peristiwa fathu Makkah. Itupun hanya kepada sebagian sahabat yang sudah terpercaya. Dalam hadits yang diriwayatkan Abu Hurairah disebutkan, bahwa ketika Rasulullah membuka kota Makkah, beliau berpidato di depan orang banyak dan ketika itu ada seorang lelaki dari Yaman bernama Abu Syah meminta agar dituliskan isi pidato tersebut untuknya. Kemudian Nabi memerintahkan sahabat agar menuliskan untuk Abu Syah.

"يا رسول الله اكتبوا لى. فقال :اكتبوا لأبى شاه"

“Wahai Rasulullah. Tuliskanlah untukku. Nabi bersabda (pada sahabat yang lain), tuliskanlah untuknya.”
B. Hadits pada Periode Kedua (Masa Khulafa’ al-Rasyidin)
1. Masa Pemerintahan Abu Bakar dan Umar ibn Khattab

Setelah Rasulullah wafat, banyak sahabat yang berpindah ke kota-kota di luar Madinah. Sehingga memudahkan untuk percepatan penyebaran hadits. Namun, dengan semakin mudahnya para sahabat meriwayatkan hadits dirasa cukup membahayakan bagi otentisitas hadits tersebut. Maka Khalifah Abu Bakar menerapkan peraturan yang membatasi periwayatan hadits. Begitu juga dengan Khalifah Umar ibn al-Khattab. Dengan demikian periode tersebut disebut dengan Masa Pembatasan Periwayatan Hadits
(عصر تقليل رواية الحديث).
Pembatasan tersebut dimaksudkan agar tidak banyak dari sahabat yang mempermudah penggunaan nama Rasulullah dalam berbagai urusan, meskipun jujur dan dalam permasalahan yang umum. Namun pembatasan tersebut tidak berarti bahwa kedua khalifah tersebut anti-periwayatan, hanya saja beliau sangat selektif terhadap periwayatan hadits. Segala periwayatan yang mengatasnamakan Rasulullah harus dengan mendatangkan saksi, seperti dalam permasalahan tentang waris yang diriwayatkan oleh Imam Malik.
Abu Hurairah, sahabat yang terbanyak meriwayatkan hadits, pernah ditanya oleh Abu Salamah, apakah ia banyak meriwayatkan hadits di masa Umar, lalu menjawab, "Sekiranya aku meriwayatkan hadits di masa Umar seperti aku meriwayatkannya kepadamu (memperbanyaknya), niscaya Umar akan mencambukku dengan cambuknya."
Riwayat Abu Hurairah tersebut menunjukkan ketegasan Khalifah Umar dalam menerapkan peraturan pembatasan riwayat hadits pada masa pemerintahannya. Namun di sisi lain, Umar ibn Khattab bukanlah orang yang anti periwayatan hadits. Umar mengutus para ulama untuk menyebarkan al-Qur'an dan hadits. Dalam sebuah riwayat, Umar berkata, "Saya tidak mengangkat penguasa daerah untuk memaki orang, memukul, apalagi merampas harta kalian. Tetapi saya mengangkat mereka untuk mengajarkan al-Qur'an dan hadits kepada kamu semua."
2. Masa Pemerintahan Utsman ibn Affan dan Ali ibn Abi Thalib
Secara umum, kebijakan pemerintahan Utsman ibn Affan dan Ali ibn Abi Thalib tentang periwayatan tidak berbeda dengan apa yang telah ditempuh oleh kedua khlaifah sebelumnya. Namun, langkah yang diterapkan tidaklah setegas langkah khalifah Umar ibn al-Khattab. Dalam sebuah kesempatan, Utsman meminta para sahabat agar tidak meriwayatkan hadits yang tidak mereka dengar pada zaman Abu Bakar dan Umar. Namun pada dasarnya, periwayatan Hadits pada masa pemerintahan ini lebih banyak daripada pemerintahn sebelumnya. Sehingga masa ini disebut dengan عصر إكثار رواية الحديث.
Keleluasaan periwayatan hadits tersebut juga disebabkan oleh karakteristik pribadi Utsman yang lebih lunak jika dibandingkan dengan Umar Selain itu, wilayah kekuasaan Islam yang semakin luas juga menyulitkan pemerintah untuk mengontrol pembatasan riwayat secara maksimal.

Sedangkan pada masa Ali ibn Abi Thalib, situasi pemerintahan Islam telah berbeda dengan masa-masa sebelumnya. Masa itu merupakan masa krisis dan fitnah dalam masyarakat. Terjadinya peperangan antar beberapa kelompok kepentingan politik juga mewarnai pemerintahan Ali. Secara tidak langsung, hal itu membawa dampak negatif dalam periwayatan hadits. Kepentingan politik telah mendorong pihak-pihak tertentu melakukan pemalsuan hadits. Dengan demikian, tidak seluruh periwayat hadits dapat dipercaya riwayatnya.
3. Situasi Periwayatan Hadits
Dalam perkembangannya, periwayatan hadits yang dilakukan para sahabat berciri pada 2 tipologi periwayatan.

a. Dengan menggunakan lafal haduts asli, yaitu menurut lafal yang diterima dari Rasulullah.
b. Hanya maknanya saja. Karena mereka sulit menghafal lafal redaksi hadits persis dengan yang disabdakan Nabi.
Pada masa pembatasan periwayatan, para sahabat hanya meriwayatkan hadits jika ada permasalahan hukum yang mendesak. Mereka tidak meriwayatkan hadits setiap saat, seperti dalam khutbah. Sedangkan pada masa pembanyakan periwayatan, banyak dari sahabat yang dengan sengaja menyebarkan hadits. Namun tetap dengan dalil dan saksi yang kuat. Bahkan jika diperlukan, mereka rela melakukan perjalanan jauh hanya untuk mencari kebenaran hadits yan diriwayatkannya.
C. Hadits pada Periode Ketiga (Masa Sahabat Kecil - Tabi'in Besar)
1. Masa Penyebarluasan Hadits
Sesudah masa Khulafa' al-Rasyidin, timbullah usaha yang lebih sungguh untuk mencari dan meriwayatkan hadits. Bahkan tatacara periwayatan hadits pun sudah dibakukan. Pembakuan tatacara periwayatan hadits ini berkaitan erat dengan upaya ulama untuk menyelamatkan hadits dari usaha-usaha pemalsuan hadits. Kegiatan periwayatan hadits pada masa itu lebih luas dan banyak dibandingkan dengan periwayatan pada periode Khulafa' al-Rasyidin. Kalangan Tabi'in telah semakin banyak yang aktif meriwayatkan hadits.
Meskipun masih banyak periwayat hadits yang berhati-hati dalam meriwayatkan hadits, kehati-hatian pada masa itu sudah bukan lagi menjadi ciri khas yang paling menonjol. Karena meskipun pembakuan tatacara periwayatan telah ditetapkan, luasnya wilayah Islam dan kepentingan golongan memicu munculnya hadits-hadits palsu. Sejak timbul fitnah pada akhir masa Utsman r.a, umat Islam terpecah-pecah dan masing-masing lebih mengunggulkan golongannya. Pemalsuan hadits mencapai puncaknya pada periode ketiga, yakni pada masa kekhalifahan Daulah Umayyah.
Seorang ulama Syi'ah, Ibnu Abil Hadid menulis dalam kitab Nahyu al-Balaghah,
"Ketahuilah bahwa asal mulanya timbul hadits yang mengutamakan pribadi-pribadi (hadits palsu) adalah dari golongan Syi'ah sendiri. Perbuatan mereka itu ditandingi oleh golongan Sunnah (Jumhur/Pemerintah) yang bodoh-bodoh. Mereka juga membuat hadits hadits untuk mengimbangi hadits golongan Syi'ah itu"
Karena banyaknya hadits palsu yang beredar di masyarakat dikeluarkan oleh golongan Syi'ah, Imam Malik menamai kota Iraq (pusat kaum Syi'ah) sebagai "Pabrik Hadits Palsu".
2. Tokoh-tokoh dalam Perkembangan Hadits
Pada masa awal perkembangan hadits, sahabat yang banyak meriwayatkan hadits disebut dengan al-Muktsirun fi al-Hadits, mereka adalah:
a. Abu Hurairah meriwayatkan 5374 atau 5364 hadits
b. Abdullah ibn Umar meriwayatkan 2630 hadits
c. Anas ibn Malik meriwayatkan 2276 atau 2236 hadits
d. Aisyah (isteri Nabi) meriwayatkan 2210 hadits
e. Abdullah ibn Abbas meriwayatkan 1660 hadits
f. Jabir ibn Abdillah meriwayatkan 1540 hadits
g. Abu Sa'id al-Khudry meriwayatkan 1170 hadits.
Sedangkan dari kalangan Tabi'in, tokoh-tokoh dalam periwayatan hadits sangat banyak sekali, mengingat banyaknya periwayatan pada masa tersebut, di antaranya :

a. Madinah
- Abu Bakar ibn Abdu Rahman ibn al-Harits ibn Hisyam
b. Salim ibn Abdullah ibn Umar
- Sulaiman ibn Yassar
c. Makkah
- Ikrimah
- Muhammad ibn Muslim
- Abu Zubayr
d. Kufah
- Ibrahim an-Nakha'i
- Alqamah
e. Bashrah
- Muhammad ibn Sirin
- Qotadah
f. Syam
- Umar ibn Abdu al-Aziz (yang kemudian menjadi khalifah dan memelopori kodifikasi hadits)
g. Mesir
-Yazid ibn Habib
h. Yaman
- Thaus ibn Kaisan al-Yamani

