Photobucket
http://i775.photobucket.com/albums/yy38/HUDA_021/cooltext457733964.png

- KUMPULAN PIDATO

MENCIPTAKAN GENERASI YANG BERKUALITAS
DENGAN PENDIDIKAN KEPRAMUKAAN


Dewan juri yang saya hormati,
teman-temanku senasib seperjungan yang saya banggakan.

Hakekat dasar pendidikan kepramukaan adalah meningkatkan penghayatan dan pengamalan nilai-nilai kepramukaan yakni Satya dan Darma pramuka kepada peserta didik, sehingga mereka dapat dipersiapkan menjadi kader pimpinan bangsa yang tangguh pada masa depan.

Didalam pramuka kita juga mengenal kegiatan yang bersifat menarik, menyenagkan dan menantang. Hal ini dimaksudkan agar kegiatan-kegiatan yang di adakan lebih hidup dan mengakomodasi kebutuhan mental mereka, mengingat Kepramukaan adalah sebagai Komplemen pendidikan diluar sekolah.

Dari latar belakang tersebut, dalam kesempatan ini saya akan menyampaikan suatu pidato dengan tema “MENCIPTAKAN GENERASI YANG BERKUALITAS DENGAN PENDIDIKAN KEPRAMUKAAN”.

Dewan juri yang terhormat, serta teman-teman seperjungan yang saya cintai,

Pada tanggal 20 Mei 1961, lewat keppresnya no. 238 presiden soekarno menetapkan bahwa : Gerakan Pramuka sebagai satu-satunya organisasi kepanduan yang ditugaskan menyelenggarakan pendidikan kepanduan bagi anak-anak dan pemuda Indonesia.

Hal ini dikarenakan gerakan kepramukaan merupakan satu wadah dimana hampir 60 organisasi kepanduan meleburkan diri di dalamnya. Sehingga dengan lahirnya GP ini, merupakan tonggak terjalinya persatuan dan kesatuan bengsa, serta sebagai satu-satunya wadah yang menyelenggarakan berbagai program pendidikan kepanduan, untuk membentuk kepribadian, watak dan pekerti generasi muda yang mampu menjawab tantangan bangsa dan negara pada masa depan.

Mengingat sejarah tadi, Sangatlah tepat bila kita sekalian memilih Gerakan Pramuka sebagai kegiatan ekstra kurikuler di luar sekolah, karena jika mengikuti kegiatan pendidikan formal di sekolah saja, telah dapat dipastikan, apa yang akan kita peroleh tidak akan optimal, terutama jika dikaitkan dengan pengenalan terhadap alam lingkungan serta penguasaan terhadap pelbagai keterampilan, yang diakui bersifat komplek dan luas.

Disamping itu, Saya merasakan sendiri, ternyata pendidikan kepramukaan memberikan manfaat yang sangat besar bagi kehidupan saya. Saya belajar berorganisasi, kepemimpinan, kemandirian, percaya diri, hormat terhadap sesama, patuh dan santun terhadap orang tua, jujur, bertanggung jawab, dapat dipercaya, amanah serta taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Karena itulah, saya mengajak teman-teman sekalian, generasi muda Indonesia, untuk bergabung serta aktif menjadi anggota Gerakan Pramuka.
Jangan Sampai generasi pramuka menjadi seperti apa yang ada dalam sebuah syair :
إِنَّ الشَّبَابَ وَالْفَرَاغَ وَالْجِدَةْ * مُفْسِدَةٌ لِلْمَرْءِ أَيَّ مَفْسَدَةْ
“ Sesungguhnya masa muda, waktu luang dan kekayaan,
dapat menjadi perusak yang fatal pada diri seseorang.”
Mereka adalah orang yang selalu mengumbar keinginan, cenderung kepada hal-hal yang merugikan dan merusak. Seperti bermain tanpa mengenal waktu, bergurau berlebihan, begadang yang membuat terbengkalai waktu shalat. Yang lebih parah, mereka mulai terjerumus dalam pergaulan bebas, eksperimentasi narkoba dan minum minuman keras, Mâsyâ Allâh...

Kepada kakak-kakak sekalian, baik sebagai pembimbing, pengurus, andalan, pembina, pelatih, pamong dan/ataupun instruktur Gerakan Pramuka, dimanapun berada, mari kita bulatkan tekad untuk terus melakukan langkah-langkah perbaikan yang nyata, sehingga eksistensi dan fungsi Gerakan Pramuka dapat terus dipertahankan, dan bahkan makin ditingkatkan di tanah air.
Di dalam system pendidikan kepramukaan, juga terdapat konsep “system Among”, Ketegasan system ini tampak dalam bentuk kalimat sederhana :

Ing ngarso sing tulodho maksudnya di depan menjadi teladan
Ing madyo mangun karso maksudnya di tengah membangun kemauan
Tut wuri handayani artinya di belakang memberi motivasi

Diharapkan dengan system ini, dimanapun dan sebagai apapun kader pramuka, dia akan mampu bersikap dan memposisikan diri. Dia akan selalu mawas diri dan tahu diri apa yang harus dilakukan untuk nusa, bangsa dan agamanya.
إِنَّ فِي يَدِ الشُّبَّانِ أَمْرَ اْلأُمَّةِ، وَفِي إِقْدَامِهِمْ حَيَاتَهَا
Sesungguhnya di tangan pemuda urusan ummat, dan di langkah pemuda hidupnya umat.
Akhirnya semoga kita semua senantiasa mendapatkan ridho Tuhan Yang Maha Kuasa.


Bahasa Inggris

Dear the jury and my friends as the same struggle whom I love.

On May 20, 1961, through of presidential degree no. 238 President Sukarno ruled that: Scout Movement as the only scouting organization that assigned scouting education for children and young people of Indonesia.

This is because the scouting movement is the one place where almost 60 scouting organizations merged in it. So with the birth of the scout movement, was a milestone in the involvement of unity and cohesion of the nation, as well as the only container that held a variety of educational programs of scouting, to form the personality, temperament and character of young generation that is able to answer the challenges of nation and state in the future.

Given this history, is very appropriate when we all choose the Scout Movement as extra-curricular activities outside of school, because if you follow the formal education activities at school, has been confirmed, what will we get will not be optimal, especially if associated with the introduction of natural environment and the mastery of various skills, which are recognized are complex and extensive.

Besides that, I felt alone, apparently scouting education provides a huge benefit for my life. I learned the organizational, leadership, independence, confidence, and respect for others, obedient and well mannered towards parents, honest, responsible, reliable, and trustworthy piety to God Almighty. Because of that, I invite all friends, the young generation of Indonesia, to join and become active members of the Scout Movement.

Dear the jury and my friends as the same struggle whom I love.

Don’t ever happen; generation of scouts become like what is in this a poem:
إِنَّ الشَّبَابَ وَالْفَرَاغَ وَالْجِدَةْ * مُفْسِدَةٌ لِلْمَرْءِ أَيَّ مَفْسَدَةْ
“Indeed youth, leisure and wealth can be a destroyer of the fatal in a person”

They are the ones who always want to waste, tend to things that are harmful and destructive. Like to play without knowing the time, joking exaggeration, that make staying dormant time of prayer. Worse, they began to fall into promiscuity, drug experimentation and drink, Masya Allah...

To the brothers and gentlemen, whether as mentors, administrators, pledge, builder, coach, tutor and / or a Scout instructors, wherever located, let's round it off determination to continue to take steps to repair the concrete, so the existence and function of the Scout Movement can continue to be maintained, and even more enhanced in the homeland.
Scouting in the education system, there is also the concept of "Among the system", Assertiveness this system appears in the form of simple sentences:
Ing ngarso sing tulodho means in front to be a role model
Ing madyo mangun karso means in the middle to be willingness
Tut wuri handayani means provide the motivation behind

Expected with this system, wherever and as a cadre of any scout, he will be able to behave and position ourselves. He will always be introspective and know yourself what to do for the homeland, nation and religion.

إِنَّ فِي يَدِ الشُّبَّانِ أَمْرَ اْلأُمَّةِ، وَفِي إِقْدَامِهِمْ حَيَاتَهَا
“Indeed in the hands of youth affairs of mankind, and in the steps of his life young people.
Eventually, we hope we are all always getting a blessing from God Almighty”

PUASA ROMADHON MOMEN PENGENDALIAN DIRI
Di sampaikan oleh :
Delegasi MTs.”Darul Huda” Mayak Tonatan Ponorogo


Sungguh suatu kebahagiaan dan anugerah yang agung dari Allah SWT, yang telah mempertemukan kita kembali dengan bulan suci Ramadhan.Bulan yang penuh hikmah, berkah dan maghfiroh. Marhaban ya Romadhan, Marhaban ya syahrasshiyam, I love you full.


Pada bulan Ramadhan yang mulia ini, semua umat Islam khususnya orang-orang yang beriman mendapat seruan dari Allah SWT, untuk menjalankan salah satu kewajiban beribadah, yaitu puasa Ramadhan selama satu bulan, sebagai manifestasi keIslaman seseorang untuk menjalankan rukun Islam yang ke empat.Sebagaimana firman Allah SWT dalam Al-Qur`an surah Al-Baqarah ayat 183 :


“Hai orang-orang yang beriman, telah diwajibkan untukmu berpuasa, sebagaimana telah di wajibkan kepada orang-orang sebelum kamu, agar kamu bertaqwa.”

Abdullah Bin Mas`ud sahabat Nabi, sekaligus ahli tafsir yang terkenal, mengatakan bahwa: “Apabila suatu ayat di mulai dengan panggilan “ “ Hai orang-orang yang beriman”. pasti mengandung perintah, larangan, atau peringatan yang sangat penting.Karena yang bersedia dan sanggup memikul serta menjunjung tinggi perintah Allah itu hanya orang-orang yang beriman”.Potensi inilah yang akan menghantarkan manusia lebih unggul dari makhluk lainnya.Senantiasa menjalankan perintahNya, dan menjauhi larangan-laranganNya.
Puasa secara bahasa berarti shoum, yang artinya “menahan”.Sedangkan menurut pengertian syar`i : puasa berarti menahan diri dari hal-hal yang dapat membatalkannya, mulai dari terbit fajar sampai terbenam matahari.Sejarah telah membuktikan bahwa puasa Romadhan telah di syari`atkan mulai tahun ke-2 Hijriyyah, yang berarti Nabi Muhammad SAW telah melaksanakannya sembilan kali.