PERIODE MUTAAKHIRIN
Yang dimaksud dengan mutaakhkhirin adalah periode anatara Abab IV-VII Hijriyah. Periode ini di sebut dengan masa pemeliharaan, penertiban, penambahan dan penghimpunan hadis-hadis Nabi saw. Periode ini terjadi pada masa dinasti ’Abba siyah angkatan ke dua yaitu pada masa kekhalifahan Al-Muqtadir Billah sampai al-Mu’tasim Billah.
Pada periode ini daulah Islamiyyah mulai melemah dan akhirnya runtuh, tetapi tudak mempengaruhi kegiatan ulama dalam melestarikan hadis, sebab tidak sedikit ulama pada periode ini menekuni dan bersungguh-sungguh dalam memelihara dan mengembangkan hadis.
Pada periode ini ulama pada umumnya hanya berpegang pada kitab-kitab hadis terdahulu, sebab pada IV H hadis-hadis telah terhkodofikasi dalam bentuk kitab sebagaimana yang telah dijelaskan terdahulu. Kegiatan ulama yang paling menonjol pada periode ini dalam melakukan pemeliharaan dan pengembangan hadis Nabi saw yang telah terhipun adalah: mempelajarinya, menghaflakannya, memeriksa dan menyelidiki sanad-sanadnya, dan menyusun kitab-kitab baru yang dengan tujuan memelihara, menertibkan dan menghimpun segala sanad dan matan yang saling berhubungan, serta yang telah termuat secara terpisah dalam kitab-kitab yang telah disusun oleh mutaqaddimin.
Para ulama hadis pada periode ini selain mengumpulkan dan mnyusun hadis dalam bentuk mus}annaf dan musnad juga menyusun kitab dengan sistem baru seperti Atraf, Mustakhraj, Mustadrak, dan Jami’.
Kitab-kitab yang disusun dalam bentuk-bentuk tersebut dapat diklasifikasikan berdasarkan penyusunnya sebagai berikut;
1. Kitab Atraf adalah kitab yang disusun dengan cara menyebutkan bagian-bagian matan dari hadis-hadis tertentu kemudian menjelaskan saanad dan matannya, ddianatara kitab-kitab yang disusun dalam bentuk seperti ini adalah; Atraf alSahihaini karya Ibrahim al-Dimasyqi (w. 400 H), Atraf al-Sahihaini karya Abu Muhammad Khalaf ibnu Muhammad al-Wasti (w. 401 H), Atraf al-Sunani al-Arba’ah karya Ibnu Asakir (w. 571 H), Atraf Kutub al-Sittah karya Muhmmad Ibnu Tahir al-Dimasyqi (w. 507 H), Atraf al-Ahadis} al-Mukhtarah karya Ibnu Hajar al-’Asqalani (w. 852 H), Atraf Sahih Ibnu Hibban karya al-’Iraqi (w. 806 H), Atraf al-Masand al-’Asyarah karya Syihab al-Din al-Busiri (w. 840 H).
2. Kitab Mustakhraj adalah kitab hadis yang memuat matan-matan hadis yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim atau selin keduanya, kemudian penyusun meriwaytkan matan-matan hadis tersebut dengan sanad yang berbeda. Dianatara kitab-kitab yang tersusun dalam bentuk seperti ini adalah; Mustakhraj Sahih al-Bukhari karya al-Jurjani, Mustakhraj Sahih Muslim karya Abu ’Awanah (w. 216 H), Mustakhraj Sahih al-Bukhari wa Muslim karya Abbu Bakar Ibnu ’Abdan al-Sirazi (w. 388 H), Takhrij ahadis al-Ihya’ karya al-’Iraqi, yaitu mentakhrij hadis-hadis yang terdapat dalam kitab Ih}ya’ ’Ulumu al-Din kraya al-Gazali, Takhrij ahadis al-Baagawi karya al-Mannawi (w. 1031 H) yaitu mentakhrij hadis-hadis yang terdapat dalam Tafsir al-Bagawi, al-Kafi al-Syafi Takhrij ahadis al-Kasysyaf karya Ibnu Hajar al-’Aqalani, yaitu mentakhrij hadis-hadis yang di susun oleh al-Zaila’i (w. 762 H).
3. Kitab al-Mustadrak adalah kitab hadis yang disusun berdasarkan syarat-sayarat al-Bukhari dan Muslim dan atau salah satu siantara keduanya, dianatara kitab-kitab hadis yang disusun dalam bentuk seperti ini adalah : al-Mustadrak karya al-Hakim al-Naisaburi (w. 405 H), dan al-Ilzamat karya al-Daruqutni(w. 385 H).
4. Kitab Jami’ adalah kitab himpunan hadis dari kitab-kitan yang telah adalah, dianatar kitab-kitab yang tersususn dalam bentuk seperti ini adalah;
1. Kitab-kitab yang menghimpun hadis-hadis Sahih al-Bukhari dan Muslim:
1) Al-Jami’ Baina al-Sahihaini, karya Ibnu al-Furat (Ismail ibnu Muhammad) (w. 414 H)
2) Al-Jami’ baina al-Sahihaini, karya Muhammad ibnu Nasr al-H{umaidi (w. 488 H)
3) Al-Jami’ baina al-Sahihaini, karya al-Bagawi (w. 516 H)
2. Kitab-kitab yang menghimpun hadis-hadi dari Kutub al-Tis’ah:
1) Tadriju al-Sihhah, karya Razim Mu’awiyah kemudian disempurnakan oleh Ibnu al-Asir al- Jazairipada kitab yang diberi judul ”al-Jami’u al-Usul min Ahadisi al-Rasul.
2) Al-Jami’ karya Ibnu al-Kharrat (w. 582 H).
3. Kitab-kitab yang menghimpun hadis-hadis dari berbagai kitab hadis:
1) Maabih al-Sunnah, karya al-Bagawi kemudian di saring oleh al-Khatib al- Tabrizi dengan judul ”Misykat al-Masabih}”
2) Jami’ al-Masnid wa al-Alqab karya Abdurrahman bin Ali al-Jauzi (w. 579 H), kemudian kitab ini ditertibkan oleh al-T{abari.
3) Bahru al-Asanid karya al-Hasan Ibnu Ahmad al-Samarqandi (w. 491 H).
4. Kitab yang disusun berdasarkan pokok masalah, dianatara kitab-kitab hadis yang menghimpun hadis-hadis berdasarkan masalah-masalah tertentu dari kitab-kitab hadis terdahulu adalah :
1. Himpunan Hadis-hadis hukum
1) Muntaqa al-Akhbar fi al-Ahkam, karya Majdu al-Din Abdussalam Ibnu Abdillah (w. 625 H)
2) Al-Sunan al-Kubra, karya al-Baihqi (w. 458 H)
3) Al-Ah}kam al-Sugra, karya Ibnu al-Kharrat (w. 582 H)
4) ’Umdatu al-Ahkam, karya Abdulgani al-Maqdisi (w. 582)
5) Bulug al-Maram min Adillat al-Ah}kam karya Ibnu H{ajar al-’Asqalani.
2. Himpunan hadis-hadis al-Targib wa al-Tarhib (hadis-hadis tentang menggemarkan untuk beramal dan menjauhkan diri perbuatan dosa yang dibenci) salah satu diantara kitab tersebut adalah kitab al-Targib wa al-Tarhib karya al-Munziri (w. 656 H)
Pada abad VII selain karya-karya ulama dalam bidang hadis yang disusun dalam bentuk mustakhrajat dan atraf, juga para ulama abad VII dan seterusnya menyusun karya dalam bentuk syuruh, mukhtas\arat, al-zawaid, dan ma’ajim. Adapun karya-karya para ulama pada abad VII dan seterusnya dapat diklasifikasiakan sebagai berikut:
1. Kitab al-Syuruh mrupakan kitab hadis yang memuat uraian dan penjelasan terhadap atas kandungan hadis yang terdapat dalam kitab-kitab karya ulama Mutaqaddimin dengan memberikan beberapa hubungan dengan atau relasi baik dari Al-Qur’an , hadis, maupun kaodah-kaidah syara’ lainnya. Adapun karya-karaya yang disusun dalam bentuk syuruh dapat diklasifikasikan berdasarkan kitab-kitab himpunan sebagai berikut:
1. Kitab Syarah untuk Sahih al-Bukhari
1) Fath al-Bari oleh Ibnu Hajar al-’Asqalani
2) Irasyad al-Sari oleh al-Qast}lani (w. 923 H)
3) ’Umadat al-Qari’ oleh al-’Aini (w. 855 H)
2. Kitab Syarah untuk Sahih Muslim
1) Al-Minhaj oleh al-Nawawi
2) Ikmal al-Ikmal oleh al-Zawawi (w. 743 H)
3. Kitab Syarah untuk al-Sahihain: Zad al-Muslim oleh al-Syinqiti
4. Kitab Syarah untuk Sunan Abu Daud
1) ’Aun al-Ma’bud oleh Syams al-Haq al-’Azim al-Abadi bersama dengan syarah Ibnu al-Qayyim al-Jawziyyah.
2) Ma’alim al-Sunan oleh al-Khattabi (w. 388 H)
5. Kitab syarah untuk Sunan al-Tirmizi
1) Tuhfat al-Ahwazi oleh al-Mubarakfuri (w. 1353 H)
2) ’Arid} al-Ah}wazi oleh Ibnu al-’Arabi (w. 543 H)
6. Kitab Syarah untuk Sunan al-Nasa’i
1) Ta’liq oleh al-Suyuti
2) Ta’liq oleh al-Sindi
7. Kitab syarah untuk Sunan Ibnu Majah
1) Ihdau al-Dibajah oleh Ahmad al-’Adawi
2) Syarah Suanan Ibnu Majah oleh al-Maglatayi (w.767 H)
8. Kitab-Kitab Syaraj untuk Himpunan Hadis-hadis Ahkam
1) Subul al-Salam oleh al-San’ani terhadap Bulug al-Maram oleh Ibnu Hajar al-’Aqalani
2) Nail al-Autar oleh al-Syaukani terhadap muntaqa al-Akhbar karya Majduddin Abdussalam.
2. Kitab Mukhtasarat adalah kitab yang berisi ringkasan-ringkasan dari satu kitab hadis. Diantara kitab-kitab yang disusun dalam bentuk muktasarat adalah: kitab al-Jami’ al-Sagir karya al-Suyuti dan kitab Mukhtasar Sahih Muslim.
3. Kitab Zawaid adalah kitab yang didalamnya terhimpun hadis-hadis yang terdapat dalam satu karya mutaqaddimin tertentu dan tidak terdapat dalam kitab himpunan hadis lainnya, salah satu kitab yang disusun dalam bentuk seperti ini adalah Zawaid al-Sunan al-Kubra oleh al-Busiri, yang mnghimpun riwayat-riwayat yang terdapat dalam Sunan al-Kubra karya al-Baihqi yang tidak terdapt dalam Kutub al-Tis’ah.
4. Kitab Ma’ajim atau disebut juga dengan kitab indeks hadis yakni kitab yang berisi perunjuk-petunjuk praktis untuk mempermudah pencarian matan-matan hadis yang terdapat dalam kitab-kitab himpunan hadis riwayah tertentu, salah satu dianttara kitab tersbut adalah Miftah Kunuz al-Sunnah yang merupakan terjemahan oleh Muhammad Fuad Abdul Baqi dari karya A.J. Wensink, kitab ini memuat hadis-hadis yang terdapat dalam 14 kitab himpunan hadis, dan disusun dalam bentuk tematik.
Selain dari kitab-kitab di atas pada abad VII dan seterusnya tersusun pula kitab himpunan hadis-hadis Qudsi dianatar kitab himpunan hadis-hadis Qudsi adalah : Al-tuhfah al-Saniyyah oleh Al-Munnawi dan al-Kalimat al-Tayyibah oleh Ibnu Taymiyyah, dan banyak lagi lainnya.
PENELITIAN HADITS PERIODE KONTEMPORER
Setelah terkodifikasinya hadis pada periode Mutaqaddimi>n dan disempurnakan pada periode mutaakkkhirin para ulama hadis pada periode kontemporer kemudian melakukan kajian dan penelitian terhadap hadis- hadis Nabi saw dan mengembangkannya dengan menggunakan berbagai bentuk metode dan system, diantara metode dan system yang digunakan oleh para ulama hadis periode kontemporer dalam melakukan penelitian terhadap hadis-hadis Nabi saw adalah sebagai berikut:
1. Metode Takhrij yaitu melakukan penelitian terhadap karya-karya ulama mutaakhkhirin yang belum tersentuh oleh takhrij salah satu ulama yang mengabdikan diri dalam melakukan pengkajian dan penelitian hadis pada periode ini adalah Syaikh Muhammad Nasiruddin al-Albani (w. 1426 H) diantara karya beliau adalah Irwa’ al-Galil fi Takhrij Ahadis Manar al-Sabil yang mentakhrij dan menjelaskan hukum-hukum akan hadis yang terdapat dalam kitab Syarh al-Dalil karya Ibrahim bin Muhammad bin Dawiyan. karya beliau adalah Silsilah al-Ahadis al-Sahihah, al-Da’ifah, al-Maudu’ah. Dan banyak lagi karya-karya beliau yang berhubungan dengan takrij hadis.
2. Metode Ikhtisar al-Hadis, diantara karya-karya ulama hadis kontemporer dalam meringkas hadis-hadis yang telah dihimpun oleh ulama terdahulu baik dari kalangan mutaqaddimin maupun mutaakhkhirin adalah karya al-Albani yaitu Mukhtasar Sahih al-Bukhari dan Mukhtas\ar Sahih Muslim.
3. Metode tematik, yaitu mengumpulkan hadis-hadis yang memiliki tema tertentu, kemudian melakukan takhrij dan penelitian terhadap sanad dan matan untuk mengetahui kesahihan hadis tersebut, kemudian memberikan penjelasan dan uaraian terhadap hadi-hadis tersebut untuk menyelesaikan sebuah problematika baik yang bersifat antologis, epistemologis, maupun aksiologis. Penelitian dengan metode ini mulai dikenal setelah munculnya metode tematik dalam bidang tafsir al-Qur’an.
4. Metode digital yaitu melakukan penelitian hadis melalui program-program hadis yang telah dirancang dengan baik guna memberikan kemudiahan kepada para peneliti hadis zaman ini dianatara program-program tersebut adalah :
1. Program Kutub al-Tis’ah program ini adalah program yang didalamnya memuat 9 kitab hadis standar (Sahih al-Bukhari, Sahih Muslim, Sunan Abu Daud, Sunan al-Tirmizi, Sunan al-Nasa’i, Sunan Ibnu Majah, Muwatta’ Malik, dan Musanad Ahmad, dan sauna al-Darimi) dimana masing-masing kitab disertai dengan penjelasan lafaz, kalimat, perawi, dan sisilah sanad.
2. Program Alfiyah al-Sunnah program ini memuat seluruh kitab-kitab hadis baik bentuk himpunan riwayah, mustakhrajat, syarah, maupun zawaid baik yang telah terbit maupun yang masih dalam bentuk manuskrip, selain kitab-kitab himpunan hadis program ini juga memuat kitab-kitab yang berhubungan dengan ‘Ulum al-H{adis}.
3. Program Maktabah al-Syamilah program ini merupakan program penyempurna dari program al-Fiyah al-Sunnah dengan tambahan dari beberapa cabang ilmu lainnya seperi Tafsi, Ulum al-Qur’an, ‘Aqidah, Firqah-firqah dan agama-agama dan seluruh ilmu-ilmu dalam Islam yyang telah di tulis oleh para ulama baik dari kalangan mutaqaddimi>n maupun mutaakhkhiri>n, sehingga dengan demikan dapat memudah para peneliti dan pengkaji Islam utamanya dalam penelitian terhadap hadis-hadis-hadis Nabi saw.

BAB III
CARA MENYAMPAIKAN
DAN MENERIMA HADITS
(tahamul wa ada’ul-hadits)


1. Pengertian tahammul wa ada’ul-hadist.
a. Tahammul al-hadist
Ulama sepakat bahwa yang dimaksud dengan tahamul adalah “mengambil atau menerima hadits dari seorang guru dengan salah satu cara tertentu. Dalam masalah tahamul ini sebenarnya masih terjadi perbedaan pendapat di antara para kritikus hadits, terkait dengan anak yang masih di bawah umur (belum baligh), apakah nanti boleh atau tidak menerima hadits, yang nantinya juga berimplikasi–seperti diungkapkan oleh al karmani-pada boleh dan tidaknya hadits tersebut diajarkan kembali setelah ia mencapai umur baligh ataukah malah sebaliknya.
b. Ada’ al-Hadist
Ada‘ secara etimologis berarti sampai/melaksanakan.
Secara terminologis ada‘ berarti sebuah proses mengajarkan (meriwayatkan) hadits dari seorang guru kepada muridnya.
Pengertiannya adalah meriwayatkan dan menyampaikan hadits kepada murid, atau proses mereportasekan hadits setelah ia menerimanya dari seorang guru.
Karena tidak semua orang bisa menyampaikan hadits kepada orang lain, dalam hal ini mayoritas ulama hadits, ushul, dan fikh memiliki kesamaan pandangan dalam memberikan syarat dan kriteria bagi pewarta hadist, yang antara lain:
1. ketahanan ingatan informator (dlabitur rawi)
2. integritas keagamaan (‘adalah) yang kemudian melahirkan tingkat kredibilitas (tsiqatur rawi).
3. mengetahui maksud-maksud kata yang ada dalam hadits dan mengetahui arti hadits apabila ia meriwayatkan dari segi artinya saja (bil ma’na).
Sifat adil ketika dibicarkan dalam hubungannya dengan periwayatan hadits maka yang dimaksud adalah, suatu karakter yang terdapat dalam diri seseorang yang selalu mendorongnya pada melakukan hal-hal yang positif, atau orang yang selalu konsisten dalam kebaikan dan mempunyai komitmen tinggi terhadap agamanya
2. Syarat-syarat tahammulul-hadits.
Adapun syarat-syarat bagi seseorang diperbolehkan untuk mengutip hadits dari orang lain adalah:
A. Penerima harus dlobid (memiliki hafalan yang kuat atau memiliki dokumen yang valid).
B. Berakal sempurna.
C. Tamyis.
3. Syarat-syarat ada’ul-hadits.
Mayoritas ulama hadits, ushul, dan fikih sepakat menyatakan bahwa seorang guru yang menyampaikan sebuah hadits harus mempunyai ingatan dan hafalan yang kuat (dlabit), serta memilik integritas keagamaan (‘adalah) yang kemudian melahirkan tingkat kredibilitas (tsiqahi). Sifat adil dalam hubungannya dengan periwayatan hadits maka yang dimaksud adalah, suatu karakter yang terdapat dalam diri seseorang yang selalu mendorongnya melakukan hal-hal yang positif, atau orang yang selalu konsisten dalam kebaikan dan mempunyai komitmen tinggi terhadap agamanya. Sementara itu, untuk mencapai tingkat ‘adalah seseorang harus memenuhi empat syarat yaitu:
A. Islam,
B. Balig,
C. Berakal,
D. Takwa.
Sedangkan kepribadian baik yang mesti dimiliki oleh perawi hadits -seperti diungkapkan al zanjani- lebih banyak dikaitkan dengan etika masyarakat atau pranata sosial. Namun bukan berarti bahwa ia harus orang yang sempurna, karena tidak menutup kemungkinan seorang ulama atau penguasa yang baik tentu memiliki banyak kekurangan. Melainkan yang menjadi tolok ukur disini adalah keistimewaan yang ada melebihi kekuranganya, dan kekurangannya dapat tertutupi oleh kelebihannya. Sigaht tahammul wa ada’ al-hadist dan implikasinya terhadap-persambungan sanad
4. Sighat tahammul wa ada’ al-hadist dan implikasinya terhadap persambungan sanad.
Metode penerimaan sebuah hadits dan juga penyampaianya kembali ada delapan macam yaitu :
a. Sima’ (mendengar).
Yaitu mendengar langsung dari sang guru. Simak mencakup imlak (pendektean), dan tahdits (narasi atau memberi informasi). Menurut mayoritas ahli hadits simak merupakan shigat riwayat yang paling tinggi.
Ketika seorang rawi ingin meriwayatkan hadits yang didengar langsung dari gurunya, maka ia boleh menggunakan salah satu lafat berikut
سمعت, حدثنى, أخبرنى, أنبأنى
قال لى فلان. Jika pada saat mendengar dia tidak sendirian maka dlamir mutakallim diganti dengan dlamir jamak (نا).
Muhaddits periode awal terbiasa menggunakan lafat سمعت, sementara pada masa berikutnya lebih akrab menggunakan lafat حدثنا. Namun demikian pada dasarnya kedua lafat tersebut tidak memiliki perbedaan yang berarti. Hal itu dikarenakan keduanya sama-sama digunakan untuk mewartakan hadits yang didengar langsung hadits yang diriwayatkan dengan salah satu lafat diatas menunjukkan pada bersambungnya sanad.
b. Al qira’ah (membacakan hadits pada syeikh).
Qira’ah sendiri memaparkan yang juga disebut al ard memiliki dua bentuk. Pertama, seorang rawi membacakan hadits pada syeikh,. Baik hadits yang dia hafal atau yang terdapat dalam sebuah kitab yang ada di depannya. Kedua, ada orang lain membacakan hadits, sementara rawi dan syeikh berada pada posisi mendengarkan.
Dalam situasi seperti itu ada beberapa kemungkinan, bisa jadi syeikh memang hafal hadits yang dibacakanya kepadanya, atau ia menerimanya dengan bersandar pada catatannya atau sebuah kitab yang kredibel. Akan tetapi jika syeikh tidak hafal hadits yang dibacakan kepadanya, maka sebagian ulama antaranya al juwaini menganggapnya sebagai bentuk simak yang tidak benar.
Terkait dengan qira’ah ini sebagian ahli hadits melihatnya sebagian bagian yang terpisah, sementara yang lain menganggapnya sama dengan mendengar. Ulama’ ynag berpendapat bahwa qira’ah sama kuatnya dengan simak dalam menanggung hadits adalah al zuhri, al bukhari, mayoritas ulama kufah, hijaz, dll. Riwayat dengan cara ini masuk dalam sanad yang muttasil.
c. Ijazah
Salah satu bentuk menerima hadits dan mentransfernya denga cara seorang guru memberi izin kepada muridnya atau orang lain untuk meriwayatkan hadits yang ada dalam catatan pribadinya (kitab), sekalipun murid tidak pernah membacakan atau mendengar langsung dari sang guru. Ibnu hazm menentang riwayat dengan ijazah dan menganggapnya sebagai bid’ah.
Sekalipun bagian ini banyak menuai kritik keras dari kalangan muhadditsin, namun tidak sedikit ulama yang membolehkannya. Dari kedua golongan yang terlibat dalam polimik sama-sama memberikan alasan untuk mempertahankan pendapat masing-masing. Dalam hal ini, dengan melihat pada argumen dari kedua belah pihak, penulis lebih cenderung pada pendapat yang membolehkan. Hal itu dikarenakan, sekalipun konsep ijazah bersifat umum, namun pada tataran praktisnya ia hanya boleh dilakukan oleh orang tertentu yang benar-benar berkompeten dan memiliki pengetahuan luas dalam bidang hadits nabawi dengan demikian kehawatiran golongan pertama akan terjadinya dusta dan tadlis tidak dapat dibenarkan.
d. Munawalah
Tindakan seorang guru memberikan sebuah kitab atau hadits tertulis agar disampaikan dengan mengambil sanad darinya. Menurut shiddiq basyir nashr dalam bukunya dlawabith al riwayah munawalah terdapat dua bagian, yaitu disertai dengan riwayah dan tidak disertai dengan riwayah. Kemudian bentuk yang pertama dibagi menjadi beberapa macam,
1. Guru mengatakan “ini adalah hadits yang aku dengar, aku berikan dan ku ijazahkan ia kepada mu”.
2. Mirip dengan munawalah ma’al ijazah, seorang guru mengatakan kepada muridnya “ambillah kitab ini, kutip dan telitilah, kemudian kembalikan lagi kepada ku”.
3. Seorang murid membawakan hadits yang kemudian diteliti oleh sang guru dan berkata “ini adalah hadits ku, riwayatkanlah ia dari ku”. Kedua tidak disertai dengan ijazah, seperti kasus seorang guru yang memberikan hadits kepada muridnya dan berkata “ini adalah hadits yang aku dengar”, tanpa disertai dengan izin untuk meriwayatkan.
e. Mukatabah (menulis).
Yang dimaksud dengan menulis di sini adalah aktivitas seorag guru menuliskan hadits -baik ditulis sendiri atau menyuruh orang lain- untuk kemudian diberikan kepada orang yang ada di hadapannya, atau dikirimkan kepada orang yang berada ditempat lain. Sebagaimana halnya munawalah, mukatabah juga terdapat dua macam yaitu disertai dengan ijazah dan tidak disertai dengan ijazah. Pendapat yang masyhur menyatakan kebolehan meriwayatkan hadits dengan cara ini. Bahkan ia juga menjadi salah satu kebiasan ulama klasik, sehingga tidak heran jika kita menemukan dari sekian banyak hadits diriwayatkan dengan lafat كتب إلي فلان.
f. Al-i’lam (memberitahukan).
I’lam adalah tindakan seorang guru yang memberitahukan kepada muridnya bahwa kitab atau hadits ini adalah riwayat darinya atau dari yang dia dengar, tanpa disertai dengan pemberian ijazah untuk menyampaikannya. Masuk dalam bagian ini apabila seorang murid berkata kepada gurunya “ini adalah hadits riwayatmu, bolehkah saya menyampaikannya?” Lalu syaikh menjawab ya atau hanya diam saja.
Mayoritas ulama -hadits, usul, fiqih- memperbolehkan bentuk ini dijadikan salah satu metode menerima hadits sepanjang kredibilitas guru dapat dipercaya. Namun demikian sejumlah muhadditsin dan pakar usul tidak memperbolehkan cara ini dijadikan salah satu bentuk menyampaikan hadits, dengan alasan yang sangat singkat karena tidak disertai dengan izin. Pendapat ini dikemukakan oleh al-ghozali dan ibnu sholah dalam bukunya al-muqoddimah.
g. Wasiat.
Wasiat adalah penegasan syeikh ketika hendak bepergian atau dalam masa-masa sakaratul maut; yaitu wasiat kepada seseorang tentang kitab tertentu yang diriwayatkannya. Sejumlah ulama memperboleh mereportasekan hadits yang diperoleh dengan cara wasiat. Wasiat hadits menurut mereka sama dengan pemberitahuan dan pemberian, yang seoleh-olah syeikh memberikan izin kepada muridnya dan memberitahukan bahwa ini termasuk riwayatnya.
Seklaipun mereka memperbolehkannya, namun mereka mengakui bahwa riwayat dengan cara ini termasuk lemah, bahkan lebih lemah dari munawalah dan i’lam, sekalipun memiliki kesamaan. Mereka juga memberikan batasan, ketika orang yang meneri hadits dengan cara ini ingin mewartakannya kembali maka ia harus terikat dan mengikuti redaksi asalnya, dan menjelaskan bahwa hadits tersebut diterima dengan wasiat, serta tidak boleh menggunakan lafat حدثنا , karena dalam kenyataannya dia memang tidak mendengar langsung. Bagaimanapun juga sejumlah ulama yang lain tidak memperbolehkannya, dengan alasan karena menerima hadits dengan cara ini tidak disertai dengan mendengar langsung atau qira’ah.
h. Wijadah
Seorang rawi menemukan hadits yang ditulis oleh orang yang tidak seperiode, atau seperiode namun tidak pernah bertemu, atau pernah bertemu namun ia tidak mendengar langsung hadits tersebut dari penulisnya. Wijadah juga tidak terlepas dari pertentangan pendapat antara yang memperbolehkan dan tidak. Namun para kritikus hadits yang memperbolehkan menyatakan bahwa, ketika penemu ingin meriwayatkannya maka ia harus menggunakan lafat وجدت بخط فلان atau وجدت فى كتاب. فلان بخطه
Kebolehan mewartakan hadits dengan cara ini apabila kodeks yang menjadi sumber data telah dinyatakan valid dan penulisnya kredibel. Dan bentuk penyajiannya dengan metode hikayah (menceritakan) seperti diatas.
Dari beberapa proses penerimaan dan penyampaian hadits di atas kita bisa mengambil kesimpulan sebagai berikut. Bahwa ketika perowi mau menceritakan sebuah hadits, maka ia harus menceritakan sesuai dengan redaksi pada waktu ia menerima hadits tersebut dengan beberapa istilah yang telah banyak dipakai para ulama’ hadits. Sebagaimana berikut:
1. jika proses tahamul dengan cara mendengarkan, maka bentuk periwayatannya adalah:
سمعت,سمعنا,حدثنا,حدثني
Menurut al-qodhi iyyat boleh saja perowi menggunakan kata:
أخبرنا,قال لنا, ذكر لنا, سمعت,سمعنا,حدثنا,حدثني
2. jika proses tahamul itu dengan menggunakan qiroah, maka rowi yang meriwayatkan harus menggunakan kata
قرأت على فلان, قرئ على فلان و أ نا سمعت, أخبرني, حدثنا فلان قرأة عليه
3. ketika proses tahamul menggunakan ijazah maka bentuk redaksi penyampaiannya adalah
أجازنى فلان, أنبأنى
4. ketika prosesnya munawalah, maka redaksi yang digunakan adalah
ناولنى فلان مع إلاجازة, حدثنى فلان ياامناولة وإلاجازة, أنبأنى فلان يإلاجزة و المناولة
5. ketika proses tahamul dengan kitabah (penulisan), maka redaksi yang digunakan adalah:
كتب إلي, كاتبني, حدثني بالمكاتبة وإلاجازة, أخبرني حدثني بالمكاتبة وإلاجازة
6. ketika prosesnya menggunkan pemberitahuan, maka redaksi yang digunakan adalah:
أعلمنى فلان, حدثنى فلان يإلاعلام, أخبرنى فلان بإلاعلام
7. ketika proses tahamul menggunakan metode wasiat, maka redaksi penyampaian menggunakan kata:
أوصى إلي فلان, أخبرنى فلان بالوصية, حدثني فلان بالوصية
ketika proses tahamul melalui metode wijadah( penemuan sebuah manuskrip atau buku), maka redaksi penyampaiannya menggunakan kata:
وجدت بخط فلان, قال فلان
Ringkasan Shighat Tahammul Hadits
Shigat Metode Tahammul
سمعت,سمعنا,حدثنا,حدثني السماع
أخبرنا,قال لنا, ذكر لنا, سمعت,سمعنا,حدثنا,حدثني
قرأت على فلان, قرئ على فلان و أ نا سمعت, أخبرني, حدثنا فلان قرأة عليه القراءة
أجازنى فلان, أنبأنى الاجازة
ناولنى فلان مع إلاجازة, حدثنى فلان ياامناولة وإلاجازة, أنبأنى فلان يإلاجزة و المناولة المناولة
كتب إلي, كاتبني, حدثني بالمكاتبة وإلاجازة, أخبرني حدثني بالمكاتبة وإلاجازة الكتابة
أعلمنى فلان, حدثنى فلان يإلاعلام, أخبرنى فلان بإلاعلام الاعلام
أوصى إلي فلان, أخبرنى فلان بالوصية, حدثني فلان بالوصية الوصية
وجدت بخط فلان, قال فلان
الوجدة