Banyak sekali hikmah yang dapat kita petik dari keistimewaan bulan suci Ramadhan ini, di antaranya adalah :
Pada bulan ini, Allah SWT membuka pintu surga, menutup pintu neraka, dan membelenggu para syaithon.Dengan demikian kaum muslimin diberi kesempatan beramal shaleh sebanyak-banyaknya.Mengapa demikian?...Kerena amalan sunnah pada bulan ini pahalanya seperti ibadah wajib, dan amalan wajib pahalanya di lipatgandakan mejadi 700 kali lipat bahkan lebih.”Subhanallah”.
Sungguh ironis, manakala pintu surga yang jelas terbuka lebar, sementara ia “enjoy aja” tidak merespon dan berusaha, bagaimana bisa masuk ke dalamnya.Namun yang lebih ironis lagi, manakala pintu neraka yang jelas di tutup rapat, justru ia sengaja mengetuk dan ingin masuk ke dalamnya.Sengaja tidak berpuasa, menuruti hawa nafsu dan melakukan maksiat semaunya.Na`udzubillahi min dzalik tsumma na`udzubillah.
Bulan Ramadhan adalah bulan perjuangan.Yaitu berjuang melawan dan mengendalikan hawa nafsu, baik nafsu ammarah maupun nafsu lawwamah, dalam rangka mencapai derajat nafsu muthmainnah.
Suatu hari dalam sebuah perjalanan pulang, Nabi Muhammad SAW bersabda :



“Kita baru saja pulang dari jihad kecil, dan kini akan menghadapi jihad akbar.” Sahabat bertanya.”Apakah jihad akbar itu ya Rasulallah?...Beliau menjawab.”Jihad melawan hawa nafsu.”(yaitu puasa bulan Ramadhan)

Para ulama mengatakan bahwa nafsu merupakan pangkal dari semua kejahatan, dan pangkal perbuatan untuk mendurhakai perintah Allah.Karena nafsu merupakan kendaraan VIVnya syaiton, dalam misi utamanya melumpuhkan keimanan dan menyesatkan manusia. Yang endingnya ingin menggiring dan mentransfer manusia ke dalam jurang neraka.Na`udzubillahi minassyaithonirrojim.
Al-Bushiri, seorang sufi, pengarang Qashidah Burdah mengibaratkan nafsu bagaikan seorang bayi, bila terus di susui tanpa di sapih ia akan terus bergantung pada ASI ibunya.Tetapi bila bayi itu di sapih, maka ia akan tumbuh sehat tanpa bergantung pada ibunya lagi.Hal ini memberikan sinyalemen kepada kita, bahwa manakala nafsu selalu diberi kesempatan, maka ia akan semakin manja, bahkan berani menentang aturan Agama, bahkan menghalalkan segala cara demi menuruti hawa nafsunya.
Bulan Romadhan adalah “kawah condrodimuko”, momen yang sangat tepat untuk mengadakan gemblengan rohani dan melatih diri, dalam upaya mengendalikan nafsu yang senantiasa di jadikan sarana oleh syaithon menyelinap “bagaikan musuh dalam selimut”.Sesuai dari inti ibadah puasa adalah pengendalian diri, pengendalian diri membutuhkan perjuangan, perjuangan membutuhkan pengorbanan dan kesabaran.
Semoga kita senantiasa di bimbing oleh Allah SWT, untuk meraih hakikat Romadhan kali ini dengan khusuk, dan penuh kesabaran, serta dapat menghiasi diri dengan keutamaan-keutamaannya, yang muaranya adalah dapat meraih predikat ”Muttaqin”, sebagai bekal menata dan membentengi diri dalam mengarungi kehidupan sehari-hari.Amin Ya Robbal `Alamin.

Demikian pidato yang dapat saya uraikan, terimakasih atas segala perhatian, mohon ma`af atas segala kekurangan.



ROMADHAN BULAN SOLIDARITAS
Di sampaikan oleh :
Delegasi MTs.”Darul Huda” Mayak Tonatan Ponorogo



Allah SWT menjadikan bulan Ramadhan sebagai bulan pembaharuan akhlak, untuk memulai kehidupan yang baru, suasana yang baru, dan kondisi ruhaniah yang baru, yang startnya adalah bulan Ramadhan.Tiada ungkapan yang paling tepat di ucapkan bagi orang-orang yang sedang menjalankan ibadah puasa kecuali lafadz ”Selamat menempuh hidup baru”.Semoga dapat meraih Rahmat, Maghfiroh, dan di bebaskan dari api nerakaNya.Allahumma Amin.
Islam sebagai Agama ”Rohmatal lil `alamin”, memberikan suport yang kuat kepada pemeluknya, agar senantiasa membangun interaksi sosial terhadap sesama.Yaitu interaksi yang di dasari rasa kasih sayang, persaudaraan, persahabatan, saling menghormati dan menghargai, tolong menolong meringankan beban, dan saling menasehati dalam mengingatkan keimanan dan ketakwaan.Sebagaimana fiman Allah dalam Al-Qur`an :



”Tolong menolonglah kamu dalam kebaikan dan taqwa, dan janganlah tolong menolong dalam dosa dan permusuhan”.

Bulan Ramadhan adalah momen yang tepat untuk melatih dan mengembalikan kesadaran diri, kembali kepada fitrah manusia yang sensitif dan peka terhadap dirinya sendiri dan lingkungannya.Dengan demikian ia akan senantiasa introspeksi diri serta sanggup memproklamirkan diri bahwa ”saya hanyalah hamba Allah” dengan penuh ketawadhuan.Sehingga ia akan terhindar dari sifat takabur yang selalu mengatakan ”saya adalah” bak pahlawan kesiangan dengan penuh keangkuhan dan kesombongan.Na`udzubillah min dzalik tsumma na`dzubillah.
Bulan Ramadhan adalah bulan yang mengajarkan nilai-nilai ibadah, shingga terwujudnya keseimbangan antara cinta kepada Allah dancinta kepada manusia.Demikian juga nialai-nilai ibadah puasa tidak hanya terjalinnya hubungan yang semakin dekat kepada Allah SWT, tetapi juga semakin dekat kepada sesamanya.
Mengingat dan merasakan penderitaan orang lain, seperti lapar dan dahaga, merupakan pengalaman kepada kita, bagaimana beratnya penderitaan yang dirasakan orang lain.Sebab pengalaman lapar dan haus yang kita rasakan hanya sesaat dan akan segera berakhir manakala waktu maghrib telah tiba, sementara penderitaan orang lain entah sampai kapan akan berakhir.
Dari sinilah, mestinya puasa akan menumbuhkan dan memantapkan rasa solidaritas kita kepada kaum muslimin lainnya, yang hingga kini sedang mengalami kesulitan dan penderitaan.Puasa merupakan tradisi keagamaan yang memiliki makna universal harus kita jadikan energi positif bagi menguatnya pemahaman multikultural yang dimotifasi nilai-nilai Robbaniyyah (keTuhanan) dan Insaniyyah (kemanusiaan).
Oleh karena itu, sebagai simbol rasa solidaritas antar sesama, dapat kita manifestasikan dalam bentuk infaq, shadaqoh, zakat fitrah, zakat mal dan lain-lainnya.Dalam skala harian, solidaritas dapat kita wujudkan seperti: memberi makanan dan minuman untuk berbuka puasa kepada saudara-saudara kita yang kurang mampu.Sebagaimana Nabi Muhammad SAW bersabda :

”Barang siapa yang membuat kenyang orang-orang yang berpuasa, Allah SWT akan memberinya minum dari telagaku, yang apabila ia minum satu kali saja dari minuman tersebut, ia tidak akan kehausan sampai masuk surga.”

Menunaikan zakat pada bulan Ramadhan, selain dapat menyempurnakan ibadah puasa, juga dapat membantu meringankan beban sesama, dan merupakan sarana pembersih harta yang kita miliki, yang pada hakekatnya milik Allah SWT, yang kapanpun, dimanapun, dan dalam kondisi apapun siap di kembalikan kepada sang pemiliknya,yaitu Allah SWT.
Makin sering seseorang beribadah bersama, maka ia akan semakin mengenal siapa saja yang ada di sekitarnya, kemudian ia akan semakin tahu apa yang di butuhkan orang-orang yang ada di sekelilingnya, akhirnya akan tumbuh benih-benih kepekaan sosial, serta memiliki rasa ingin berbagi rasa, dan terciptalah kebersamaan ukhwah Islamiyah yang kokoh.Nilai-nilai mulia itu dapat kita raih dari kemulyaan bulan suci Ramadhan.
Semoga kita semua dapat menjalankan ibadah puasa dan dapat meraih hakikat puasa Romadhan kali ini dengan penuh hikmad dan kesabaran, serta dapat menanamkan nilai-nilai Romadhan dalam kehidupan sehari-hari.Amin Ya Robbal `Alamin.

Demikian pidato yang dapat saya uraikan, terimakasih atas segala perhatian, mohon ma`af atas segala kekurangan.