BAB IV
KLASIFIKASI HADITS BERDASARKAN JUMLAH PERAWINYA

A. HADITS MUTAWATIR
1. Pengertian
Kata mutawatir Menurut lughat ialah mutatabi yang berarti beriring-iringan atau berturut-turut antara satu dengan yang lain.
Secara defitif hadits mutawatir adalah:
خبر عن محسوس رواه عدد جم يخب في العادة احالة اجتماعهم وتواطئهم على الكب
“ Suatu hadits hasil tanggapan dari panca indra, yang diriwayatkan oleh sejumlah besar rawi, yang menurut adapt kebiasan mustahil mereka berkumpul dan bersepakat dusta”
Hadits mutawatir merupakan hadits yang diriwayatkan oleh banyak orang dalam setiap generasi, sejak generasi shahabat sampai generasi akhir (penulis kitab), orang banyak tersebut layaknya mustahil untuk berbohong. Tentang seberapa banyak orang yang dimaksud dalam setiap generasi belum terdapat sebuah ketentuan yang jelas. Sebagian ulama hadits menyatakan bahwa jumlah itu tidak kurang dari dua puluh perawi. Abu Thayib menentukan sekurang-kurangnya 4 orang. Hal tersebut diqiyaskan dengan jumlah saksi yang diperlukan oleh hakim. Sedangkan Ashabus Syafi’i menentukan minimal 5 orang. Hal tersebut diqiyaskan dengan jumlah para Nabi yang mendapatkan gelar Ulul Azmi. Sebagian ulama menetapkan sekurang-kurangnya 20 orang. Hal tersebut berdasarkan ketentuan yang telah difirmankan Allah tentang orang-orang mukmin yang tahan uji, yang dapat mengalahkan orang-orang kafir sejumlah 200 orang (lihat surat Al-Anfal ayat 65). Ulama yang lain menetapkan jumlah tersebut sekurang-kurangnya 40 orang. Hal tersebut diqiyaskan dengan pernyataan Allah sebagai berikut :
“Wahai nabi cukuplah Allah dan orang-orang yang mengikutimu (menjadi penolongmu).” (QS. Al-Anfal: 64).
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa hadits mutawatir adalah laporan dari orang-orang yang jumlahnya tidak ditentukan (la yuhsha ‘adaduhum) yang tidak mungkin mereka bersepakat untuk berbuat dusta mengingat jumlah mereka yang besar (‘adalah) dan tempat tinggal mereka yang beragam. Sebagian besar ulama sepakat bahwa hadist mutawatir menimbulkan konsekuensi hukum dan pengetahuan yang positif (yaqin) sehingga hadits ini dapat dijadikan hujjah baik dalam bidang aqidah maupun dalam bidang syari’ah. Hadits mutawatir memberikan faedah ilmu daruri, yakni keharusan untuk menerimanya secara bulat sesuatu yang diberitahukan mutawatir karena ia membawa keyakinan yang qath’i (pasti), dengan seyakin-yakinnya bahwa Nabi Muhammad SAW benar-benar menyabdakan atau mengerjakan sesuatu seperti yang diriwayatkan oleh rawi-rawi mutawatir.
Dapat dikatakan bahwa penelitian terhadap rawi-rawii hadits mutawatir tentang keadilan dan kedlabitannya tidak diperlukan lagi, karena kuantitas rawi-rawinya mencapai ketentuan yang dapat menjamin untuk tidak bersepakat dusta. Oleh karenanya wajib bagi setiap muslim menerima dan mengamalkan semua hadits mutawatir. Umat Islam telah sepakat tentang faedah hadits mutawatir seperti tersebut di atas dan bahkan orang yang mengingkari hasil ilmu daruri dari hadits mutawatir sama halnya dengan mengingkari hasil ilmu daruri yang berdasarkan musyahailat (pelibatan pancaindera).
Sebuah hadits dapat digolongkan ke dalam hadits mutawatir apabila memenuhi beberapa syarat. Adapun persyaratan tersebut antara lain adalah sebagai berikut :
a. Diriwayatkan oleh jumlah yang banyak.
b. Jumlah yang banyak ini berada pada semua tingkatan (thabaqat) sanad.
c. Menurut kebiasaan tidak mungkin mereka bersepakat untuk dusta.
d. Sandaran hadits mereka dengan menggunakan indera seperti perkataan mereka : kami telah mendengar, atau kami telah melihat, atau kami telah menyentuh, atau yang seperti itu. Adapun jika sandaran mereka dengan menggunakan akal, maka tidak dapat dikatakan sebagai hadits mutawatir.
Jumhur ulama berpendapat bahwasannya tidak disyaratkan jumlah tertentu dalam mutawatir. Yang pasti harus ada sejumlah bilangan yang dapat meyakinkan kebenaran nash dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam. . Diantara mereka ada yang mensyaratkan dengan jumlah tertentu dan tidak boleh kurang dari jumlah tersebut.Ada yang berpendapat : Jumlahnya empat orang berdasarkan pada kesaksian perbuatan zina. Ada pendapat lain : Jumlahnya lima orang, hal ini diqiyaskan dengan jumlah para nabi yang mendapat gelar Ulul ‘Azmi. Ada yang berpendapat lain juga yang mengatakan jumlahnya 12 orang seperti jumlah pemimpin dalam firman Allah (yang artinya) : ”Dan sesungguhnya Allah telah mengambil perjanjian (dari) Bani Israil dan telah Kami angkat di antara mereka 12 orang pemimpin” (QS. Al-Maidah ayat 12). Ad yang menetapkan sekurang-kurangnya 20 orang, berdasarkan ketentuan yang telah difirmankan Allah dalam suat Al anfal 65. selain itu adal pula yang menetpkan jumlah tersebut sekurang-kuangnya 40 orang dengan menqiyaskan pada firma Allah pada surat al anfal ayat 64. Ada juga yang berpendapat selain itu berdasarkan kesaksian khusus pada hal-hal tertentu, namun tidak ada ada bukti yang menunjukkan adanya syarat dalam jumlah ini dalam kemutawatiran hadits.
Pembagian Hadits Mutawatir
2. Pembagian hadits Mutawatir
Hadits Mutawatir ada 2 yaitu :
a. Mutawatir Lafdzi
Hadist Mutawatil Lafdzi adalah;
ما تواتر لفظه
Hadist mutawatir lafdhi adalah mutawatir dengan susunan redaksi yang persis sama. Dengan demikian garis besar serta perincian maknanya tentu sama pula, juga dipandang sebagai hadist mutawatir lafdhi, hadist mutawatir dengan susunan sedikit berbeda, arena sebagian digunakan kata-kata muradifnya (kata-kata yang berbeda tetapi jelas sama akna atau maksudnya). Sehingga garis besar dan perincian makna hadist itu tetap sama.
Contoh Hadits Mutawatir Lafzi :
من كذب علي متعمدا فليتبوأ مقعده من النار
“Rasulullah SAW berkata, “Barangsiapa yang sengaja berdusta atas namaku, maka hendaklah ia bersedia menduduki tempat duduk di neraka.”
Adapun silsilah/urutan rawi hadits di atas ialah sebagai berikut :
Menurut Abu Bakar Al-Bazzar, hadits tersebut diatas diriwayatkan oleh 40 orang sahabat, kemudian Imam Nawawi dalam kita Minhaju al-Muhadditsin menyatakan bahwa hadits itu diterima 200 sahabat
b. Mutawatir Ma’nawi
ما تواتر معناه دون لفطه
Yaitu hadits yang isi serta kandungannya diriwayatkan secara mutawatiakan tetapi redaksinya tidak. Sehingga redaksinya bisa berbeda-beda.
Contoh hadits mutawatir maknawi adalah :
ما رفع صلى الله عليه وسلم يديه حتى رؤي بياض ابطيه في شيئ من دعائه الا في الاستسقاء
“Rasulullah SAW tidak mengangkat kedua tangan beliau dalam doa-doanya selain dalam doa salat istiqa’ dan beliau mengangkat tangannya, sehingga nampak putih-putih kedua ketiaknya.” (HR. Bukhari Muslim)
Hadis yang semakna dengan hadis tersebut di atas ada banyak, yaitu tidak kurang dari 30 buah dengan redaksi yang berbeda-beda. Antara lain hadis-hadis yang ditakrijkan oleh Imam ahmad, Al-Hakim dan Abu Daud yang berbunyi :
كان يرفع يديه حذو منكبي
“Rasulullah SAW mengangkat tangan sejajar dengan kedua pundak beliau.”
c. Hadist Mutawatir ‘amali
Hadist mutawatir ‘amali adalah hadist mutawatir yang menyangkut perbuatan Rasulullah SAW, yang disaksikan dan ditiru tanpa perbedaan oleh orang banyak, untuk kemudian juga dicontoh dan diperbuat tanpa perbedaan oleh orang banyak pada generasi-generasi berikutnya.
Segala macam amal ibadah yang dipraktekkan secara sama oleh umat Islam atau disepakati oleh para ulama, termasuk dalam kelompok hadist mutawatir ‘amali. Seperti hadist mutawatir maknawi, jumlah hadist mutawatir ‘amali cukup banyak. Diantaranya, shalat janazah, shalat ‘ied, dan kadar zakat harta.
3. Hukum Hadits Mutawatir
Hadits mutawatir mengandung ilmu dlarury yang harus diyakini yang mengharuskan kepada manusia untuk mempercayainya dengan sepenuh hati sehingga para rawinya tidak perlu lagi mengkaji dan menyelidiki. Seperti pengetahuan kita akan adanya Makkah Al-Mukarramah, Madinah Al-Munawarah, Jakarta, New York, dan lainnya; tanpa membutuhkan penelitian dan pengkajian. Maka hadits mutawatir adalah qath’I tidak perlu adanya penelitian dan penyelidikan tentang keadaan para perawinya .
Taraf kepastian bahwa hadist mutawatir itu sungguh-sungguh berasal dari Rasulullah SAW, adalah penuh dengan kata lain kepastiannya itu mencapai seratus persen.
Oleh karena itu, kedudukan hadist mutawatir sebagai sumber ajaran Islam tinggi sekali. Menolak hadist mutawatir sebagai sumber ajaran Islam sama halnya dengan menolak kedudukan Nabi Muhammad SAW sebagai utusan Allah. Kedudukan hadist mutawatir sebagai sumber ajaran Islam lebih tinggi dari kedudukan hadist ahad.
4. Buku-Buku Tentang Hadits Mutawatir
sebagian ulama telah mengumpulkan hadits-hadits mutawatir dalam sebuah buku tersendiri. Diantara buku-buku tersebut adalah :
a. Al-Azhar Al-Mutanatsirah fil-Akhbaar Al-Mutawattirah, karya As-Suyuthi, berurutan berdasarkan bab.
b. Qathful Azhar, karya As-Suyuthi, ringkasan dari kitab di atas.
c. Al-La’ali’ Al-Mutanatsirah fil-Ahaadits Al-Mutawatirah, karya Abu Abdillah Muhammad bin Thulun Ad-Dimasyqy.
d. Nadhmul Mutanatsirah minal-Hadiits Al-Mutawatirah, karya Muhammad bin Ja’far Al-Kittani.

B. HADITS AHAD
1. Pengertian
Suatu hadits yang tidak memenuh syarat-syarat Hadits mutawatr disebut hadits ahad. Ulama’ Muhadditsin mendefinisikan sebagai berikut:
هو ما لا ينتهي الى التواتر
“Hadits yang tidak mencapai derajat mutawatir”
Hadits Ahad adalah hadits yang diriwayatkan oleh satu, dua, atau sedikit orang yang tidak mencapai derajat mutawatir. Keterikatan manusia terhadap substansi hadits ini sangat dipengaruhi oleh kualitas periwayatannya dan kualitas kesinambungan sanadnya.
2. Pembagian Hadist Ahad
a. Hadist masyhur (hadist mustafidah)
Masyhur menurut bahasa berarti yang sudah tersebar atau yang sudah populer. Mustafidah menurut bahasa juga berarti yang telah tersebar atau tersiar. Jadi menurut bahasa hadist masyhur dan hadist mustafidah sama-sama berarti hadist yang sudah tersebar atau tersiar. Atas dasar kesamaan dalam pengertian bahasa para ulama juga memandang hadist masyhur dan hadist mustafidah sama dalam pengartian istilah ilmu hadist yaitu:
ما رواه الثلاثة فأكثر ولم يصل درجة التواتر
"Hadist yang diriwayatkan oleh tiga orang rawi atau lebih, dan belum mencapai derajat hadist mutawatir.”
Sedangkan batasan tersebut, jumlah rawi hadist masyhur (hadist mustafidah) pada setiap tingkatan tidak kurang dari tiga orang, dan bila lebih dari tiga orang, maka jumlah itu belum mencapai jumlah rawi hadist mutawatir.
Contoh hadist masyhur (mustafidah) adalah hadist berikut ini:
المسلم من سلم المسلمون من لسانه ويده
“Seorang Muslim adalah orang yang kaum Muslimin tidak mengganggu oleh lidah dan tangannya.” (Hadist Riwayat Bukhari, Muslim, dan Turmudzi) “
Hadist di atas sejak dari tingkatan pertama (tingkatan sahabat Nabi) sampai ke tingkat imam-imam yang membukukan hadist (dalam hal ini adalah Bukhari, Muslim, dan Turmudzi) diriwayatkan oleh tidak kurang dari tiga rawi dalam setiap tingkatan.
b. Hadist ‘aziz
‘Aziz menurut bahasa, berarti: yang mulia atau yang kuat dan juga berarti jarang. Hadist ‘aziz menurut bahasa berarti hadist yang mulia atau hadist yang kuat atau hadist yang jarang, karena memang hadist ‘aziz itu jarang adanya.
Para ulama memberikan batasan sebagai berikut:
ما رواه اثنان ولو كانا في طبقة واحدة ثم رواه بعد ذلكجماعة
أ”Hadist ‘aziz adalah hadist yang diriwayatkan oleh dua orang rawi, kendati dua rawi itu pada satu tingkatan saja, dan setelah itu diriwayatkan oleh banyak rawi”.
Berdasarkan batasan di atas, dapat dipahami bahwa bila suatu hadist pada tingkatan pertama diriwayatkan oleh dua orang dan setelah itu diriwayatkan oleh lebih dari dua rawi maka hadist itu tetap saja dipandang sebagai hadist yang diriwayatkan oleh dua orang rawi, dan karena itu termasuk hadist ‘aziz.
Contoh hadist ‘aziz adalah hadist berikut ini:
نحن الاخرون السابقون يوم القيامة
“Kita adalah orang-orang yang paling akhir (di dunia) dan yang paling terdahulu di hari qiamat.” (Hadist Riwayat Hudzaifah dan Abu Hurairah)
Hudzaifah dan abu hurairah yang dicantumkan sebagai rawi hadist tersebut adalah dua orang sahabat Nabi, walaupun pada tingkat selanjutnya hadist itu diriwayatkan oleh lebih dari dua orang rawi, namun hadist itu tetap saja dipandang sebagai hadist yang diriwayatkan oleh dua orang rawi, dan karena itu termasuk hadist ‘aziz.
c. Hadist gharib
1. Definisi
Gharib, menurut bahasa berarti jauh, terpisah, atau menyendiri dari yang lain. Hadist gharib menurut bahasa berarti hadist yang terpisah atau menyendiri dari yang lain.
Para ulama memberikan batasan sebagai berikut:
ما انفرد برواتيه شخص في اي موضع وقع التفرد به من السند
"Hadist gharib adalah hadist yang diriwayatkan oleh satu orang rawi (sendirian) pada tingkatan manapun dalam sanad.”
Berdasarkan batasan tersebut, maka bila suatu hadist hanya diriwayatkan oleh seorang sahabat Nabi dan baru pada tingkatan berikutnya diriwayatkan oleh banyak rawi, hadist tersebut tetap dipandang sebagai hadist gharib.
Contoh hadist gharib itu antara lain adalah hadist berikut:
Yang artinya: “ Dari Umar bin Khattab, katanya: Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda: “Amal itu hanya (dinilai) menurut niat, dan setiap orang hanya (memperoleh) apa yang diniatkannya.” (Hadist Riwayat Bukhari, Muslim dan lain-lain) “
Kendati hadist ini diriwayatkan oleh banyak imam hadist, termasuk Bukhari dan Muslim, namun hadist tersebut pada tingkatan pertama hanya diriwayatkan oleh seorang sahabat Nabi, yaitu Umar bin Khattab, dan pada tingkatan kedua juga diriwayatkan oleh hanya satu orang tabi’in, yaitu ‘Alqamah.
Dengan demikian hadist itu dipandang sebagai hadist yang diriwayatkan oleh satu orang dan termasuk hadist gharib.
2. Klasifikasi
Ditinjau dari segi bentuk peyendirian rawi, maka hadits gharib terbagi kepada du macam:
a. Gharib Muthlaq
Apabila peyendirian rawi dalam meriwayatkan hadits itu mengenai personalianya, maka hadits yang diriwaytkan disebut gharib muthlaq. Penyendirian rawi hadits gahrib mutlq harus berpangkal pada ashsus sanad, yakni tabi’iy, bukan sahhabat. Sebab yang menjadi tujuan memperbincangkan penyendirian rawi dalam hadits gharib di sini adlah unuk menetapkan apakah ia masih dterima periwayatannya atau ditolak sama sekali. Sedanglkan kalau yag menyndiri tu seorng sahabat, sudah tidak perlu diperbincangkanlag, karea sudah diakui oleh umum bahwa sahabat-sahabat itu adalah adil semuanya.
b. Gharib Nisby
apbila enyendirian itu mengenai sifat-sifat atau keadaan tertentu seorang rawi, maka hadits yang diriwayaknnya disebut dengan hadits gahrib nisby. Sifat atau keadaan tersebut mempunyai bebarapa kemungkinan:
a. Sifat keadalan dan kedlabitan (ketsiqahan) rawi
b. Tentang kota atau tempat tnggal tertentu.tentang merwayatkannya dari rawi tertentu.
Disamping pembagan hadts gharib sebahaman di atas, kalua penyendrian itu ditinjau dar segi letaknya, d matakah atau di sanad, aka ia terbagi lagi menjadi tiga bagian, yakni;
1. gharib pada matan dan sanad
2. Gharib pada sanadnya saja
3. gharib pada sebagian matannya.
3. Istilah-istilah muhadditsin yang bersangkutan dengan Hadits gharib
Gharib dan Fard adalah dua istilah yang muradlif. Kedua istlah itu dalm segi penggunaannya dibedakan. Pada umumnya istilah gharib diterapkan untuk hadits fard nisby (Gharib nisby). Sedangkan fard diterapkan untuk fard muthlaq (gharib mutlaq). Dari seg kata kerjanya para muhadditsin tidak menhgadakan perbedaan satu sama lain. Misal
تفرد به فلان sama dengan اغرب به فلان
Istilah-istlah yang sering dipakai untuk memberi cirri hadits gharb antara lan;
ISTILAH KETERANGAN
هذا حديث غريب - Hadits ini diterapkan untuk hadits fard nisby
- Menurut al Baghawi: istilah ini diterapkan untuk hadits syad.
غريب من هذا الوجه - Istilah spesfik at turmudzi ini dimaksudkan untuk memberi nilai suatu hadits yang gharib seluruh sanadnya, sedang matannya shahih.
غريب مشهور - Hadits yanh gharib pada awalnya, kemudan menjadi masyhur pada akhirnya.
تفر به او اغرب بهفلان - Hadits gharib yang tidak mempunyai muttabi’ atau syahid
تفرد به اهل بصرة - Hadits gharib yang dinisbatkn kepad para perawi dari bashrah
لم يروه ثقة الا فلان - Hadits gharib yang dinisbatkan kepada rawi-rawi yang tsiqah hanya seorang saja yang meriwayatkan, sedang jika dinisbatkan kepada rawi-rawi selainnya, adalah dla’if.
لم يروه عن فلان الا فلان - Hadits gharib yang dinisbatkan kepada rawi trtentu, sedangkan raw yang lain tidak ada yang meriwayatkannya.
غريب الحديث - Matan hadits yang sukan difahamkan maksudnya, karena sebagian lafadznya ada yang musykil dan tidak popular dalam penggunaannya.
له متابعة - Hadist gharib yang mempunyai muttabi*
له مثله - Hadits gharib yang mempunyai syahid** billafdzi (sesuai makna dan redaksinya)
له نحوه - Hadits gharib yang mepunyai syahid bil ma’na
له شواهد Hadist gharib yang mempunyai beberapa syahid.
Keterangan:
* Muttabi’ adalah hadits yang mengikuti perwayatan rawi lan sejak gurunya yang terdekat atau guruny guru 9yang terdekat itu)
** syahd adalah suatu hadits yang matannya mencocok matan hadits lain. Syahid asa dua: Syahid billafdzi (ma’na dan redaksi sama) dan Syahid bil ma’na (ma’na sama tapi redaksi berbeda)
4. Cara-cara untuk menetapkan keghariban hadits
Untuk menetapkan suatu hadts tu gharib, hendaklah diperksa lebih dahulu pada kitab-kitab hadit, semisal kitab Jami’ atau Musnad, apakah hadisttersebut apakah hadist tersebut mempunyai sanad lain selain sanad yang dicari kegharibannya itu, atau tidak. Kalau ada maka hilanglag sifta gharibnya.
Cara untuk melakukan pemeriksaan terhadp hadits yang diperkrakan gharib dengan maksud apakah hdist tersebut mempunyai muttabi’ atau syahid, disebut I’tibar.
Muttabi’ adalah hadits yang mengikuti perwayatan rawi lan sejak gurunya yang terdekat atau guruny guru (yang terdekat itu)
Syahid adalah suatu hadits yang matannya mencocok matan hadits lain. Syahid asa dua: Syahid billafdzi (ma’na dan redaksi sama) dan Syahid bil ma’na (ma’na sama tapi redaksi berbeda)
3. Kedudukan Hadist Ahad
Bila hadist mutawatir dapat dipastikan sepenuhnya berasal dari Rasulullah SAW, maka tidak demikian hadist ahad. Hadist ahad tidak pasti berasal dari Rasulullah SAW, tetapi diduga (zhanni dan mazhnun) berasal dari beliau. Dengan ungkapan lain dapat dikatakan bahwa hadist ahad mungkin benar berasal dari Rasulullah SAW, dan mungkin pula tidak benar berasal dari beliau.
Karena hadist ahad itu tidak pasti (hgairu qath’i atau ghairu maqthu’), tetapi diduga (zhanni atau mazhnun) berasal dari Rasulullah SAW, maka kedudukan hadist ahad, sebagai sumber ajaran Islam, berada dibawah kedudukan hadist mutawatir. Dengan kata lain berarti bahwa bila suatu hadist, yang termasuk kelompok hadist ahad, bertentangan isinya dengan hadist mutawatir, maka hadist tersebut harus ditolak.
C. PERBEDAAN HADIST AHAD DENGAN HADIST MUTAWATIR
1. Dari segi jumlah rawi
Hadist mutawatir diriwayatkan oleh para rawi yang jumlahnya begitu banyak pada setiap tingkatan, sehingga menurut adat kebiasaan, mustahil (tidak mungkin) mereka sepakat untuk berdusta. Sedangkan hadist ahad diriwayatkan oleh rawi atau dalam jumlah yang menurut adat kebiasaan masih memungkinkan dia atau mereka sepakat untuk berdusta.
2. Dari segi pengetahuan yang dihasilkan
Hadist mutawatir menghasilkan ilmu qath’i (pengetahuan yang pasti) atau ilmu dharuri (pengetahuan yang mendesak untuk diyakini) bahwa hadist itu sungguh-sungguh dari Rasulullah, sehingga dapat dipastikan kebenarannya. Sedangkan hadist ahad menghasilkan ilmu zhanni (pengetahuan yang bersifat dugaan) bahwa hadist itu berasal dari Rasulullah SAW, sehingga kebenarannya masih berupa dugaan pula.
3. Dari segi kedudukan
Hadist mutawatir sebagai sumber ajaran Islam memiliki kedudukan yang lebih tinggi dari hadist ahad. Sedangkan kedudukan hadist ahad sebagai sumber ajaran Islam berada dibawah kedudukan hadist mutawatir.
4. Dari segi kebenaran keterangan matan
Dapat ditegaskan bahwa keterangan matan hadist mutawatir mustahil bertentangan dengan keterangan ayat dalam al-Qur’an. Sedangkan keterangan matan hadist ahad mungkin saja (tidak mustahil) bertentangan dengan keterangan ayat al-Qur’an.
SKEMA 1- KLASIFIKASI HADITS BERDASARKAN KUANTITAS SANAD

BAB V
KLASIFIKASI HADITS BERDASARKAN KUALITAS SANAD
Kualitas hadist adalah taraf kepastian atau taraf dugaan tentang benar palsunya hadist itu berasal dari Rasulullah SAW. Penentuan kualitas hadist tergantung pada tiga hal yaitu: jumlah rawi, keadaan rawi, dan keadaan matan. Klasifikasi hadist ditinjau dari aspek kualitas hadist, terbagi kedalam tiga tingkatan:
1. Hadist Sahih
2. Hadist Hasan
3. Hadist Dha’if ( Dibahas pada silabus selanjutnya )
A. Hadist Sahih
1. Definisi hadist sahih
Menurut bahasa, sahih berarti sehat (kebalikan dari saqim), bersih dari cacat, sah, atau benar, atuu berarti haq kebalikan ari bathil.
. Sedangkan batasan tentang hadist sahih yang diberikan oleh ulama yaitu:
ما نقله عدل نام الضبط متصل السند غير معلل ولا ساذ.
“Hadits yang dinukil (diriwayatkan) oleh rawi yang adil, sempurna ingatan, sanadnya bersambung-sambung, tidak berillat dan tdak janggal”.
2. Syarat –Syarat Hadits Shahih
Syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh hadist sahih adalah sebagai berikut:
a. Sambung sanadnya
Bahwa setiap perawi memang menerima hadist secara langsung dari perawi seatasnya sejak permulaan sanad sampai penghabisannya.
b. Perawinya harus adil
Setiap perawinya haruslah memiliki sifat sebagai orang Islam, baligh, berakal, tidak fasiq, dan tidak cacat muru’ahnya.
c. Perawinya harus cermat
Setiap perawi haruslah sempurna kecermatannya, baik dia cermat ingatannya atau cermat kitabnya.
d. Tidak syadz
Hadisnya tidaklah merupakan hadist yang syadz. Syadz artinya tidak cocoknya seorang perawi terpercaya terhadap seorang perawi yang lebih terpercaya darinya.
e. Tidak terkena Illat
Hadistnya tidak terkena illat, sedangkan illat itu sendiri adalah sebuah sebab yang sulit dan tersembunyi yang dapat merusak kesahihan hadist, padahal kenyataan lahirnya adalah selamat darinya.
Dari kelima syarat itu, apabila salah satu syarat tidak terpenuhi atau rusak, maka hadist dalam keadaan demikian tidak dapat disebut sebagai hadist sahih
Contoh hadist sahih, yang artinya :
“Telah bercerita kepada kami Abdullah bin Yusuf, yang berkata telah mengkabarkan kepada kami Malik, dari Ibnu Syihab, dari Muhammad bin Jabir bin Muth’im, dari bapaknya, yang berkata, “Aku mendengar Rasulullah saw membaca surat At-Thur di waktu shalat maghrib” (HR. Bukhari, No 731)
Hadist ini dikatakan sahih karena:
1. Sanadnya sambung, sebab perawinya mendengar langsung dari gurunya.
2. Perawinya adil dan cermat, sebab disebutkan Abdullah bin Yusuf adalah seorang terpercaya dan cermat, Malik bin Anas adalah imam yang hafidz, Ibnu Syihab az-Zuhri adalah ahli fiqh hafidz, Muhammad bin Jubair adalah orang terpercaya, dan Jubair bin Muth’im adalah seorang sahabat.
3. Hadistnya tidak terkena satu illat pun.
3. Pembagian hadist sahih
Hadist sahih dapat dibagi kepada dua bagian yaitu:
1. Hadist sahih li dzatih
Adalah hadist yang memenuhi secara lengkap syarat-syarat hadist sahih.
2. Hadist sahih li ghairih
Hadits Shahih l-gharihi adalah:
ما كان رواته متأخرا عن درجة الحافط الضابط مع كونه مشهورابالصدق حتى يكون حديثه حسنا ثم وجد فيه من طريق اخر مساولطريقه او ارخح ما يجبر ذلك القصور الواقع فيه.
“hadits yang keadaan perawinya kurang hafidz dan dlabith tetapi mereka masih terkenal otang yang jujur, hingga karenanya derajat hasan, lalu didapat padanya dari jalan lain yang serupa atau lebih kuat, hal-hal yang dapat menutupi kekurangan yang menimpanya itu”.
Jadi hadits shahih li ghairihi adalah hadist dibawah tingkatan sahih yang menjadi hadist sahih karena diperkuat oleh hadist-hadist yang lain.
Contoh hadits ini dalah hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dari Ubay bi al abbas bn Sahal dari ayahnya (‘bbas) dari neneknya (Sahal), beliau berkata:
“Konon rasulullah mempunyai seekor kuda, ditaruh di kandang kami yang diberi nama Al Luhaif.”
Ubay bin Al Abbas oleh Ahmad, Ibnu Ma’in dan An Nas’I dianggap rawi yang kurang bak hafalannya. Oleh karena itu hadits tersebut bererajat Hasan li dzatihi. Tetapi oleh karena hadits ubay tersebut mempunyai muttabi’(hadits yang sanadnya menguatkan sanad lan dari hadits yang sama). Muttabi’ tersebut diriwayatkan oleh ‘Abdul Muhaimin, maka naiklah derajat hadits tersebut dari hadits hasan li dzatih menjadi shahih Ii gharih.
Ada beberapa macam sahihi li ghairih, menurut ketetepan ahl ilmu hadits anatara lain:
1. Hadits hasan lidzatih dikuatkan dengan jalan lain yang sama derajatnya.
2. hadis hasan lidzatih dbantu dengan beberapa sanad walaupun sanadnya berderajat rendah.
3. Hadits hasan lidzatih atu hadits lemah yang isisnya setuju dengan salah satu ayat al ur’an atau cocok dengan salah satu dari pokok-pokok agama.
4. hadits yang tidak begitu kuat, tetapi diterima bak oleh ulama.
Selain perincian tersebut, ada pula penentuan urutan tingkatan hadist sahih, adalah hadist yang diriwayatkan oleh:
1. Hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim
2. Hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari sendiri
3. Hadis yang diriwayatkan oleh Muslim sendiri
4. Hadits shah yang diriwayatkan memakai syarat-syarat yang dipakai oleh Bukhari dan Muslim.
5. Hadits shah yang diriwayatkan memakai syarat-syarat yang dipakai oleh Bukhari sedang beliau sendri tidak mentakhrijnya
6. Hadits shah yang diriwayatkan memakai syarat-syarat yang dipakai oleh Muslim sedang beliau sendri tidak mentakhrijnya
7. Hadits shah yang tidak menurut salah satu syarat darikedua mam bukhari dan muslim. Tetapi hadits yang ditakhrij tersebut dishahihkan oleh imam-imam hadts yang kenamaan.
4. Kedudukan hadist sahih
Hadist sahih sebagai sumber ajaran Islam lebih tinggi kedudukannya dari hadist hasan dan dho’if, tetapi berada dibawah kedudukan hadist mutawatir.
Semua ulama sepakat menerima hadist sahih sebagai sumber ajaran Islam atau hujjah, dalam bidang hukum dan moral. Tetapi, sebagian ulama menolak kehujjahan hadist sahih dalam bidang aqidah, sebagian lagi dapat menerima, tetapi tidak mengkafirkan mereka yang menolak.
5. Istilah pengarang hadits yang diterapkan pada hadits shahih
ISTILAH KETERANGAN
وفيه اصح الأسانيد - Hadits yang mempunyai rentetan sanad yang lebih shahih. Martabat hadits ini sangat tinggi. Karenanya harus diutamakan daripada yang lain.
وفي اسناده مقال - Sand hadts ini perlu diseldiki lebih lanjut, disebabakan di antara sanadnya terdapat orang yang diperdebatkan tentang keadaan dan kelakuannya.
هذا حديث صحيح الاسناد او اسناده صحيح - Hadits in shahih sanadnya. Namun belum tentu shahih matannya.
هذا حديث صحيح - Hadits ini muuttasil sanadnya, serta melengakapi segala syarat hadits shahih.
متفق عليه او على صحته - Hadts ini disepakati keshahihan sanadnya oleh Imam Bukhori dan Imam Muslim. Sehingga keduanya meriwayatkan hadits ini meskipun dengan gaya bahasa yang berbeda.
صحيح على شرطي البخاري و مسلم - Para perawi dari hadits ini terdapat dalam kitab sahih Bukhor atau Muslim, kendati keduanya tidak meriwayatkan hadits tersebut.
حسن صحيح - Ibnu Shalah : Hadits ini mempunyai dua sanad, Hasan dan shahih
- Pendapat lan mengatakan bahwa diantara dua kalimat tersebut terdapat kalmat penghubung berupa “Aw” (atau) yang dibuang. Dengan demikian hadits ni hanya mempunyai stu sanad saja, tetapi para ulama’ berlainan dalam menilainya. Sebagan menilai dengan hasan sebaian yang lan menilai dengan shahih. Jadi dlam hadits in terdapat taraddud (perlawanan) tentang nilainya, sehingga menimbulkan keraguan. Dengan demkian hadits ini lebih rendah derajatnya dibandingkan dengan hadits shahih.
- Pendpat lan mengatakan apabila hadits ini bukan hadits fard (gharib), maka berarti hadits itu mempunyai dua sanad, yaitu yang satu shahih yang lain hasan. Jika demikian maka hadits ini lebih tinggi derajatnya daripada hadits shahih.
هذا حديث جيد - Menurut ibnu shalah dan Al Bulqiny istilah ini sama dengan istilah hadza haditsun shahihun. Ibnu Hajar menyangkal bahwa tidaklah tepat apabila hadits shahih itu muradlif dengan hadits jayyid, kecual kalau hadits semula hasan lidzthi, kemudian naik enjadi shahih lighairihi. Dengan demikan hadits yang disifati dengan jayyid itu lebh rendah darpada hadits shahhhadits shahih itu sendiri.
هذا حديث ثابت او مجود - Pengarang ktab at tadrib menjelskan bahwa istilah ini dapat diterapkan penggunaannya pada hadits ahahiah dan hasan
B. Hadist Hasan
1. Definisi hadist hasan
Hadist hasan, menurut bahasa berarti hadist yang baik. Para ulama menjelaskan bahwa hadist hasan tidak mengandung illat dan tidak mengandung kejanggalan. Kekurangan hadist hasan dari hadist sahih adalah pada keadaan rawi yang kurang dhabith, yakni kurang kuat hafalannya. Semua syarat hadist sahih dapat dipenuhi dhabithnya rawi (cermatnya rawi).
Jumhurul muhaddisn mendefnisikan sebagaimana berikut:
ما نقله عدل قليل الضبط متصل السند عير معلل ولا شاذ
“Hadits yang diriwayatkan oleh seorang yang adil (tetapi) tidak begitu kokoh ingatannya, bersambung sanadnya dan tidak terdapat illat serta kejanggalan pada matannya”
Menurut At-Turmudzy ; “hadits yang pada sanadnya tidak terdapat orang yang tertuduh dusta, tidak terdapat kejanggalan pada matannya dan hadits itu diriwayatkan tidak dari satu jurusan (diriwayatkan pula melalui sanad yang lain yang sederajat).” Ada pula difinisi yang jadi pegangan umum oleh jumhur ulama hadits, kni ; “Hadits yang dinukilkan oleh seorang adil, tapi tak begitu kokoh ingatannya, bersambung-sambung sanadnya dan tidak terdapat ‘illat serta kejanggalan pada matannya.” Jadi perbedaan antara hadis shahih dan hadits hasan ini terletak pada syarat kedlabitan rawi. pada hadits hasan kedlabitannya lebih rendah (tidak begitu kuat ingatannya) jika dibandingkan hadits shahih.
Contoh hadist hasan, yang artinya :
Dari Abdullah bin Umar r.a. dari Nabi Saw bersabda:"Sesungguhnya Allah SWT akan menerima taubat seorang hamba selama nafasnya belum sampai di tenggorokan (sakratul maut)". (Hadits diriwayatkan oleh Ibnu Majah, dan Tirmizi. Ia berkata: hadits ini hasan.)
Hadist ini telah dikatakan oleh Turmudzi sendiri: “ hadits ini hasan ”
2. Pembagian hadist hasan
Hadist hasan dibagi menjadi dua, yaitu:
1. Hadist hasan li dzatih
Yaitu hadits hasan yang telah memenuhi syarat-syaratnya. Atau hadits yang ersambung-sambung sanadnya dengan orang yang adil yang kurang kuat hafalannya dan tidak terdapat padanya sydzudz dan illat.
Di antara contoh hadits ini adalah:
لولا أن أشق على أمتي لأمرتهم بالسواك عند كل صلاة
Seandainya aku tidak memberatkan umatku, maka pasti aku perintahkan untuk menggosok gigi setiap waktu shalat
2. Hadist hasan li ghairih
Hadits hasan lighairih adalah;
ما لا يخلو اسناده من ستور لم تتحقق اهليته و ليس مغفلا كثير الخطاء و لا طهر منه سبن مفسق ويكون متن الحديثمعروفا برواية مثله او نحوه من وجه اخر.
“Hadits yang sanadnya tidak sepi dari seorang mastur (tidak nyata keahlannya), bukan pelupa yang banyak salahnya, tidak tampak adanya sebab yang menjadikannya fasik dan matan hadtsnya adalah baik berdasarkan periwayatan yang semisal dan semakna dar sesuatu segi yang lain”
Ringkasnya, hadits hasan li ghairihi ini asalnya adalah hadits dhaif (lemah), namun karena ada ada mu’adhdhid, maka derajatnya naik sedikit menjadi hasan li ghairihi. Andaikata tidak ada ‘Adhid, maka kedudukannya dhaif.
Di antara contoh hadits ini adalah hadits tentang Nabi SAW membolehkan wanita menerima mahar berupa sepasang sandal:
أرضيت من نفسك ومالك بنعلين؟ قالت: نعم، فأجاز
“Apakah kamu rela menyerahkan diri dan hartamu dengan hanya sepasang sandal ini?” Perempuan itu menjawab, “Ya.” Maka nabi SAW pun membolehkannya.
Hadits ini asalnya dhaif (lemah), karena diriwayatkan oleh Turmuzy dari ‘Ashim bin Ubaidillah dari Abdullah binAmr. As-Suyuti mengatakan bahwa ‘Ashim ini dhaif lantaran lemah hafalannya. Namun karena ada jalur lain yang lebih kuat, maka posisi hadits ini menjadi hasan li ghairihi.
3. Istilah-istilah yang diterapkan untuk hadits hasan
ISTILAH KETERANGAN
هذا حديث حسن الاسناد - Hadist ini hanya sanadnya saja yang hasan, tidak sampai mencakup kepda kehasanan matannya. Hadist hasan yang demij\kian ni, lebih rendah nilainya dari pada hadits yang dinilai dengan:
هذا حديث حسن
هذا حديث حسن صحيح - Menurut ibnu shalah berarti hadts yang mempunyai dua sanad; hasan dan shahih
هذا حديث حسن غريب - Menurut atturmudzi suatu hadits yang berkumpul di dalamnya dua sifat; hasn dan gharib.
هذا حديث حسن جدا - Diartikan dengan: hadits yang maknanya sngat menarik hati.
هذا حديث صحاح
او احاديث حسان - Kedua istilah ini, khusus terdapat dalam kitab Al Mashabih karya Baghawi
- Shihah: segala hadits yang tercantum dalam kedua kitab shahih bukhari dan muslim.
- Hisan : Hadits yang tercantum dalam kitab-kitab sunan.
هذا حديث صالح - Di dalam kitab sunan adu dawud, nilai hadts-hadits itu terbagi kepada Hadits shahih, Musyabih (yang menyerupai), Muqarib (yang dekat) dan Wahnun syadidun (lemah sekali). Disamping itu, masih ada hadits yang tidak ditentukan nilainya. Hadist yang tidak ditentukan nilainnya diberi nama dengan Hadist Shalih.