AL-QUR`AN SEBAGAI PETUNJUK
DAN PROBLEM SOLVING DALAM KEHIDUPAN
Di sampaikan oleh :
Delegasi MTs.”Darul Huda” Mayak Tonatan Ponorogo

Tiada kata dan kalimat yang pantas kita lafalhkan pada kesempatan kali ini, kecuali bersyukur kehadirat Allah SWT, dimana saat ini kita di himpun dan terhimpun di majlis ta`lim Masjid Ulin Nuha STAIN Ponorogo yang megah dan mulia ini, dalam rangka mengikuti musabaqoh pidato menyambut kehadiran tamu agung, yaitu puasa Romadhan.Semoga pertemuan kita saat ini di catat oleh Allah menjadi amalan shalihan maqbulan.Amin Ya Robbal `Alamin.
Bulan Romadhan adalah bulan yang banyak sekali keistimewaan di dalamnya.Mulai dari puasa itu sendiri, shalat tarawih, tadarus Al-Qur`an, malam lailatul qodar dan masih banyak hikmah-hikmah yang lainnya.Bulan Romadhan juga bulan di turunkannya Al-Qur`an, yang juga disebut ”Nuzulul Qur`an”.Sebagaimana di jelaskan dalam Al-Qur`an surat Al-Baqoroh :185



”Bulan Ramadhan adalah bulan yang di dalamnya di turunkan Al-Qur`an, sebagai petunjuk bagi manusia, dan pembeda antara yang hak dan yang bathil”

Ayat di atas menjelaskan bahwa kehebatan dan keistimewaan Al-Qur`an itu luar biasa bagi kehidupan manusia.Coba bayangkan! Andaikan Al-Qur`an tidak di turunkan oleh Allah sebagai pedoman hidup manusia, maka kehancuran dan kemaksiatan akan merajalela.Mengapa demikian? Karena manusia sudah tidak bisa membedakan antara yang hak dan yang bathil, mana yang salah dan mana yang benar, mana yang halal dan mana yang benar, mana yang di perintah dan mana yang di larang.
Oleh karena itu, jika kita ingin menjadi orang-orang yang selamat dunia dan akhirat, maka jadikanlah Al-Qur`an panutan, pedoman dan sandaran dalam kehidupan sehari-hari.Karena Al-Qur`an sebagai wahyu Allah merupakan sumber dari segala sumber hukum, sebagai petunjuk hidup dan sebagai obat atau penyembuh terutama bagi orang-orang yang sakit rohaninya.
Kekuatan dan kemurnian Al-Qur`an pun luar biasa, dimana sampai saat ini dan sampai kapanpun tidak akan ada yang mampu menyerupai bahkan menandingi kesempurnaan Al-Qur`an, dari segi apapun. Sebagaimana di jelaskan Allah dalam Al-Qur`an :



”Sesungguhnya Kami yang menurunkan Al-Qur`an, dan Kami jugalah yang akan memeliharanya.”

Namun ironisnya kita yang mengaku umat Islam yang mempunyai petunjuk dan pedoman kitab suci Al-Qur`an, jangankan mengaji atau mengkaji Al-Qur`an, membacanyapun jarang sekali bahkan tidak pernah.Ketika sehari saja tidak membaca koran bingungnya tidak karuan.Tetapi manakala tidak membaca Al-Qur`an ”enjoy aja” tanpa beban.”Sungguh memilukan dan menyedihkan”
Maka dari itu melalui momen Ramadhan kali ini, dan tanggungjawab kita bersama untuk mengembalikan sifat ”handarbeni” kita terhadap Al-Qur`an, dan menumbukan benih-benih kecintaan serta menanamkan nilai-nilai unggul yang terkandung di dalamnya.Mari kita tanamkan rasa rindu kita terhadap Al-Qur`an, mari kita kaji, kita baca dengan penuh kecintaan bak surat cinta yang datang menghampiri kita.
Coba kita bayangkan! ketika kita sedang membaca surat cinta dari seorang kekasih, yang kita cintai dan kita sayangi, sungguh begitu senang dan gembiranya kita, berulang kali kita baca dengan suka cita, tanpa ada rasa bosan, bahkan tersenyum sendiri tanpa malu walaupun dilihat orang.Tapi mengapa? Di saat membaca surat cinta dari Sang Kholiq yaitu Al-Qur`anul Karim, kita hanya membaca dengan bla...bla...bla...tanpa kita resapi dan kita hayati sama sekali.Pantas kehidupan kita terseok-seok tanpa ada tujuan yang jelas dan nyata.
Oleh karena itu, melalui momen Ramadhan ini, marilah kita kembalikan kesadaran diri dengan senantiasa berpegang teguh kepada Al-Qur`anul Karim, sebagai problem solving dalam menyelesaikan permasalahan dalam kehidupan sehari-hari, dengan harapan semoga kita senantiasa mendapat hidayah dan bimbimbingan langsung dari Allah SWT, melalui nilai-nilai mulia yang terkandung dalam Al-Qur`an.Amin Ya Robbal `Alamin.

Demikian pidato yang dapt saya sampaikan, terimakasih atas segala perhatian, mohon maaf atas segala kekurangan.

Category: 0 komentar

- PESANTREN TRADISIONAL DI TENGAH TANTANGAN MODERNISASI

PESANTREN TRADISIONAL DI TENGAH TANTANGAN MODERNISASI
Oleh: KH. Abdus Sami’ Hasyim.


A. PENDAHULUAN
Dunia pesantren adalah dunia yang mewarisi dan memelihara kontinuitas tradisi Islam yang dikembangkan ulama dari masa ke masa, dan hal tersebut tidak terbatas pada periode tertentu dalam sejarah Islam, karenanya tidak sulit bagi dunia pesantren untuk melakukan penyesuaian terhadap berbagai perubahan yang terjadi. Maka itu kemamupuan pesantren untuk tetap bertahan dalam setiap perubahan, bukan sekedar karena karakteristiknya yang khas, tetapi juga karena kemampuannya dalam melakukan perbaikan terus menerus secara otodidak.
Pondok Pesantren dalam proses pendidikannya lebih menitikberatkan pada ajaran Agama, tetapi pada perkembangannya sekarang pendapat ini sedikit berubah mengingat beberapa pesantren telah mencoba menerapkan system sekolah baik madrasah maupun diniyah yang juga mengajarkan ilmu umum. Serta telah dilengkapinya pendidikan dengan peralatan laiknya sekolah modern seperti adanya laboratorium, komputerisasi, dll sehingga lulusan pesantren diharapkan memiliki kualitas yang sama dengan lulusan sekolah biasa. Jenis pesantren ini disebut dengan pesantren modern yang beberapa kalangan menilai sebagai pesantren ideal.
Hanya saja, perkembangan pesantren kearah yang modern ini seringkali melupakan khittahnya sebagai basis Agama sehingga tak jarang pesantren yang telah menerapkan system modern (barat) ini seperti kehilangan ruh, nilai dan jiwa. Sehingga tak jarang lulusan dari pesantren masih berkepribadian dengan moral yang jauh dari harapan. Hal ini bisa disebabkan barangkali karena banyak santri yang masuk berasal dari golongan kaya yang notabene selalu bersikap mewah, tidak mandiri, dan individualis. Kumpulan santri yang mempunyai sifat sama ini kemudian sedikit banyak menggerus jiwa kesederhanaan, dan kemandirian pondok.

B. DINAMIKA PESANTREN
1. Pengertian Pondok Pesantren


Pondok pesantren adalah salah satu pendidikan Islam di Indonesia yang mempunyai ciri-ciri khas tersendiri. Definisi pesantren sendiri mempunyai pengertian yang bervariasi, tetapi pada hakekatnya mengandung pengertian yang sama.
Perkataan pesantren berasal dari bahasa sansekerta yang memperoleh wujud dan pengertian tersendiri dalam bahasa Indonesia. Asal kata san berarti orang baik (laki-laki) disambung tra berarti suka menolong, santra berarti orang baik baik yang suka menolong. Pesantren berarti tempat untuk membina manusia menjadi orang baik.
Sementara itu ada juga yang memberikan batasan pesantren sebagai gabungan dari berbagai kata pondok dan pesantren, istilah pesantren diangkat dari kata santri yang berarti murid atau santri yang berarti huruf sebab dalam pesantren inilah mula-mula santri mengenal huruf, sedang istilah pondok berasal dari kata funduk (dalam bahasa Arab) mempunyai arti rumah penginapan atau hotel. Akan tetapi pondok di Indonesia khususnya di pulau jawa lebih mirip dengan pemondokan dalam lingkungan padepokan, yaitu perumahan sederhana yang dipetak-petak dalam bentuk kamar-kamar yang merupakan asrama bagi santri.
Dalam catatan sejarah, Pondok Pesantren dikenal di Indonesia sejak zaman Walisongo. Ketika itu Sunan Ampel mendirikan sebuah padepokan di Ampel Surabaya dan menjadikannya pusat pendidikan di Jawa. Para santri yang berasal dari pulau Jawa datang untuk menuntut ilmu agama. Bahkan di antara para santri ada yang berasal dari Gowa dan Talo, Sulawesi.
Pesantren Ampel merupakan cikal bakal berdirinya pesantren-pesantren di Tanah Air. Sebab para santri setelah menyelesaikan studinya merasa berkewajiban mengamalkan ilmunya di daerahnya masing-masing. Maka didirikanlah pondok-pondok pesantren dengan mengikuti pada apa yang mereka dapatkan di Pesantren Ampel.
Kesederhanaan pesantren dahulu sangat terlihat, baik segi fisik bangunan, metode, bahan kajian dan perangkat belajar lainnya. Hal itu dilatarbelakangi kondisi masyarakat dan ekonomi yang ada pada waktu itu. Yang menjadi ciri khas dari lembaga ini adalah rasa keikhlasan yang dimiliki para santri dan sang Kyai. Hubungan mereka tidak hanya sekedar sebagai murid dan guru, tapi lebih seperti anak dan orang tua. Tidak heran bila santri merasa kerasan tinggal di pesantren walau dengan segala kesederhanaannya. Bentuk keikhlasan itu terlihat dengan tidak dipungutnya sejumlah bayaran tertentu dari para santri, mereka bersama-sama bertani atau berdagang dan hasilnya dipergunakan untuk kebutuhan hidup mereka dan pembiayaan fisik lembaga, seperti lampu, bangku belajar, tinta, tikar dan lain sebagainya.
Materi yang dikaji adalah ilmu-ilmu agama, seperti fiqih, nahwu, tafsir, tauhid, hadist dan lain-lain. Biasanya mereka mempergunakan rujukan kitab klasik atau yang dikenal dengan kitab kuning. Di antara kajian yang ada, materi nahwu dan fiqih mendapat porsi mayoritas. Hal itu karena mereka memandang bahwa ilmu nahwu adalah ilmu kunci. Seseorang tidak dapat membaca kitab kuning bila belum menguasai nahwu. Sedangkan materi fiqih karena dipandang sebagai ilmu yang banyak berhubungan dengan kebutuhan masyarakat (sosiologi). Tidak heran bila sebagian pakar meneyebut sistem pendidikan Islam pada pesantren dahulu umumnya berorientasi pada fiqih (fiqih orientied) atau berorientasi pada nahwu (nahwu orientied).
Masa pendidikan tidak tertentu, yaitu sesuai dengan keinginan santri atau keputusan sang Kyai bila dipandang santri telah cukup menempuh studi padanya. Biasanya sang Kyai menganjurkan santri tersebut untuk nyantri di tempat lain atau mengamalkan ilmunya di daerah masing-masing. Para santri yang tekun biasanya diberi “ijazah” dari sang Kyai.
Lokasi pesantren model dahulu tidaklah seperti yang ada kini. Ia lebih menyatu dengan masyarakat, tidak dibatasi pagar (komplek) dan para santri berbaur dengan masyarakat sekitar. Bentuk ini masih banyak ditemukan pada pesantren-pesantren kecil di desa-desa Banten, Madura dan sebagian Jawa Tengah dan Timur.
Pesantren dengan metode dan keadaan di atas kini telah mengalami reformasi, meski beberapa materi, metode dan sistem masih dipertahankan. Namun keadaan fisik bangunan dan masa studi telah terjadi pembenahan.

2. Komponen Pondok Pesantren
Secara umum pesantren memiliki komponen-komponen kyai, santri, masjid, pondok dan kitab kuning. Berikut ini pengertian dan fungsi masing-masing komponen. Sekaligus menunjukkan serta membedakannya dengan lembaga pendidikan lainnya, yaitu :
a. Pondok :
Definisi singkat istilah ‘pondok’ adalah tempat sederhana yang merupakan tempat tinggal kyai bersama para santrinya.
Salah satu niat pondok selain dari yang dimaksudkan sebagai tempat asrama para santri adalah sebagai tempat latihan bagi santri untuk mengembangkan ketrampilan kemandiriannya agar mereka siap hidup mandiri dalam masyarakat sesudah tamat dari pesantren.
Sistem asrama ini merupakan ciri khas tradisi pesantren yang membedakan sistem pendidikan pesantren dengan sistem pendidikan Islam.
b. Masjid
Dalam konteks ini, masjid adalah sebagai pusat kegiatan amaliyah seperti ibadah dan belajar mengajar. Masjid yang merupakan unsur pokok kedua dari pesantren, disamping berfungsi sebagai tempat melakukan sholat berjamaah setiap waktu sholat, juga berfungsi sebagai tempat belajar mengajar. Biasanya waktu belajar mengajar berkaitan dengan waktu shalat berjamaah, baik sebelum maupun sesudahnya.
c. Santri
Santri merupakan unsur pokok dari suatu pesantren, tentang santri ini biasanya terdiri dari dua kelompok :
1. Santri mukim; ialah santri yang berasal dari daerah yang jauh dan menetap dalam pondok pesantren.
2. Santri kalong (laju); ialah santri-santri yang berasal dari daerah-daerah sekitar pesantren dan biasanya mereka tidak menetap dalam pesantren. Mereka pulang ke rumah masing-masing setiap selesai mengikuti suatu pelajaran di pesantren.
d. Kyai
Peran penting kyai dalam pendirian, pertumbuhan, perkembangan dan pengurusan sebuah pesantren berarti dia merupakan unsur yang paling esensial. Sebagai pemimpin pesantren, watak dan keberhasilan pesantren banyak bergantung pada keahlian dan kedalaman ilmu, karismatik dan wibawa, serta ketrampilan kyai. Dalam konteks ini, pribadi kyai sangat menentukan sebab dia adalah tokoh sentral dalam pesantren
e. Kitab-kitab Islam klasik
Unsur pokok lain yang cukup membedakan peantren dengan lembaga lainnya adalah bahwa pada pesantren diajarkan kitab-kitab Islam klasik atau yang sekarang terkenal dengan sebutan kitab kuning, yang dikarang oleh para ulama terdahulu, mengenai berbagai macam ilmu pengetahuan agama Islam dan bahasa Arab. Kitab-kitab yang merupakan warisan agung dari para ulama’ terdahulu tersebut terus dipertahankan dan dilestarikan.
Pelajaran dimulai dengan kitab-kitab yang sederhana, kemudian dilanjutkan dengan kitab-kitab tentang berbagai ilmu yang mendalam. Tingkatan suatu pesantren dan pengajarannya, biasanya diketahui dari jenis-jenis kitab-kitab yang diajarkan.
3. Tipologi Pondok Pesantren
Pondok pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam mengalami perkembangan bentuk sesuai dengan perubahan zaman, terutama sekali adanya dampak kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Perubahan bentuk pesantren bukan berarti sebagai pondok pesantren yang telah hilang kekhasannya. Dalam hal ini pondok pesantren tetap merupakan lembaga pendidikan Islam yang tumbuh dan berkembang dari masyarakat untuk masyarakat.
Secara faktual ada beberapa tipe pondok pesantren yang berkembang dalam masyarakat, yang meliputi:
a. Pondok Pesantren Tradisional (Salafiyah)
Pondok pesantren ini masih tetap mempertahankan bentuk aslinya dengan semata-mata mengajarkan kitab yang ditulis oleh ulama’ pada abad ke 15 M dengan menggunakan bahasa arab.
b. Pondok Pesantren Modern
Pondok pesantren ini merupakan pengembangan tipe pesantren karena orientasi belajaranny cenderung mengadopsi seluruh sistem belajar secara klasik dan meninggalkan sistem belajar tradisional. Penerapan sistem belajar modern ini terutama nempak pada bangunan kelas-kelas belajar baik dalam bentuk madrasah maupun sekolah.
Kurikulum yang dipakai adalah kurikulum sekolah atau madrasah yang berlaku secara nasional. Santrinya ada yang menetap ada yang tersebar di sekitar desa itu. Kedudukan para kyai sebagai koordinator pelaksana proses belajar mengajar langsung di kelas. Perbedaannya dengan sekolah dan madrasah terletak pada porsi pendidikan agama dan bahasa Arab lebih menonjol sebagai kurikulum lokal.
c. Pondok Pesantren Komprehensif
Sistem pesantren ini merupakan sistem pendidikan dan pengajaran gabungan antara yang tradisional dan yang modern. Artinya di dalamnya diterapkan pendidikan dan pengajaran kitab kuning dengan metode sorogan, bandongan dan wektonan, namun secara reguler sistem persekolahan terus dikembangkan. Bahkan pendidikan ketrampilan pun diaplikasikan sehingga menjadikannya berbeda dari tipologi kesatu dan kedua
4. Metode Pembelajaran Pesantren Salaf
Metode tradisional adalah berangkat dari pola pelajaran yang sangat sederhana dan sejak semula timbulnya, yakni pola pengajaran sorogan, bandongan dan wetonan dalam mengkaji kitab-kitab agama yang ditulis oleh para ulama’ pada zaman abad pertengahan dan kitab-kitab itu dikenal dengan istilah “kitab kuning”.
a. Metode Sorogan
Sorogan berasal dari kata sorog (bahasa jawa) yang berarti menyodorkan, sebab setiap santri menyodorkan kitabnya dihadapan kyai atau pembantunya (badal, asisten Kyai). Sistem sorogan ini termasuk belajar secara individual, dimana seorang santri berhadapan dengan seorang guru, dan terjadi interaksi saling mengenal diantara keduanya. Sistem sorogan ini terbukti sangat efektif sebagai taraf pertama bagi seorang murid yang bercitacita menjadi alim. Sistem ini memungkinkan seorang guru mengawasi, menilai dan membimbing secara maksimal kemampuan seorang santri dalam menguasai materi pembelajaran. Sorogan merupakan kegiatan pembelajaran bagi para santri yang lebih menitik beratkan pada pengembangan kemampuan perorangan (individual), di bawah bimbingan seorang Kyai atau ustadz. Pelaksanaannya, santri yang banyak itu datang bersama, kemudian mereka antri menunggu gilirannya masing-masing, sambil mempelajari materyang akan di soroggan. Dengan sistem pengajaran secara sorogan ini memungkinkan hubungan kyai dengan santri sangat dekat, sebab kyai dapat mengenal kemampuan pribadi santri secara satu satu persatu. Kitab yang disorogkan kepada kyai oleh santri yangsatu dengan santri yang lain tidak harus sama.
b. Metode Wetonan/bandongan
Istilah weton berasal dari kata wektu (bahasa jawa) yang berarti waktu, sebab pengajian tersebut diberikan pada waktu-waktu tertentu, yaitu sebelum dan atau sesudah melakukan shalat fardu. Metode weton ini merupakan metode kuliah, dimana para santri mengikuti pelajaran dengan duduk di sekeliling kyai yang menerangkan pelajaran, Santri menyimak kitab masing-masing dan membuat cacatan padanya. Istilah wetonan ini di Jawa Barat di sebut dengan bandongan. Tetapi sekarang ini banyak pesantren telah menggunakan metode pengajaran dengan memadukan antara model yang lama dengan model pengajaran yang modern yaitu dengan memadukan metode klasikal yang bertingkat.
c. Halaqah/Musyawarah
Halaqah, sistem ini merupakan kelompok kelas dari sistem bandongan. Halaqah yang arti bahasanya lingkaran murid, atau sekelompok siswa yang belajar di bawah bimbingan seorang guru atau belajar bersama dalam satu tempat.
Metode ini dimaksudkan sebagai penyajian bahan pelajaran dengan cara murid atau santri membahasnya bersama-sama melalui tukar pendapat tentang suatu topik atau masalah tertentu yang ada dalam kitab kuning. Dalam metode ini, kiai atau guru bertindak sebagai “moderator”. Metode diskusi bertujuan agar murid atau santri aktif dalam belajar. Melalui metode ini, akan tumbuh dan berkembang pemikiran-pemikiran kritis, analitis, dan logis.
d. Hafalan/Tahfidz.
Metode hapalan yang diterapkan di pesantren-pesantren, umumnya dipakai untuk menghafal kitab-kitab tertentu, misalnya Alfiyah Ibn Malik. Metode hafalan juga sering diterapkan untuk pembelajaran al-Qur`an-Hadits. Dalam pembelajaran al-Qur'an metode ini biasa disebut metode Tahfizh al-Qur'an. Biasanya santri diberi tugas untuk mengh fal beberapa bait dari kitab alfiyah, dan setelah beberapa hari baru dibacakan di depan kyai/ustadnya. Dalam pengembangan metode Hafalan atau Tahfizh ini, pola penerapannya tidak hanya menekankan hafalan tekstual dengan berbagai variasinya, tetapi harus juga melibatkan atau menyentuh ranah yang lebih tinggi dari kemampuan belajar. Artinya, hafalan tidak saja merupakan kemampuan intelektual sebatas ingatan tetapi juga sampai kepada pemahaman, analisis, dan evaluasi. Bagaimanapun, hafalan sebagai metode pembelajaran maupun sebagai hasil belajar tidak dapat diremehkan, seperti yang sering terdengar dari pernyataanpernyataan sumbang para pengamat pembelajaran. Hafalan harus dipandang sebagai basis untuk mencapai kemampuan intelektuan yang lebih tinggi.
e. Bahtsul Masa’il
Suatu metode yang belajar untuk memecahkan masalah secara bersama-sama dalam bentuk diskusi. Masalah yang disikapi adalah masalah-masalah sosial apapun yang terjadi di tengah-tengah masyarakat dan menuntut kejelasan hukum. Biasanya juga adalah masalah terkini yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Hal ini biasanya setiap peserta mencoba menjawab masalah yang sedang dibahas dengan menjadikan sumber dasar ajaran agama dan produk pemikiran ulama’ kontemporer sebagai rujukan/refrensi.
Hanya saja untuk santri di lingkungan pesantren, bahtsul masail menjadi media pembelajaran dan masuk dalam kegiatan ekstrakurikuler atau kegiatan ilmiah untuk memahami kitab-kitab kuning.
5. Peranan dan Fungsi Pesantren
Realitas menunjukkan bahwa perkembangan pesantren terus menapaki tangga kemajuan, ini terbukti di sebagian pesantren telah mengembangkan kelembagaannya dengan membuka sistem madrasah, sekolah umum, dan diantaranya ada juga yang membuka semacam lembaga pendidikan kejuruan seperti bidang pertanian, peternakan, teknik dan sebagainya.
Meskipun perjalanan pesantren mengalami adaptasi dan penyesuaian, pada tataran praktis pesantren tetap memiliki fungsi-fungsi sebagai:
a. Lembaga pendidikan yang melakukan transfer dan transformasi ilmu-ilmu agama (tafaqquh fid din) dan nilai-nilai Islam (Islamic values)
b. Lembaga keagamaan yang melakukan kontrol sosial (social control)