- Hadist shalih ini menurut pendapatnya dapat dijadikan hujjah apabila disokong oleh hadits lain.
- Kalau tidak ada penyokongnya, hanya dapat digunakan sebagai I’tibar saja.
هذا حديث مشبه - Hadits yang mendekati hadits hasan.
4. Kedudukan hadist hasan
Para ulama sepakat memandang bahwa tingkatan hadist hasan berada sedikit dibawah tingkatan hadist sahih, tetapi mereka berbeda pendapat tentang kedudukannya sebagai sumber ajaran Islam atau sebagai hujjah. Masyarakat ulama memperlakukan hadist hasan seperti hadist sahih. Mereka menerima hadist hasan sebagai hujjah atau sumber ajaran Islam, baik dalam bidang hukum, moral, maupun aqidah. Tetapi sebagian ulama menolak hadist hasan sebagai hujjah dalam bidang hukum apalagi dalam bidang aqidah.
C. Hadits Dlaif
1. Definisi Hadits Dlaif
Difnisi Hadits Dlaif adalah : ما فقد شرطا او اكثر من شروط الصحيح او الحسن
“Hadits yang kehilangan satu syarat atau lebih dari syarat-syarat hadits shaih atau hadits hasan.”
Hadits Dhaif yaitu hadits yang kehilangan satu syarat atau lebih dari syarat-syarat hadits Shahih atau hadits Hasan. Hadits Dhaif merupakan hadits Mardud yaitu hadits yang tidak diterima oleh para ulama hadits untuk dijadikan dasar hukum.
2. Penyebab Tertolak
Para muhadditsin mengemukakan sebab-sebab tertolaknya hadits dari dua jurusan. Yaitu dari jurusan sanad dan jurusan matan
a. Dari jurusan sanad
Dari jurusan ini dapat diperinc menjadi dua bagian. Yaitu terwujudnya cacat-cacat pada rawinya, baik tentang keadilan maupun hafalannya dan ketidak bersambung-sambungnya sanad. Dikarenakan adanya seorang rawi atau lebih, yang digugurkan atau saling tidak bertemu satu sama lain.
i. Terwujudnya cacat-cacat pada rawinya, baik tentang keadilan maupun hafalannya.
Cacat-cacat pada keadilan dan kedlabitan rawi ada 10 macam:
1. Dusta (hadits maudlu)
2. Tertuduh dusta (hadits matruk)
3. Fasik, yaitu banyak salah lengah dalam menghafal
4. Banyak waham (prasangka) disebut hadits mu’allal
5. Menyalahi riwayat orang kepercayaan
6. Tidak diketahui identitasnya (hadits Mubham)
7. Penganut Bid’ah (hadits mardud)
8. Tidak baik hafalannya (hadits syadz dan mukhtalith)
ii. Ketidak bersambung-sambungnya sanad. Dikarenakan adanya seorang rawi atau lebih, yang digugurkan atau saling tidak bertemu satu sama lain.
Terdapat beberapa sebab:
1. Kalau yang digugurkan sanad pertama disebuthadits mu’allaq
2. Kalau yang digugurkan sanad terakhir (sahabat) disebut hadits mursal
3. Kalau yang digugurkan itu dua orang rawi atau lebih berturut-turut disebut hadits mu’dlal
4. Jika tidak berturut-turut disebut hadits munqathi’
b. Dari jurusan Matan (isi)
Selain karena dua hal di atas, kedhaifan suatu hadits bisa juga terjadi karena kelemahan pada matan. Hadits Dhaif yang disebabkan suatu sifat pada matan ialah hadits Mauquf dan Maqthu’ Oleh karenanya para ulama melarang menyampaikan hadits dhaif tanpa menjelaskan sanadnya. Adapun kalau dengan sanadnya, mereka tidak mengingkarinya
3. kalsifikasi hadits dlaif
a. Berdasarkan cacatnya perawi
1. Hadits Maudlu
Hadits Maudlu’ adalah “Hadits yang dicipta dan dibuat oleh seseorang (pendusta) yang ciptaannya itu di katakan sebagai kata-kata atau perilaku Rasulullah SAW, baik hal tersebut disengaja maupun tidak”
Yang dikatakan sebagai rawi yang berdusta kepasa Rasulullah SAW ialah mereka yang pernah berdusta dalam membuat hadits, walaupun hanya sekali seumur hidupnya. Hadits yang mereka riwayatkan tidak dapat diterima, walaupun mereka telah bertobat.
Para ulama hadits menentukan beberapa ciri-ciri untuk mengetahui ke maudlu an sebuah hadits, diantarannya :
1. adanya pengakuan si pembuat hadits maudlu itu sendiri, pernah seorang ulama menanyakan suatu hadits kepada perawinya dan perawi tersebut mengakui bahwa ia memang menciptakan hadits tersebut untuk suatu keperluan.
2. Adanya indikasi yang memperkuat, misalnya seorang rawi mengaku menerima satu hadits dari seorang tokoh, padahal ia belum pernah bertemu dengan tokoh tersebut, atau tokoh tersebut sudah meninggal sebelum perawi itu lahir.
3. Adanya indikasi dari sisi tingkah laku sang perawi, misalnya diketahui bahwa ada tingkah laku yang menyimpang dari diri sang perawi
4. Adanya pertentang makna hadits dengan Alquran, atau dengan hadits mutawatir, atau dengan ijma’atau dengan akal sehat.
2. Hadits Matruk
Hadits Matruk ialah “Hadits yang menyendiri dalam periwayatan, yang diriwayatkan oleh orang yang tertuduh dusta dalam perhaditsan.”
Yang disebut dengan rawi yang tertuduh dusta ialah seorang rawi yang terkenal dalam pembicaraan sebagai pendusta, namun belum dapat dibuktikan bahwa ia sudah pernahh berdusta dalam membuat hadits.
3. Hadits Munkar
Hadits munkar adalah Ialah “Hadits yang menyendiri dalam periwayatan, yang diriwayatkan oleh orang yang banyak kesalahannya, banyak kelengahannya, atau jelas kefasikannya yang bukan karena dusta.”
Lengah, biasanya terjadi dalam penerimaan hadits, sedangkan banyak salah biasanya terjadi dalam hal menyampaikan hadits. Yang dimaksud dengan fasik ialah kecurangan dalam amal bukan itikad (keyakinan / aqidahnya)
4. Hadits Muálal
Hadits Muálal ialah:
ما اطلع فيه بعد البحث والتبع على وهم وقع لرواته من وصل منقطع او ادخال حديث في حديث او نحو ذلكز
“Hadits yang setelah diadakan penelitian dan penyelidikan, tampak adanya salah sangka dari rawinya, dengan mewashalkan (menganggap bersambung suatu sanad) hadits yang munqathi’ (terputus) atau memasukkan sebuah hadits pada suatu hadits yang lain, atau yang semisal dengan itu.”
Ibnu Hajar al Asqalani menulis:
ما فيه اسباب خفية طرأت عليه فاثرت فيه
” Hadits yang terdapat sebab –sebab yang tidak nyata, yang dating kepadanya lalu menjadi cacat”
Mengetahui hadits mualal ini sangat sulit karena hadits ini tampaknya tidak memiliki cacat tetapi setelah diteliti lebih mendalam terdapat penyakit, penyakit itu kadang terletak pada sanad terkadang juga pada matan
5. Hadits Mudraj
Hadits Mudraj Ialah ;
ما اُدرح في الحديث مما ليس منه على وهم يوهم انه منه
“Hadits yang disadur dengan sesuatu yang bukan hadits atas perkiraan, bahwa saduran itu termasuk hadits”
Misalnya tercampurnya matan (kata-kata dalam hadits) yang tercampur dengan kata-kata si perawi, ini berarti ucapan rasul SAW menjadi bertambah redaksi yakni tersisipi atau tertambah kata-kata si periwayat hadits tersebut.
Contoh:
من مات لا يشرك بالله شيئا دخل الجنةز ومن مات يشرك به شيئا دخل النار
Hadits di atas, setelah diadakan penelitian dengan membandingkn riwayat yang lain, diketahui bahwa kalimat terakhir (ومن مات يشرك به شيئا دخل النار ) adalah kata-kata ibnu mas’ud sendiri.
Mudroj dapat terjadi pada matan ataupun sanad.
6. Hadits Maqlub.
Secara bahasa berarti yang diaplingkan, yang dibalikakkan, yang ditukar, yang diubah, yang terbalik. Secara istilah:
ما وقعت المخالفة فيه بالتقديم وبالتأخير
"hadits yang terjadi padanya mukhalafah (menyalahi hadits lain) dengan cara mendahulukan dan mengakhirkan".
Maksudnya hadits yang didalamnya baik matan atau sanad terjadi kesalahan yang sifatnya terbalik balik, misalnya hadits muslim dari Abu Hurairah berikut ;
"dan seseorang yang bersedekah dengan suatu sedekah yang disembunyikan, hingga tangan kananya tak mengetahui apa yang telah dibelanjakan oleh tangan kirinya."
Hadits ini memiliki kesalahan redaksi dalam matannya ada kata yang terbalik, yakni pada kata "hingga tangan kananya tak mengetahui apa yang telah dibelanjakan oleh tangan kirinya." yang benar ; "hingga tangan kirinya tak mengetahui apa yang telah dibelanjakan oleh tangan kanannya." hal ini diketahui dari hadits hadits lain yang semakna.
Maqlub bias tejadi pada matan ataupun sanad.
7. Hadits Mudltharrib
Secara bahasa Mudltharib berasal dari mashdar idlthirab yang artinya rusaknya sesuatu atau rusaknya keteraturan sesuatu, yang goyang atau yang goncang. Sedangkan menurut istilah para ulama’ ilmu hadits mendifinisikan sebagaimana berikut:
ما روي علي اوجه مجتلفة متدافعة علي التساوي في الاختلاف بحيث لايترجح احداهما على الاخري ولم يمكن الجمع بينهما من راو واحد بان روا مرة علي وجه واخري علي وجه مخالف له او رواه اكثر بان يضطرب فيه راويان فاكثرز
“Hadts yang dsiriwayatkan atas beberapa cara yang berlainan. Yang satu menolak yang lain. Sedangkan dia sederajat dalam perbedaannnya, dalam arti tidak kuat kuat salah satunya atas yang lain. Tidak mungkin dkumpulkan (dikompromikan) antara perawi yang satu dengan perawi yang lain, karena sekali ia meriwayaatkan begini dan sekali ia meriwayatkan begitu yang berlainan dari yang pertama. Atu diriwayatkan oleh lebih dari seorang dan terjadi perbedaan-perbedaan antara dua irang perawi itu atau lebi”.
Yaitu hadits yang terjadi padanya mukhalafah (menyalahi hadits lain) tetapi tidak dapat disimpulkan mana yang benar.
Jadi hadits mudltharib ini adalah sebuah hadits yang diriwayatkan oleh seorang rawi dengan beberapa jalan yang berbeda-beda, yang tidak mungkin dapat dikumpulkan dan ditarjihkan. misalnya hadits berikut :
"Dari Anas r.a. mengabarkan bahwa Rasulullah SAW, Abu Bakar dan Umar r.a. konon sama memulai bacaan shalat dengan bacaan Alhamdulillahirabbil alamin"
Hadits dengan makna seperti ini banyak (dengan lafadz yang berbeda-beda). dan ini bertentangan dengan hadis yang juga bersumber kepada Anas r.a. berikut ;
"Mereka sama mengeraskan bacaan Bismillahirrahmaanirrahiim"
Dengan demikian hadits tersebut adalah hadits mudltharrib tidak dapat dijadikan hujah oleh siapapun.
8. Hadits Muharraf
Muharraf artinya yang dipalingkan atau yang dubah. Yang dimaksud dalam ilmu hadits adalah:
ماوقعت المخالفة فيه بتغيير الشكل في كلمة مع بقاء صررة الخط
“Hadits yang mukhalafahnya (menyalahi hadits lain)terjadi disebabkan karena perubahan syakal kata (tanda baca ; fatah, dlomah, kasroh, dsb), dengan masih tetapnya bentuk tulisan (huruf hijaiyahnya)”.
Misalny akalimat basyir dibaca busyair atau kalimat nashir dibaca nushair, kasus ini terkadang terjadi pada matan maupun sanadnya.
Contoh yang terjadi pada matan ; hadits Jabir ra ; “Ubay (bin kaáb) telah dihujani panah pada perang Ahzab mengenai lengannya, lantas Rasulullah mengobatinya dengan besi hangat.”
Ghandar mentahrifkan hadits tersebut dengan Aby (artinya ; ayahku), padahal yang benar adalah Ubay. Disini terjadi kekeliruan mestinya fathah dibaca dlommah. Kekeliruan Ghandar Menjadi jelas karena apabila dibaca Aby artinya yang terkena panah itu adalah ayah Jabir, padahal ayah Jabir telah meninggal pada perang Uhud yakni perang yang terjadi sebelum perang Ahzab.
9. Hadits Mushahaf.
Mushahaf isim maful dari kata dasar tashif yaitu kekeliruan yang terdapat dalam kertasa yang tertulis(shahifah). Mushahhaf menurut ukama’ hadits adalah:
ما وقعت المخالفة فيه بتغيير النطق في الكلمة مق بقاء صورة الخط
“Hadits yang mukhalafahnya karena perubahan titik kata, sedangkan bentuk tulisannya tidak berubah".
Contoh hadits mushahaf pada matan, ialah hadits Abu Ayyub Al-Anshary ; "Nabi SAW bersabda: siapa yang berpuasa Ramadlan kemudian diikuti dengan puasa 6 hari pada bulan syawal, maka ia seperti puasa sepanjang masa."
Perkataan "sittan" yang artinya enam, oleh Abu Bakar As-Shauly diubah dengan syai-an, yang berarti sedikit. dengan demikian rusaklah makna karenanya.
Mushahaf dalam hadits tersebut terjadi pada matan, kalau terjadi pada sanad disebut dengan mushahaf fis-sanad.
10. Hadits Mubham, majhul dan mastur
Hadits Mubham adalah hadits yang di dalam matan atau sanadnya terdapat seorang (atau rawi) yang tidak jelas identitasnya atau tidak jelas apakah ia laki-laki atau perempuan.
Kesamaran tersebut dapat terjadi karena beberapa sebab ; tidak disebutkan namanya, atau disebutkan sebuah nama tetapi tidak dapat dipastikan juga jenis kelaminnya dari nama tersebut, atau hanya disebut pertalian keluarga seperti ibnun (anak laki-laki), ummun (ibu) dsb yang sebutan-sebutan itu belum menunjuk ke pribadi seseorang. kesamaran ini dapat terjadi pada matan atau sanad.
Berikut adalah contoh hadits mubham pada matan, hadits dari Abdullah bin Amr bin 'Ash r.a. ; "Bahwa seorang laki-laki telah bertanya kepada Rasul SAW, katanya; perbuatan Islam yang manakah yang paling baik? Jawab Nabi ; ialah kamu merangsum makanan dan memberi salam kepada orang yang telah kamu kenal dan yang belum kamu kenal."
Berikut adalah contoh hadits mubham pada sanad, hadits Abu Daud yang diterimanya dari "Hajaj dari seorang laki-lak dari Abu Hurairah r.a. dari Nabi Muhammad SAW. sabda Rasulullah ; Orang mukmin itu adalah orang yang mulia lagi dermawan." dalam hadits itu Hajaj tidak menerangkan nama rawi yang memberikan hadits kepadanya. oleh karena itu sulit sekali untuk menyelidikinya.
Jika nama seorang rawi disebutkan dengan jelas, akan tetapi ternyata ia bukan tergolong orang yang sudah dikenal kadilannya dan tidak ada rawi tsiqah yang meriwayatkan hadits daripadanya,selain seorang saja, maka rawi yang demikian keadaannya disebut dengan Majhulul'ain, dan hadits yang diriwayatkannya disebut dengan Hadits Majhul.