Agar masyarakat berperilaku sesuai dengan pedoman, pengendalian sosial merupakan mekanisme untuk mencegah terjadinya penyimpangan dan mengarahkan anggota masyarakat untuk bertindak menurut norma-¬norma dan nilai-nilai yang telah melembaga.
Pengendalian sangat penting dalam kehidupan bermasyarakat. Apabila pengendalian sosial tidak diterapkan, akan mudah terjadi penyimpangan sosial dan tindakan amoral lainnya. Dalam hal ini pesanren sebagai lembaga keagamaan berperan dalam kontrol sosial tersebut. Hal ini karena di daalm pesantren terdapat kyai yang ditokohkan oleh masyarakat yang dapat menjadi panutan bagi mereka.
c. Lembaga keagamaan yang melakukan rekayasa sosial (social engineering).
Sebagai lembaga keagamaan yang mempunyai peran dalam rekayasa sosial, pesantren berupaya untuk wujudnya kondisi sosial yang diharapkan. Keinginan untuk merancang kondisi sosial ini muncul ketika kondisi faktual berjalan tidak seperti apa yang diharapkan. Atau dalam kata lain terdapat gap antara kondisi yang diinginkan dengan kondisi yang ada.
Relevan dengan peran pesantren pada zamannya fungsi pesantren secara garis besar terbagi menjadi tiga, yaitu sebagai:
a. Lembaga pendidikan
b. Lembaga sosial
c. Lembaga penyiaran agama.
6. Nilai-nilai yang Berkembang di Pesantren

a. Sikap Hormat dan Ta’dzim

Sikap horrnat, ta’dzim dan kepatuhan kepada kyai adalah salah satu nilai pertama yang ditanamkan pada setiap santri. Kepatuhan itu diperluas lagi, sehingga mencakup penghormatan kepada para ulama sebelumnya dan ulama yang mengarang kitab-kitab yang dipelajari.
b. Persaudaraan dan Kebersamaan
Dalam tradisi pesantren persaudaraan menjadi ruh yang mendasari seluruh kegiatan santri sehingga tercipta persaudaraan yang kokoh anatar semua keluarga pondok, tidak hanya di pondok saja bhakan ketika mereka sudah kembali ke pondok. Hal ini terlihat di antaranya dari antusias mereka dalam bersama-sama bergotong royong dalam membangun fisik pondok.
c. Keikhlasan
Dalam tradisi pesantren seorang kyai atau ustadz mengajarkan ilmu kepada santrinya dengan penuh ketekunan dan ketulusan, ia mengajar betul-betul tanpa pamrih. Dengan nilai inilah pesantren bisa menjadi rujukan untuk menuntut ilmu bagi siapapun, tanpa memandang status sosial, sehingga pesantren betul-betul dapat dinikmati oleh semua lapisan.
Jiwa keikhlasan ini akan melahirkan sebuah iklim yang sangat kondusif, harmonis disemua tingkat, dari tingkat atas sampai tingkat yang paling bawah sekalipun, suasana yang harmonis antara tiga unsur yang tidak terpisahkan, yaitu sosok Kyai yang penuh kharismatik dan disegani, para asatidz yang tak pernah bosan untuk membimbing dan santri yang penuh cinta, taat dan hormat. Jiwa dan sikap ini akan mencetak santri yang militan siap terjun berjuang di jalan Allah kapan saja dan dimana saja.
Keikhlasan memiliki nilai yang tinggi dalam pandangan agama islam. Jiwa ikhlas kyai dalam menegakkan agama serta keikhlasan yang ditanamkan pada jiwa santri menjadikan pesantren mampu melahirkan intelektual-intelektual muslim yang berakhlakl karimah.
d. Kesederhanaan
Ksederhanaan atau dalam istilah pesantren disebut tawassuth atau iqtishad. Nilai ini tampak dalam kehidupan sehari-hari kiai dan santri-santrinya. Mereka menggunakan segala sesuatu dengan sederhana dan apa adanya.
Kesederhanaan menjadi nilai dasar pesantren, karena dengan sikap inilah kecemberuan sosial yang bersifat material bisa dikikis habis. Kesederhanaan di sini meliputi kesederhanaan dalam pola hidup, pola pikir, pola perasaan, pola perilaku.
Dibalik kesederhanaan itu akan terpancar jiwa besar, berani maju dan pantang mundur dalam segala kondisi sesulit apapun, bahkan pada jiwa kesederhanaan inilah hidup dan tumbuhnya mental dan karakter yang kuat sebagai syarat mutlak untuk menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan dalam semua ruang lingkup kehidupan. Sikap sederhana inilah yang menjiwai pesantren sehingga eksis hingga kini.
e. Nilai Kemandirian
Baik santri maupun pihak pesantren memiliki jiwa kemandirian dalam kehidupannya, sehingga santri tidak cengeng, dan bisa berkembang menjadi pribadi yang tangguh dan tidak mudah menyerah.
f. Nilai Keteladanan
Nilai keteladanan memberikan pengaruh yang besar terhadap keberhasilan di pesantren. Kyai merupakan teladan bagi para santri begitu pula santri saling meneladani antara satu dengan yang lainnya. Sehingga pesantren sebagai lembaga pendidikan agama lebih mudah dalam mewujudkan santri yang berakhlak mulia. Hal ini dikarenakan adanya konsep bahwa mengamalkan ilmu adalah hal yang wajib setelah ilmu itu sendiri.

C. PESANTREN SALAFI DI TENGAH TANTANGAN MODERNISASI

1. Pesantren Di Tengah Globalisasi dan Modernisasi
Globalisasi dan Modernisasi adalah dua sisi dari satu mata uang, Ia juga menawarkan sebuah pilihan yang ambivalen, satu sisi membawa kebaikan kalau mamang kita siap, dan mungkin juga membawa petaka kalau kita gagap. Globalisasi juga menawarkan berbagaai macam pilihan bisa menguntungkan juga bisa membahayakan. Globalisasi adalah sebuah keniscayaan yang nyata yang mau tak mau akan kita hadapi bersama, Ia tak terelakkan.
Menghadapi tantangan ini pesantren dituntut untuk bertindak bijak. Kalau serta merta menolak globalisasi dengan melestarikan kostruksi lama dan tidak mau melihat sesuatu yang baru sangat jelas ini akan merugikan pesantren di kemudian hari, karena orang moderen sebagai mana disebutkan di atas lebih memenitingkan nilai-nilai instrumental.
2. Upaya Mempertahankan Sistem Pesantren
Mengikuti perkembangan zaman akhir-akhir ini pesantren telah membuka diri. Jika dahulu pesantren hanya sebagai tempat mengaji ilmu agama melalui sistem sorogan, wetonan, dan bandongan, maka saat ini telah membuka pendikan sistem klasikal dan bahkan program baru yang berwajah modern dan formal seperti madrasah, sekolah, dan bahkan universitas. Sekalipun pendidikan modern telah masuk ke pesantren, akan tetapi tidak boleh menggeser tradisinya, yakni gaya kepesantrenan. Sebaliknya, kehadiran lembaga pendidikan formal ke dalam pesantren dimaksudkan untuk memperkokoh tradisi yang sudah ada, yaitu pendidikan model pesantren. Adaptasi adalah suatu bentuk keniscayaan tanpa menghilangkan ciri khas yang dimiliki pesantren (al-muhâfazhah `ala al-qadîm as-shâlih wa al-akhdzu bi al-jadîd al-ashlah).
Tradisi yang dimaksud untuk selalu dipertahankan oleh pesantren adalah pengajaran agama secara utuh. Pendidikan pesantren sejak awal memang bukan dimaksudkan untuk menyiapkan tenaga kerja terampil pada sektor-sektor modern sebagaimana diangankan sekolah dan universitas pada umumnya. Melainkan diorientasikan kepada bagaimana para santri dapat memahami, menghayati, dan mengamalkan ajaran Islam secara baik. Pendidikan pesantren adalah pendidikan Islam yang berusaha mengantarkan para santri menjadi alim dan shalih, bukan menjadi pegawai atau pejabat.
Dalam perkembangannya ke depan, yang harus selalu diingat adalah bahwa pesantren harus tetap menjadi ‘rumah’ dalam mengembangkan pertahanan mental spiritual sesuai dengan perkembangan jaman dan tuntutan masa. Selain itu, ilmu yang diajarkan di pesantren harus memiliki pola perpaduan (umum-agama) yang dilandasi karakteristik keilmuan Islam , diantaranya bersumber dari Allah SWT, bersifat duniawi dan ukhrawi, berlaku umum untuk semua komunitas manusia, realistis, dan terpadu (integral); artinya tidak membeda-bedakan pada dimensi keilmuannya, serta universal sehingga dapat melahirkan konsep-konsep keilmuwan di segala bidang dan semua kebutuhan manusia. Dan, yang tak kalah pentingnya adalah pesantren, yang merupakan pendidikan berbasis agama (Islam), harus mampu memaksimalkan aspek da’wah karena da’wah merupakan bagian dari Islam dan tidak bisa dipisahkan dengan ilmu-ilmu keislaman.