Jika seorang rawi dikenal keadilannya dan kedlabithannya atas dasar periwayatan orang-orang yang tsiqah, akan tetapi penilaian orang-orang tersebut belum mencapai kebulatan suara, maka rawi tersebut dinamai Majhul'lhal, dan hadits yang diriwayatkannya disebut dengan Hadits Mastur.
11. Hadits Syadz dan Mahfudz
Yang dimaksud dengan syadz menurut muhadditsin adalah;
ما رواه المقبول مخالفا من كان ارجح منه لمزيد ضبط او كثرة عدد او غير ذالك من وجوه الترجيحات
“ Hadits yang driwayatkan oleh seorang yang maqbul(tsiqah) menyalahi riwayat orang yang lebih rajih, lantaran mempunyai kelebihan kedlabithan atu banyaknya sanad atau lain sebagnya, dari segi-segi pentarjihan”.
Kejanggalan (Syadz) bias terjad pada sanad ataupun matan.
Sedangkan hadits mahfudz adalah kebalikan dari hadits syadz, yaitu: “ sauatu hadits shahih dan hasan yang diriwayatkan oleh orang kepercyan, tetp menylahi riwayat rawi kepercayaan lain yang kurng kuat”.
12. Hadits Mukhtalith
Hadits mukhtalith menurut muhadditsi adalah;
ما طرأ على الراوي سوء الحفظ لكبر او ضراو احتراق كتبه او عدمها
“Hadits yang rawinya buruk hafalannya, disebabkan sudah lanjut usia, tertimpa bahaya, terbakar atau hilang kitab-kitabnya”.
Hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang seperti itu tidak dapat diterima sebagai hujah. apabila ada hadits yang diriwayatkan oleh seorang rawi yang hafalannya telah buruk karena berusia lanjut atau karena adanya sebab yang lain, maka hadits yang diriwayatkannya tersebut harus ditolak. tetapi hadits-hadits yang diriwayatkannya sebelum keadaan yang membuatnya jadi pelupa, tetap dapat diterima.
b. Macam-Macam hadts dlaif berdasarkan Gugurnya Rawi
1. Hadits Muallaq
Mu’allaq adalah isim mf’ul dari allaqa yang artinya menghububgkan, menguatkan dan menjadikan sebaga sesuatu yang tergantung atau yang digantungkan. Sanad ini 9suatu hadits) diktakan mu’allaq dkarenakan dia hanya ittishal (sambung) dengan bagian dan arah atas, namun terputus dari bagian bawah. Sehingga seolah-olah dia merupakan sesuatu yang tergantung pada atas dn lain-linnya.
Mu’allaq yang dimaksudkan dalam lmu hadits adalah;
الذي يسقط من اول سنده راو فاكثر
“Hadits yang gugur rawinya seorang atau lebh pada awal sanad”
Maksudnya gugur yakni tidak disebutnya nama sang rawi dalam suatu periwayatan hadits. misalnya Imam muslim meriwayatkan suatu hadits sanadnya dari A, dari B dari C. kemudian Imam Buchori meriwayatkan hadits yang sama tapi hanya disebut sanadnya dari A, dari B tidak disebutnya si C. nah hadits yang dikeluarkan oleh Imam Buchory inilah yang disebut hadits Mu'allaq karena Imam menggugurkan seorang rawi dalam sanad hadits tersebut.
Contoh hadits Muallaq adalah:
قال ابو عيسى: وقد روي عن عائشة عن النبي صلى الله عليه وسلم قال: من صلى بعد المغرب عشرين ركعةبنى الله بيتا في الجنة
“ Berkata Abu Isa (Imam turmudzi) dan sesungguhnya telah dirwyatkan dari Aisyah, dari Nabi saw beliau bersabda, “ barang siap shalat sesudah maghrib, dua puluh rkat, Allah akna mendirikan baginya sebuah rumah di surga”.
Kalau diurai gambarn sanad hadits diatasadaah sebagaimana berikut;
a. Abu Isa (imam turmudzi)
b. Aisyah
c. Rasulullah saw.
Imam Turmudzi sebenarnya tidakpernah bertemu dan tidak sezaman dengan aisyah. Jadi antara keduanya ada beberapa orang rawi lagi. Karen tidak disebutkan rawi-rawunya, maka dia gugur, seolah-olah hadits itu tergantung. Untuk itulah disebut dengan hadits Muallaq.
Ada hadits mu'allaq yang dibuang seluruh sanadnya oleh Imam hadits, yakni apabila seorang imam hadits secara langsung mengatakan ; "Rasulullah SAW bersabda,...dst".
Hadits mu'allaq pada prinsipnya digolongkan sebagai hadits dlaif disebabkan karena sanad yang di gugurkan itu tidak dapat diketahui sifat-sifat dan keadaannya secara meyakinkan, baik mengenai kedlabithannya maupun keadilannya, kecuali bila yang digugurkan itu adalah seorang sahabat yang memang sudah tidak diragukan lagi keadilannya.
Namun demikian hadits mu'allaq bisa dianggap sahih bila sanad yang digugurkan itu disebutkan oleh hadits yang bersanad lain. seperti hadits mu'allaq yang terdapat dalam shahih buchory sebanyak 1341 buah. dan dalam shahih muslim sebanyak 3 buah telah disebutkan sanad yang digugurkan oleh Imam Buchory tersebut. Juga harus dihukumi shahih apabila hadits-hadits yang digugurkan sanadnya oleh Imam Bushory tersebut ada pada kitab-kitab hadits lain yang telah dihukumi sebagai hadits sahih, walau harus diberi catatan sebagai hadits yang shahihnya tidak mutlaq atau perlu diadakan penelitian lebih lanjut.
2. Hadits Mursal
Mursal merupkan isim maf’ul dari fil arsala artinya yang dilepaskan. Seolah-olah orang yang melepaskan itu melaflzkan isnad, tetapi dia tidak mau mengikatnya denga perawi yang terkenal.
Dalam istilah ilmu hadits hadits Mursal didefiniskan sebagai berikut:
الذي يسقط من اخر سنده من بعد التابعي
”Hadits yang gugur dari akhir sanadnya, seseorang setelah tabi'iy”.
Maksudnya apabila ada tabiin yang menegaskan tentang apa yang telah dikatakan atau diperintahkan oleh Rasul SAW tanpa menerangkan dari sahabat mana berita itu. diperolehnya. maka hadits tersebut di sebut sebagai hadits mursal.
Contoh hadits mursal:
عن مالك عن عبدالله بن ابي بكر بن حزم ان في الكتاب الذي كتبه رسول الله لعمر بن حزم: انلايمس القران الاطاهر
“Dari malik, dari Abdillah ibn Abi baker ibn hazm, bahwa dalam surat,Rasulullah Saw, menulis kepada Amr ibn Hazm (tersebut), “bahwa tidak menyentuh al qur’an melainkan orang yang bersih”
Secara sederhana susunan sanad rawinya adalah:
a. Malik
b. Abdullah ibn Abi bakar
c. Rasulullah Saw
Abdullah ibn Abi baker dalah seorang tabii, sedangkan seorang tabii tidak semasa dan tidak bertemu denga nabi Muhammad Saw. Jadi seharusnya Abdullah menerima riwayat itu dari orang lain atau sahabat. Karena ia tidak menyebut seorang sahabat atau yang menhabrkan kepadanya itu, tetap ia langsung kepada Rasulullah Sw, maka yang demikian dinamakan mursal.
Hadits mursal terbagi tiga ; mursal jally, mursal shahaby, dan mursal khafy.
a. Mursal Jaly, yaitu bila pengguguran yang telah dilakukan oleh rawi adalah jelas sekali, dapat diketahui oleh umum, bahwa orang yang menggugurkanitu tidak hidup sezaman dengan orang yang digugurkan yang mempunyaiberita.
b. Mursal shahaby yaitu pemberitaan sahabat yang disandarkan kepada Rasul SAW tetapi ia tidak mendengar atau menyaksikan sendiri apa yang ia beritakan, lantaran di saat Rasulullah hidup ia masih kecil atau terakhir masuknya ke dalam Islam.
c. Mursal Khafy ialah hadits yang diriwayatkan oleh tabiiy dimana tabiin yang meriwayatkan hidup sezaman dengan sahabat tetapi ia tidak pernah mendengar sebuah haditspun daripadanya.
Soal berhujah dengan hadits Mursal ini para Ulama berbeda pendapat:
a. Mayoritas muhadditsin menyatakan bahwa hadits mursal tidk dpat dijadikan hujjah, karena telah gugur dari sanad, perwi yang tidak dkenal. Orang yang gugur tersebut boleh jadi tidak kepercayaan.
b. Sebagian ulama’ seper Abu hanifah, malik dan ahmad berhujjah dengan hadits Mursal
c. Ulama’ hanfiah menerim hadits ursal, apabila yang mengirsalkan orang ahli (ulama) pada abad-abad ketiga
d. Imam syafi’I berpendapat bahwa hadits mursal boleh dijadikan hujah dengan syaray dibantu hadts lin yang musnad, atau dibantu oleh hadits mursal yang lain yang musnad, atau dibantu oleh hadits mursal yang lan atau dengan qias.
Sebagian Ulama membatasi hadits mursal itu kepada yang hanya diriwayatkan oleh tabiin besar saja, sedang yang diriwayatkan oleh tabiin kecil disebut hadits munqati. Sebagian Ulama yang lainnya menyamakan keduanya.
3. Hadits Mudallas
Mudallas merupakan isim maf’ul dari tadlis. Tadlis menurut pengerian bahasa adalah menyimpan cela atau cacatnya harta dagangan dari pembel. Sedangkan dalam ilmu hadits didefinisikan sebagai mana berikut:
ما روي علي وجه يوهم انه لا غيب فيه
“ hadits yang diriwayatkan menurut cara yang diperkirakan, bahw ahadits itu tidak ternoda”
Hadits mudallah terdapat dua macam yaitu: Mudallas isnad dan mudallas syuyukh.
a. Mudallas isnad
Yaitu bila seorang rawi yang merwayatkan suatu hadits dari orang yang pernah bertemu dengan dia tetapi rawi tersebut tidak pernah mendengar hadits dari padanya. Agar rawi tersebut dianggap mendengar dari rawi yang digugurkan, ia menggunakan lafadz menyampaikan hadits dengan ‘an fulanin (dari fulan) atau anna fulanan yaqulu (bahwa si Polan berakata).
Contoh:
“diriwayatkan oleh an Nu’man ibn rasyid, dari zuhri dari urwah dari aisyah, bahwasannya rasulullah Saw tidak pernah sekali-kali memulkul seorang perempuan, dan tidak juga seorang pelayan, melainkan jika ia berjihad di jalan allah’.
Kalau diuraikan secara sederhana, maa sanadnay adalah;
1. An Nu’man
2. Zuhri
3. Urwah
4. Aisyah
Dengan kajian sederhana maka sepintas lalu dan melihat susunan sanad, di atas, aka dapat disimpulkan bahwa Zuhri mendengar riwayat di atas dari urwah, karena memang telah biasa Zuhri merwayatkan darinya
Padahal anggapan tersebut keliru, sebab imam Abu Hatim berkata, “Zuhri tidak pernah mendengar hadits di atas dari urwah …’. Hal ini dapat dsimpulkan bahwa di antara Zuhri dan urwah da seorang yang disebut oleh Zuhri.
Karenany riwayat tersebut dia atas disebut dengan Mudallas, tetapi karena kesamarannya terjadi pada sandaran hadits 9isnad0, maka disebut dengan Mudallas Isnad. Ornag yang menyamarkan disebut dengan Mudallis. Perbutan tersebut disebut dengan Tadlis.
Para ulama’ berselish pendapat mengenai hokum berhujjah dengan hadits ini. Kebanyakan ulama’ mencelanya. Para Muhadditsin, Fuqoha’ dan ushuliyun apat menerima hadits mudallas sebagai hujjah , bila diterangkan dengan lafadz yang mewnunjukkan adanya ittishal, sepert sami’tu, haddatsana dan akhbarana.
b. Mudallas Syuyukh.
Yaitu bla seorang rawi meriwayatkan sebuah hadits yang didengarnya dari seorang guru dengan menyebut nama kuniyahnya, nama keturunannya, atau menyifati gurunya denag sifat-sifat yang tidak/belum dikenal oleh orng banyak.Misalnya sepert kata Abu bakar bin mujahid al Muqry:
حدثنا عبد الله بن ابي عبيدالله
“Telah bercerita kedaku ‘Abulah bn abi ubaidilah”
Yang dimaksud dengan Abdullah ni adalah Abu Bakar bin abi Daud As Sijistani.
Mudallas Syuyukh dihukumi hadits dla’if, bila tadlis tersebut dimaksudkan untuk menutupi kelemahan hadits.
c. Mudallas Taswiyah
Yaitu bila seorang rawi meriwayatkan hadits itu dari gurunya yang tsqah, yang oleh guru tersebut diterima dari gurunya yang lemah, dan guru yang lemah ini menerima dari guru yang tsiqh pula. Tetapi si mudallis tersebut meriwayatkannya tanpa menyebutkan rawi-rawi yang lemah, bahkan ia meriwayatkan dengan lafadz yang mengandung pengertian bahw rawinya tsiqqah.
Ini dalah termasuk sejahat-jahtnay tadlis. Dan orang yang melakukan tadlis ini maka lunturlah sifat keadilannya.
4. Hadits Munqathi’
Munqathi’ merupakan isim fal dari inqitah’, lawan kata dari Ittishal, yang artinya hadits yang terputus.
Menurut ahli hadts hadits Munqathi’ adalah :
ما سقط من رواته واحد قبل الصحابي في موضع او سقط في موضعين اثنان لا حال كونما متواليين.
“ Adalah hadits yang gugur seorang perawi sebelum sahabat, di satu tempat atau gugur dua orang pada dua tempat dalam keadaan tidak berturut-turut”.
Misalnya hadits berikut:
“Konon Rasulullah SAW apabila masuk masjid memanjatkan doa ; “Dengan nama Allah, shalawat dan salam atas Rasulullah. Ya Allah ampunilah dosa�]dosaku dan bukalahan rahmat untukku. ”
Sanad hadits tersebut yaitu ; dari Abu Bakar Abi Syaibah, dari Ismail bin Ibrahim, dari Al -Laits, dari Abdullah bin hHasan, dari Fathimah binti Husein, dari Fathimah Az-Zahra (putri Rasul SAW).
Di sanad tersebut terdapat pemutusan yakni rawi sebelum Fathimah Az-Zahra, sebab Fathimah binti Husein tidak pernah bertemu dengan Fathimah Az-Zahra yang telah wafat sebulan setelah Rasul SAW wafat.
Inqitha’ ada kalanya:
1. dengan jelas sekali, bahwa si raw yang meriwayatkan hadits dapatdiketahui tidak sezaman dengan guru yang memberikan hadits padanya atau ia hidup sezaman enga gurunya tetapi tidak mendapt ijzah (periznan) untuk meriwayatkan haditsnya.
2. Dengan samara-samar, yang hany dapat diketahui oleh orang yang punya keahlian saja.
3. Dketahuinya dari jurusan lain, dengan adanya kelebihan seorang rawi atau lebh dalam hadits riwayat orang lan.
Hadits Munqathi’ tidak dapat digunakan sebagai Hujah.
5. Hadits Mu’dlal
Mu’dlal merupakan isim maf’ul dari a’dlala. Yang artinya memayahkan, atau memberatkan, atau tempat melemahkan
Mu’dlal menurut imu hadits adalah;
ما سقط من رواته اثنان او اكثر على التوالي سواء سقط الصحابي والتابعي او التابغعي وتابعهاو اثنان قبلها.
“Hadits yang gugur rawinyrawinya, dua orang tau lebih, berturut-turut, bak sahabat bersama tabi’iy, tabi’iy bersama tabi’it tabin, maupun dua orang sebelum shahaby”.

KLASIFIKASI HADITS BERDASARKAN KUALITAS SANAD






BAB VI
PEMBAGIAN HADITS
MENURUT SANDARANNYA
Hadits menurut sandarannya terbagi menjadi dua, yaitu maqbul (diterima) dan mardud (ditolak). Dan berdasarkan pembagian ini terbagi lagi menjadi empat macam, yaitu :
1. Hadits Qudsi
2. Hadits Marfu’
3. Hadits Mauquf
4. Hadits Maqthu’
1. HADIS QUDSI
a. Pengertian Hadis Qudsi
Secara terminologi hadis qudsi adalah :
هومانقل اليناعن النبي صل الله عليه وسلم مع اسناده اياه الى ربه عزوجل
Yaitu hadis yang diriwayatkan kepada kita dari Nabi SAW yang disandarkan oleh beliau kepada Allah SWT.
Atau :
كل حديث يضيف فيه الرسول صل الله عليه وسلم قولا الى الله عزوجل.
Setiap hadis yang disandarkan Rasulullah SAW perkataannya kepada Allah Azza wa Jalla
Definisi tersebut menjelaskan bahwa hadis Qudsi itu adalah perkataan yang bersumber dari Rasulullah SAW, namun disandarkan beliau kepada Allah SWT. Akan tetapi, meskipun itu perkataan atau firman Allah, hadis Qudsi bukanlah al-Quran.
b. Perbedaan antara Hadis Qudsiy dan al-Quran
Antara al-Quran dan Hadis Qudsiy terdapat beberapa perbedaan, yaitu :
1. Al-Quran lafaz dan maknanya berasal dari Allah SWT. Sedangkan hadis Qudsi maknanya berasal dari Allah SWT, sementara lafaznya dari Rasulullah SAW
2. Al-Quran hukum membacanya adalah ibadah, sedangkan hadis Qudsi membacanya tidak dihukumi ibadah
3. Periwayatan dan keberadaan al-Quran disyaratkan harus mutawatir, sementra hadis Qudsi periwayatannya tidak disyaratkan mutawatir
4. Al-Quran adalah mukjizat dan terpelihara dari terjadinya perubahan dan pertukaran serta tidak boleh diriwayatkan secara makna. Sedangkan hadis Qudsi bukanlah mukjizat, dan lafaz serta susunan kalimatnya bisa saja berubah, karena dimungkinkan untuk diriwayatkan secara makna
5. Al-Quran dibaca di dalam shalat sedangkan hadis qudsi tidak
c. Perbedaan antara Hadis Qudsi dengan Hadis Nabawi
Berdasarkan pengertian dan criteria yang dimilki hadis Qudsi, terdapat perbedaan antara hadis Qudsi dan hadis Nabawi, yaitu :
Bahwa Hadis Qudsi, nisbah atau pebangsaannya adalah kepada Allah SWT, dan Rasulullah berfungsi sebagai yang menceritakan atau meriwayatkannya dari Allah SWT. Oleh karena itu, dihubungkanlah hadis tersebut dengan al-Quds (maka dinamai Hadis Qudsi), atau dengan al-Ila (maka dinamai Hadis Ilahi)
Sedangkan Hadis Nabawi, nisbah atau pebangsaannya adalah kepada Nabi SAW dan sekaligus peiwayatannya adalah dari beliau.
عن أبي ذ ررضي الله عنه عن النبي صلى الله عليه وسلم فيما روي عن الله تبا رك وتعا لى انه قال : ياعبادي اني حرمت الظلم على نفسي و جعلته بينكم محرما فلا تظالموا.
“Dari Abi Dzar r.a, dari Nabi SAW menurut apa yang diriwaytkan beliau dari Allah SWT, bahwasanya Dia berfirman ," wahai hamba-Ku, sesungguhnya Aku mengharapkan berbuat aniyaya atas diri-Ku dan Aku jadikan kezaliman itu diantar kamu sebagai perbuatan yang haram, maka oleh karena itu jangan lah kamu saling berbuat aniaya”.
d. Lafadz-lafadz hadis Qudsi
Di dalam meriwayatkan hadis Qudsi, ada dua lafaz yang digunakan, yaitu :
قال رسول الله صلي الله عليه وسلم فيما يرويه عن ربه عز وجل.
Bersabda Rasulullah SAW menurut apa yang diriwayatkan beliau dari Allah SWT
قال الله تعالي , فيما رواه عنه رسول الله صلي الله عليه وسلم .
Berfirman Allah SWT menurut yang diriwayatkan dari padaNya oleh Rasulullah SAW.
2. HADIS MARFU'
a. Pengertian Hadis Marfu'
Hadis Marfu' adalah :
مااضيف الى النبي صلى الله عليه وسلم من قول او فعل اوتقريرأوصفة.
Segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW berupa perkataan , perbuatan, taqrir (ketetapan) atau sifat.
Dari definisi di atas dapat difahami bahwa segala sesuatu yang disandarkan kepada Rasulullah SAW, baik perkataan, perbuatan, taqrir, ataupun sifat beliau disebut dengan hadis Marfu'. Orang yang menyandarkan itu boleh jadi Sahabat, atau selain sahabat. Dengan demikian, sanad dari hadis Marfu' ini bisa Muthasil, bisa pula Munqathi, Mursal, atau Mu'dhal dan Mu'allaq.
b. Hukum Hadis Marfu'
Hukum hadis Marfu' tergantung pada kwalitas dan bersambung atau tidaknya sanad, sehingga dengan demikian memungkinkan suatu hadis Marfu' itu berstatus shahi, hasan, atau dhaif.
3. HADIS MAUQUF
a. Pengertian Hadis Mauquf
Beberapa ulama hadis memberikan terminology hadis Mauquf sebagai berikut :
هوما رواه عن الصحابي من قول له أو فعل أو تقرير , متصلا كان أو منقطعا.
Yaitu segala sesuatu yang diriwayatkan dari sahabat dalam bentuk perkataan, perbuatan, atau taqrir beliau, baik sanadnya muttashil atau munqathi.
ما أضيف الى الصحا بي من قول أو فعل أو تقو ير.
Sesuatu yang disandarkan kepada sahabat berupa perkataan, perbuatan, atupun taqrir beliau.
Dari beberapa definisi diatas dapat disimpulkan bahwa segala sesuatu yang diriwayatkan atau dihubungkan kepada seorang sahabat atau sejumlah sahabat baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir, disebut hadis mauquf, dan sanad hadis mauquf tersebut boleh jadi muttashil atau munqathi.
Contoh hadis mauquf :
قول البخاري : قال علي بن أبي طا لب رضي الله عنه : حدثوا الناس بما يعر فون, أ تريدون ان يكذب الله ورسوله.
Bukhari berkata, "Ali r.a berkata, bicaralah dengan manusia tentang apa yang diketahui/difahaminya, apakah kamu ingin bahwa Allah dan Rasul-Nya didustai."
قول البخاري : وأم أنُِِِ عَباس وهوميمم.
Bukhari berkata, "dan Ibnu Abas telah menjadi imam dalam shlat sedangkan dia bertayamum."
Para Fuqoha Khurasan menamai hadis mauquf dengan atsar, dan hadis marfu dengan khabar. Namun para ahli hadis menamai keduanya dengan atsar. Karena atsar pada dasarnya berarti riwayat atau sesuatu yang diriwayatkan.
b. Hadis Mauquf yang berstatus Marfu'
Diantara hadis mauquf terdapat hadis yang lafadz dan bentuknya mauquf, namun setelah dicermati hakikatnya bermakna marfu', yaitu berhubungan dengan Rasul SAW. Hadis yang demikian dinamai oleh para ulama hadisdengan al-Mauquf lafdzhan al-Marfu' ma'nan,yaitu secara lafaz berstatus mauquf, namun secar mkana bersifat marfu'
c. Hukum hadis Mauquf
Apabila suatu hadis mauquf berstatus hukum marfu sebagaimana yang dijelaskan diatas, dan berkwalitas shahih atau hasan, maka ststus hukumnyapun sama dengan hadis marfu itu.
Akan tetapi jika tidak berstatus marfu, maka para ulama hadis berbeda pendapat tentang kehujahannya.
4. HADIS MAQTHU'
a. Pengertian Hadis Mqthu'
secara terminology hadis maqthu' adalah :
وهو الموقوف التابعي قولا له أوفعلا.
Yaitu sesuatau yang terhenti (sampai)pada Tabii baik perkataan maupun perbuatan tabi'i tersebut.
ماأضيف الى التابعي أو من دونه من قول أوفعل .
Sesuatu yang disandarkan kepada tabi'i atau generasi yang datang sesudahnya berupa perkataan atau perbuatan.
Hadis Maqthu tidak sama dengan munqhati, karena maqthu adalah sifat dari matan, yaitu berupa perkataan Tabi'in atau Tabi at-Tabi'in, sementar munqathi adalah sifat dari sanad, yaitu terjadinya keterputusan sanad.
b. Contoh Hadis Maqthu'
قول الحسن البصري في الصلاة خلف المبتدع : صل وعليه بد عته.
Perkataan Hasan Bashri mengenai shalat di belakang ahli bid'ah" Shlatlah dan dia akan menanggung dosa atas perbuatan bid'ahnya"
c. Status Hukum Hadis Maqthu'
Hadis Maqthu' tidak dapat dijadiakan sebagai hujjah atau dalil untuk menetapkan suatu hukum, karena status dari perkataan Tabi'in sama dengan perkataan Ulama lainnya.
SKEMA 3 – KLASIFIKASI HADITS BERDASARKAN PENYANDARANNYA

Category:

2 komentar:

zaky farhan mengatakan...

terima kasih banget
aq dah nengcofi materi mustholah hadits
mudah2an bermanfaat
sukses slalu
allahu akbar 3 X

Anonim mengatakan...

syukron Katsiron ya shohibi,,,,barakallah fi umrik

Posting Komentar

silahkan kritik dan saran

القرآن الكريم