D. PENGALAMAN PONDOK PESANTREN DARUL HUDA
1. Sejarah Pondok

Pondok Pesantren Darul Huda merupakan salah satu dari sekian banyak pondok pesantren yang ada di Kabupaten Ponorogo, berdiri sejak tahun 1968 Oleh K.H. Hasyim Sholeh. Pada awalnya berdirinya mempunyai pengertian yang sederhana sekali yaitu sebagai tempat pendidikan yang mempelajari pengetahuan agama islam di bawah bimbingan seorang guru atau Kyai. Sejalan dengan perkembangan zaman dan tuntutan masyarakat dewasa ini, lembaga pendidikan Pondok Pesantren masih tetap bertahan di dalam pendidikan modern, bahkan semakin eksis berkembang sedemikian rupa baik jumlah santrinya, tujuannya, maupun sistem pendidikan yang diselenggarakannya.
Belajar dari pengalaman bahwa banyak pondok pesantren yang termasyhur tetapi kemudian tenggelam setelah meninggalnya Pengasuh, maka menurut pengalaman KH. Hasyim Sholeh pelimpahan tanggung jawab mengasuh pesantren turun temurun lewat garis ahli waris adalah penyebab masalah tersebut. Oleh karena itu, untuk mempertahankan kelangsungan hidup Pondok Pesantren Darul Huda, sejak tahun 1984 sistem ahli waris di Pondok Pesantren Darul Huda dihapus dan diganti dengan pengelolaan Yayasan. Dengan dikelolanya Pondok Pesantren Darul Huda dalam sebuah payung yayasan maka tidak lagi menjadi milik pribadi Kyai tetapi milik seluruh umat Islam. Selanjutnya kaderisasi tidak hanya terbatas pada sistem keluarga semata, tetapi berdasarkan kemampuan serta bakat dan minat.
Pondok Pesantren Darul Huda terus berevolusi secara bertahap baik dalam perkembangan sistem pendidikan maupun perkembangan sarana fisiknya. Perubahan serta pembaharuan yang dilakukan Pondok Pesantren Darul Huda semakin cepat terutama setelah dibukanya lembaga baru pada tahun 1989. Hal tersebut dimaksudkan sebagai kesiapan pesantren dalam menghadapi tantangan dan tuntutan zaman yang semakin kompleks. Karena itu, demi kelangsungan pada masa- masa yang akan datang dibutuhkan persiapan yang lebih matang.
Sesuai dengan orientasi Pondok Pesantren Darul Huda yaitu pemasyarakatan, maka pembinaan dan perbekalan yang diberikan kepada santri difokuskan pada masalah- masalah kemasyarakatan dengan harapan semoga mereka yang telah menyelesaikan pendidikan di Pondok Pesantren
Darul Huda mau berjuang ditengah- tengah masyarakat dengan segala kemampuan yang dimilikinya.

2. Dasar- Dasar Dan Tujuan Pendidikan
Dasar Pondok Pesantren Darul Huda yang menganut sistem Salafiyah Haditsah adalah ِا Al-muhâfazhah `ala al-qadîm as-shâlih wa al-akhdzu bi al-jadîd al-ashlah artinya melestarikan metode yang lama yang baik dan mengambil metode baru yang lebih baik. Sedangkan tujuan yang ingin dicapai oleh Pondok Pesantren Darul Huda adalah mendidik santri supaya berilmu, beramal, dan bertaqwa yang dilandasi dengan akhlakul karimah.
3. Sistem Pendidikan
Pondok pesantren Darul Huda sejak awal berdirinya memegang teguh sistem pendidikan salaf (Tradisional) sebagaimana pondok salaf pada umumnya. Pada awal mula berdirinya pondok pesantren Darul Huda hanya mengajarkan kitab-kitab klasik warisan para auliya terdahulu. Metode pembelajarnnyapun masih sebatas pada metode pembelajaran salaf, yaitu metode sorogan dan wekton. Bahkan para santri pada saat itu masih belum terfokus pada belajar, tapi mereka sambil nyambi bekerja guna mencukupi kebutuhan sehari-hari di pondok.
Seiring dengan perkembangan zaman yang dihadapkan pada tantangan modernisasi dan globalisasi yang terus melaju, maka Pondok Pesantren Darul Huda berupaya untuk beradaptasi. Pengembangan dan inovasi pada berbagai komponen di Pondok Pesantren Darul Huda terus di lakukan sesuai dengan perkembangan dan tuntutan zaman. Mulai dari sistem pedidikan hingga tingkat manajemen kepemimpinannya.
Pengembangan dan inovasi yang dilakukan tidak berarti berupaya melemahkan nilai-nilai dan sistem pendidikan tradisional yang sejak awal dianutnya, tapi justru sebagai usaha mempertahankan dan mengukuhkannya.
Dengan berpedoman pada qaidah “Al-muhâfazhah `ala al-qadîm as-shâlih wa al-akhdzu bi al-jadîd al-ashlah” Darul Huda terus berusaha untuk memegang prisip-prisip pendidikan tradisional (salaf) sebagai model pendidikan asli dan khas di Indonesia. Dan berlandaskan pada qaidah ini pula Darul Huda mengepakkan sayapnya dalam rangka mewujudkan sebuah lembaga pendidikan alternatif yang mempertahankan tradisi dan nilai salaf (tradsional) nya dan tetap mapu bertahan di tengah tantangan globalisasi dan modernisasi yang menggiurkan.
Salah satu wujud dari upaya pengembangan tersebut adalah diselenggarakannya pendidikan formal dengan mengacu pada kurikulum DEPAG. Maka pada tahun 1989 dibukalah Madrasah Tsanawiyah dan Madrasah Aliyah Darul Huda.
Dengan dibukanya lembaga pendidikan baru ini diharapkan mampu memberikan nilai tambah bagi sistem yang diterapkan di Darul Huda, dan bukan sebaliknya. Karena, diakui maupun tidak, pesantren dengan sistem yang justru dianggap tradisional (kuno) telah mampu melahirkan intelektual-intelektual muslim yang hingga di zaman serba modern ini nama mereka tetap harum. Sebuah sytem pendidikan unik nan tradisionil yang hampir tidak ada bandingannya di negeri asalnya ini. Sehingga dengan bahasa lain dapat dikatakan bahwa kehadiran dua lembaga formal yang termasuk pada kategori sistem modern tersebut adalah sebagai upaya adaptasi, sehingga sistem tradisional yang ada dapat dipertahankan dan diterima oleh masyarakat serta tidak dipandang sebelah mata.
4. Visi Dan Misi
Visi pondok pesantren Darul Huda adalah berilmu, beramal dan bertaqwa dengan dilandasi akhlaqul karimah.
Misi Pondok Pesantren Darul Huda adalah: Menumbuhkan budaya ilmu, amal dan Taqwa diserta Akhlaqul karimah pada jiwa santri dalam pengabdiannya dalam Agama dan masyarakat Menumbuhkan budaya ilmu, amal dan Taqwa diserta Akhlaqul karimah pada jiwa santri dalam pengabdiannya dalam Agama dan masyarakat
5. Lembaga Pendidikan
a. Pondok Putra dan Putri

Sistem pendidikan di Darul Huda melalui lembaga ini adalah pedidikan melaui sistem tradisional. Santri mendapat pendidikan melaui pembiasaan keseharian. Rutinitas santri di asrama secara umum diatur oleh ketentuan yang berlaku di pondok, kehidupan santri di pondok tidak lepas dari aturan pondok. Secara umum prinsip pendidikan di asrama dapat digambarkan sebagai berikut:
1. Dengan prisip berilmu, beramal, bertaqwa, dan berakhlakul karimah, pendidikan di Darul Huda tidak hanya diarahkan pada penguasaan ilmu belaka, akan tetapi lebih dari itu membing santri dalam mengamalkan segala ilmu yang diperoleh, sehingga dapat memiliki jiwa taqwa yang selanjutnya pasti akan melahirkan akhlaqul karimah. Itulah sebabnya Darul Huda lebih menekankan pada proses perolehan ilmu yang bermanfaat dari pada ilmu itu sendiri. Sehingga Darul Huda masih memegang erat nilai-nilai yang terkandung dalam kitab Ta’limul Muta’allim.
2. Kedhidupan santri di pondok dibimbing oleh pengurus sebagai kepanjangan tangan dari pengasuh yang dilanjutkan oleh santri senior yang disebut dengan “Bapak Kamar” atau “Musyrif”
3. Dalam menjalankan kehidupan di pondok, santri terikat oleh seperangkat aturan sebagai sarana mendidik mental mereka sehingga memiliki jiwa yang taqwa dan berakhlakul karimah. Selain itu juga aturan-aturan tersebut sebagai sarana riyadlah santri. Sehingga dapat dikatakan bahwa salah satu riydlah santri adalah “menaati peraturan”.
4. Dalam rangka meningkatkan kualitas spiritual santri mereka diwajibkan menjalankan ibadah yang menjadi rutinitas di pondok, diantaranya:
a. Shalat Jamaah beserta wiridnya sebagai rutinitas harian.
b. Mujahadah dan zyarah Auliya’ sebagai rutinitas bulanan dan tahunan.
c. Dzibaan dan membaca aurad burdah sebagai rutinitas mingguan
d. Khataman al Qur’an sebagai rutinitas bulanan
5. Pendalaman kitab kuning melalui sistem:
a. Sorogan
Sistem sorogan yang diterapkan di pondok pesantren Darul Huda adalah sistem “santri aktif”. Santri membaca dihadapan ustadz, kemudian ustadz menanyakan beberapa persoalan yang berkaitan dengan materi yang telah dibaca. Secara yang dikaji dengan melalui sistem sorogan adalah al Qur’an bagi pemula dan kitab bagi santri lanjutan. Kitab yang dikaji melalui metode ini adalah Safinatunnaja (menekankan pada pemahaman nahwu sharaf), Sulam Taufiq (menekankan pada pemahaman teks) dan Fathul Qorib (menekankan pada pemahaman teks dan masail waq’iyyah).
Selain sebagai sarana untuk mendalami kitab kuning, kegiatan sorogan juga dijadikan sebagai wahana pembinaan akhlaq santri oleh ustadz pembimbingnya masing-masing. Kegiatan ini dilaksanakan empat malam dalam satu minggu.
b. Wekton
Sistem wekton yang diterapkan adalah sistem kuliah, dimana ustadz membacakan kitab sementara santri memberikan ma’na pada kitab yang dikaji dan mencatat beberapa keterangan yang diperlukan. Sistem wekton yang ditapkan dapat dibedakan ke dalam beberapa kegiatan, yaitu: (1) Wekton setelah shalat (subuh, dzuhur dan isya’), (2) pengajian kilat pada waktu tertentu dan (3) pengajian pondok Romadlon. Di antara kitab yang dikaji dalam kegiatan wekton harian adalah: Tafsir Jalalain, Shahih Bukhori, Sirojut Thalibi, Tanbihul Ghafilin, dll.
c. Takror
Istilah takror digunakan oleh Darul Huda sebagai penyebutan sebuah kegiatan musyawarah santri guna membahas pelajaran yang diperoleh di Madrasah Diniyah. Kegiatan ini selain sebagai sarana mengulang pelajaran yang telah diajarkan juga melatih santri untuk kritis dalam belajar. Dengan kegiatan ini pula santri senior mendapatkan kesempatan untuk membimbing adik-adiknya..
d. Syawir
Syawir adalah kegiatan musyawarah bagi santri tingkat mahasiswa guna membahas kitab-kitab tertentu. Kegiatan ini berguna untuk melatih santri tingkat mahasiswa untuk berjiwa kritis terutama dalam mendalami Fiqih dan ilmu alat (Nahwu dan Shorof).
e. Bahtsul Kitab (Bedah Kitab)
Bahtsul Kitab adalah kegiatan pengkajian suatu kitab secara global agar kandungannya dapat segera dimengerti dan diterapkan oleh santri tanpa melaui proses yang ketat dan akurat. Selain itu juga kegiatan ini dimaksudkan untuk memberiakan informasi lebih dalam perihal kitab yang dikaji sehingga dapat memberikan motovasi yang besar kepada santri agar kedepan mereka mengkajinya secara mendalam, ketat dan akurat.
f. Bahtsul Masail
Bahstul Masail diselenggarakan guna membahas persoalan-persoalan kekinian untuk diketahui setatus hukumnya dan sekaligus landasan hukumnya.
6. Pengembangan bagasa Arab dan Ingris melalui pembinaan asrama bahasa.
7. Peningkatan kreativitas santri melaui kegiatan-kegiatan di luar kegiartan pokok, di antaranya: kaligrafi, hadrah, qiro’ah, olah raga, muhadlarah, berbagai pelatihan maupun seminar, dll.
b. Madrasah Diniyah “Miftahul Huda”
Madrasah Miftahul Huda yang kemudian lebih dikenal dengan sebutan MMH, adalah merupakan realisasi dari pola pendidikan di pondok pesantren Darul Huda, ‘ala nahjis salafiyah haditsah dengan motto : Al Muhafadzatu Ala al Qadim ash Shalih wa Al Akhdzu bil Jadid Al Ashlah (Melestarikan hal-hal lama yang baik dan mengembangkan hal-hal baru yang lebih baik dan bermanfaaat) dengan melalui pembelajaran kitab-kitab kuning mu’tabaroh hasil ijtihad ulama-ulama besar islam, dengan tujuan untuk menjaga warisan dan kesinambungan kekayaan khazanah intelektual islam yang diwarisakn secara terus menrus dari generasi ke generasi.
MMH yang merupakan cikal bakal pondok pesantren Darul Huda pada mulanya berbentuk madrasah diniyah sederhana yang santrinya adalah warga mayak dan sekitarnya. Baru kemudian setelah tahun 1968 dengan manajemen yang modern mengalami perkembangan pesat sampai sekarang. Dan oleh sebab itulah santri yang mondok di Darul Huda, maka wajib menempuh sekolah di MMH, berbeda dengan MA/MTs “ Darul Huda “.
Sejarah telah mencatat bahwa pada awal berdirinya, jenjang pendidikan di MMH sangat lama tidak jauh berbeda dengan pendidikan di pondok-pondok salaf pada umumnya yakni :
1. Tingkan sekolah persiapan ( SP ) : selama 2 tahun
2. Tingkat Tsanawiyah : selama 3 tahun
3. tingkat Aliyah : selama 3 tahun

Dengan demikian santri baru bisa tamat/lulus di MMH harus menempuh pendidikan selama 8 tahun. Seiring dengan perkembangan zaman yang terus menuntut adanya perubahan, maka pada tahun ajaran 2009/2000 pola pendidikan di MMH juga mengalami perubahan menjadi 6 tahun dengan kelas tambahan berupa :
1. Kelas Exsperimen diperuntukkan bagi siswa MA/sederajat yang sudah memiliki kemampuan membaca kitab kuning ( sudah pernah sekolah diniyah sebelumnya )
2. Kelas SP ( sekolah persiapan ) yang diperuntukkan bagi mereka yang belum pernah / belum bisa membaca serta tulis menulis Arab.
Setelah 6 tahun kemudian dilanjutkan dengan program Takhasus (pendalaman kitab-kitab kuning ) selama 2 tahun. Namun perubahan pola itu tidak mengurangi kualitas pendidikan madrasah yang diberikan pada tahun-tahun sebelumnya.
Perubahan pola pendidikan tersebut terjadi dengan semakin pesatnya perkembangan jumlah santri di pondok DARUL HUDA yang umumnya setingkat MTs / MA ” DARUL HUDA ” yang ketika mereka sudah lulus, akan tetapi di MMH-nya belum lulus dengan lama pendidikan selama 8 tahun. dengan perubahan tersebut diharapkan santri ketika 6 tahun di MTs / MA ” DARUL HUDA ” juga bisa menamatkan pendidikan di MMH, sehingga di harapkan lulusan pondok pesantren ” DARUL HUDA ” merupakan lulusan siap pakai dan bisa mewarnai masyarakatnya dengan bekal ilmu yang didapat baik ilmu umum maupun ilmu agama. Dan disinilah nilai plus pondok pesantren ” Darul Huda ” dibandingkan dengan lainnya.
Selain mengajarkan kitab-kitab klasi, MMH juga memberikan pelatihan keorganisasian melalui “Himpunan Murid Miftahul Huda (HIMMAH)” dan “Ikatan Santri Tahkassus(IKHSANT) dan berbagai pelatihan yang lain guna menunjang dan menuntaskan mata pelajaran di MMH seperti, pelatihan manasik haji, pelatihan tajhiz janazah, Fiqhun Nisa’, Bahtsul Kutub, dll.
c. Madarasah Tsanawiyah dan Madrasah Aliyah
Madrasah Tsanawiyah dan Aliyah Darul Huda adalah dua lembaga yang berbeda yang keduanya sama-sama berada di bawah naungan Yayasan Pondok Pesantren Darul. Lembaga ini merupakan lembaga pendidikan dengan sistem moderen. Kurikulum yang diterapkan pun mengacu pada DEPAG. Keberadan MTs Darul Huda diharapkan mampu mengiringi sekaligus melengkapi sytem tradisional yang sejak awal dianut oleh Darul Huda. Segala pelajaran yang diberikan di MTs Darul Huda diharapkan juga mampu mewujudkan santri yang bertaqwa dan berakhlakul karimah. Sistem pendidikannya yang moderen diharapkan tidak hanya mampu mendidik santri pada ranah kognitif saja (sebagaimana yang dialami kebanyakan lembaga pendidikan formal) tapi juga pada ranahafektif dan psikomotorik. sehingga mampu melahirkan insan kamil.
Materi pelajaran yang bersifat umum diharapkan mampu diarahkan pada upaya memperkokoh keimanan santri seperti lebih mengarahkannya sebagai sarana tafakkur fi khalqillah dari pada sebagai sarana mengisi daftar nilai.

E. PENUTUP
Betapapun pesantren berkembang dengan segala bentuknya masing, namun upaya mempertahankan tradisi salafiyah hendaklah terus dilakukan. Pengaruh globalisasi dan modernisasi yang merajalela hendaklah disikapi dengan bijak, karena tanpa adanya mawas diri dengan perkembangan yang ada dikhawatirkan akan melunturkan kemurnian prinsip pesantren sebagai lembaga pendidikan yang telah diwariskan oleh para wali songo dan ulam’ terdahulu. Namun demikian tidak pula tepat pesantren menutup mata dengan perkembangan tersebut.


BAHAN BACAAN:
Dhofier, Zamakhsyari, Tradisi Pesantren: Studi tentang Pandangan Hidup Kiai, Jakarta, LP3ES,1984
Haedari, Amin, Drs, M.Pd, H, dan El Saha, Ishom, MA, Peningkatan Mutu Terpadu Pesantren dan Madrasah Diniyah,Jakarta, Diva Pustaka, 2006.
Tim Penyusun, Bunga Rampai Pesantren: Kumpulan Tulisan dan Karangan Abdul Rahman Wahid, Jakarta, CV. Dharma Bhakti, 1399 H.
Haedari, Amin, Drs, M.Pd, H, Panorama Pesantren dalam Cakrawala Modern, Jakarta, Diva Pustaka,2004.

Category: 7 komentar

- Quran MP3 - القرآن الكريم - Alqur'an alkariim

QUR'AN MP3 - القرآن الكريم - ALQUR'AN ALKARIIM

Category: 0 komentar

-Cara Praktis menghafal Alquran

Cara Praktis Menghafal Al Quran
( باللغة الإندونيسية )
Disusun Oleh:
Dr. Abdul Muhsin Al Qasim
( Imam dan Khatib masjid Nabawi)
أسهل طريقة لحفظ القرآن الكريم .
المكتب التعاوني للدعوة وتوعية الجاليات بالربوة بمدينة الرياض
1428 – 2007
CARA PRAKTIS
UNTUK MENGHAFAL AL-QUR AN


Segala puji Bagi Allah Rabb semesta alam, shalawat dan salam semoga terlimpahkan kepada Nabi kita Muhammad . Dalam tulisan ini akan kami kemukakan cara termudah untuk menghafalkan al quran. Keistimewaan teori ini adalah kuatnya hafalan yang akan diperoleh seseorang disertai cepatnya waktu yang ditempuh untuk mengkhatamkan al-Quran. Teori ini sangat mudah untuk di praktekan dan insya Allah akan sangat membantu bagi siapa saja yang ingin menghafalnya. Disini akan kami bawakan contoh praktis dalam mempraktekannya:
Misalnya saja jika anda ingin menghafalkan surat an-nisa, maka anda bisa mengikuti teori berikut ini:

1- Bacalah ayat pertama 20 kali:
يَاأَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُم مِّنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيرًا وَنِسَآءً وَاتَّقُوا اللهَ الَّذِي تَسَآءَلُونَ بِهِ وَاْلأَرْحَامَ إِنَّ اللهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا {1}


2- Bacalah ayat kedua 20 kali:
وَءَاتُوا الْيَتَامَى أَمْوَالَهُمْ وَلاَتَتَبَدَّلُوا الْخَبِيثَ بِالطَّيِّبِ وَلاَتَأْكُلُوا أَمْوَالَهُمْ إِلَى أَمْوَالِكُمْ إِنَّهُ كَانَ حُوبًا كَبِيرًا {2}
3- Bacalah ayat ketiga 20 kali:
وَإِنْ خِفْتُمْ أّلاَّتُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَى فَانكِحُوا مَاطَابَ لَكُم مِّنَ النِّسَآءِ مَثْنَى وَثُلاَثَ وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلاَّ تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَامَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ذَلِكَ أَدْنَى أَلاَّتَعُولُوا {3}

4- Bacalah ayat keempat 20 kali:
وَءَاتُوا النِّسَآءَ صَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَةً فَإِن طِبْنَ لَكُمْ عَن شَىْءٍ مِّنْهُ نَفَسًا فَكُلُوهُ هَنِيئًا مَّرِيئًا {4}

5- Kemudian membaca 4 ayat diatas dari awal hingga akhir menggabungkannya sebanyak 20 kali.
6- Bacalah ayat kelima 20 kali:
وَلاَتُؤْتُوا السُّفَهَآءَ أَمْوَالَكُمُ الَّتِي جَعَلَ اللهُ لَكُمْ قِيَامًا وَارْزُقُوهُمْ فِيهَا وَاكْسُوهُمْ وَقُولُوا لَهُمْ قَوْلاً مَّعْرُوفًا {5}

7- Bacalah ayat keenam 20 kali:
وَابْتَلُوا الْيَتَامَى حَتَّى إِذَابَلَغُوا النِّكَاحَ فَإِنْ ءَانَسْتُم مِّنْهُمْ رُشْدًا فَادْفَعُوا إِلَيْهِمْ أَمْوَالَهُمْ وَلاَتَأْكُلُوهَآ إِسْرَافًا وَبِدَارًا أَن يَكْبَرُوا وَمَن كَانَ غَنِيًّا فَلْيَسْتَعْفِفْ وَمَن كَانَ فَقِيرًا فَلْيَأْكُلْ بِالْمَعْرُوفِ فَإِذَا دَفَعْتُمْ إِلَيْهِمْ أَمْوَالَهُمْ فَأَشْهَدُوا عَلَيْهِمْ وَكَفَى بِاللهِ حَسِيبًا {6}

8- Bacalah ayat ketujuh 20 kali:
لِّلرِّجَالِ نَصِيبُُ مِّمَّا تَرَكَ الْوَالِدَانِ وَاْلأَقْرَبُونَ وَلِلنِّسَآءِ نَصِيبُُ مِّمَّا تَرَكَ الْوَالِدَانِ وَاْلأَقْرَبُونَ مِمَّا قَلَّ مِنْهُ أَوْ كَثُرَ نَصِيبًا مَّفْرُوضًا {7}

9- Bacalah ayat kedelapan 20 kali:
وَإِذَا حَضَرَ الْقِسْمَةَ أُوْلُوا الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينَ فَارْزُقُوهُم مِّنْهُ وَقُولُوا لَهُمْ قَوْلاً مَّعْرُوفًا {8}

10- Kemudian membaca ayat ke 5 hingga ayat ke 8 untuk menggabungkannya sebanyak 20 kali.
11- Bacalah ayat ke 1 hingga ayat ke 8 sebanyak 20 kali untuk memantapkan hafalannya.
Demikian seterusnya hingga selesai seluruh al Quran, dan jangan sampai menghafal dalam sehari lebih dari seperdelapan juz, agar tidak berat bagi anda untuk mengulang dan menjaganya.

BAGAIMANA CARA MENAMBAH HAFALAN PADA HARI BERIKUTNYA?

Jika anda ingin menambah hafalan baru pada hari berikutnya, maka sebelum menambah dengan hafalan baru, maka anda harus membaca hafalan lama dari ayat pertama hingga terakhir sebanyak 20 kali juga hal ini supaya hafalan tersebut kokoh dan kuat dalam ingatan anda, kemudian anda memulai hafalan baru dengan cara yang sama seperti yang anda lakukan ketika menghafal ayat-ayat sebelumnya.

BAGIMANA CARA MENGGABUNG ANTARA MENGULANG (MURAJA'AH) DAN MENAMBAH HAFALAN BARU?
Jangan sekali-kali anda menambah hafalan tanpa mengulang hafalan yang sudah ada sebelumya, karena jika anda menghafal al quran terus-menerus tanpa mengulangnya terlebih dahulu hingga bisa menyelesaikan semua al quran, kemudian anda ingin mengulangnya dari awal niscaya hal itu akan terasa berat sekali, karena secara tidak disadari anda akan banyak kehilangan hafalan yang pernah dihafal dan seolah-olah menghafal dari nol, oleh karena itu cara yang paling baik dalam meghafal al quran adalah dengan mengumpulkan antara murajaah (mengulang) dan menambah hafalan baru. Anda bisa membagi seluruh mushaf menjadi tiga bagian, setiap 10 juz menjadi satu bagian, jika anda dalam sehari menghafal satu halaman maka ulangilah dalam sehari empat halaman yang telah dihafal sebelumnya hingga anda dapat menyelesaikan sepuluh juz, jika anda telah menyelesaikan sepuluh juz maka berhentilah selama satu bulan penuh untuk mengulang yang telah dihafal dengan cara setiap hari anda mengulang sebanyak delapan halaman.
Setelah satu bulan anda mengulang hafalan, anda mulai kembali dengan menghafal hafalan baru sebanyak satu atau dua lembar tergantung kemampuan, dan mengulang setiap harinya 8 halaman sehingga anda bisa menyelesaikan 20 juz, jika anda telah menghafal 20 juz maka berhentilah menghafal selama 2 bulan untuk mengulang, setiap hari anda harus mengulang 8 halaman, jika sudah mengulang selama dua bulan, maka mulailah enghafal kembali setiap harinya satu atau dua halaman tergantung kemampuan dan setiap harinya mengulang apa yang telah dihafal sebanyak 8 lembar, hingga anda bisa menyelesaikan seluruh al-qur an.
Jika anda telah menyelesaikan 30 juz, ulangilah 10 juz pertama secara tersendiri selama satu bulan setiap harinya setengah juz, kemudian pindahlah ke 10 juz berikutnya juga setiap harinya diulang setengah juz ditambah 8 halaman dari sepuluh juz pertama, kemudian pindahlah untuk mengulang sepuluh juz terakhir dengan cara yang hampir sama, yaitu setiapharinya mengulang setengah juz ditambah 8 halaman dari 10 juz pertama dan 8 halaman dari 10 juz kedua.

BAGAIMANA CARA MENGULANG AL-QURAN (30 JUZ) SETELAH MENYELESAIKAN MURAJAAH DIATAS?
Mulailah mengulang al-qur an secara keseluruhan dengan cara setiap harinya mengulang 2 juz, dengan mengulangnya 3 kali dalam sehari, dengan demikian maka anda akan bisa mengkhatamkan al-Quran setiap dua minggu sekali.
Dengan cara ini maka dalam jangka satu tahun insya Allah anda telah mutqin (kokoh) dalam menghafal al qur an, dan lakukanlah cara ini selama satu tahun.

APA YANG DILAKUKAN SETELAH MENGHAFAL AL QUR AN SELAMA SATU TAHUN?
Setelah menguasai hafalan dan mengulangnya dengan itqan (mantap) selama satu tahun, jadikanlah al qur an sebagai wirid harian anda hingga akhir hayat, karena itulah yang dilakukan oleh Nabi  semasa hidupnya, beliau membagi al qur an menjadi tujuh bagian dan setiap harinya beliau mengulang setiap bagian tersebut, sehingga beliau mengkhatamkan al-quran setiap 7 hari sekali.
Aus bin Huzaifah rahimahullah; aku bertanya kepada para sahabat Rasulullah bagiamana cara mereka membagi al qur an untuk dijadikan wirid harian? Mereka menjawab: "kami kelompokan menjadi 3 surat, 5 surat, 7 surat, 9 surat, 11 surat, dan wirid mufashal dari surat qaaf hingga khatam ( al Qur an)". (HR. Ahmad).
Jadi mereka membagi wiridnya sebagai berikut:
- Hari pertama: membaca surat "al fatihah" hingga akhir surat "an-nisa",
- Hari kedua: dari surat "al maidah" hingga akhir surat "at-taubah",
- Hari ketiga: dari surat "yunus" hingga akhir surat "an-nahl",
- Hari keempat: dari surat "al isra" hingga akhir surat "al furqan",
- Hari kelima: dari surat "asy syu'ara" hingga akhir surat "yaasin",
- Hari keenam: dari surat "ash-shafat" hingga akhir surat "al hujurat",
- Hari ketujuh: dari surat "qaaf" hingga akhir surat "an-naas".

Para ulama menyingkat wirid nabi dengan al-Qur an menjadi kata: " Fami bisyauqin ( فمي بشوق ) ", dari masing-masing huruf tersebut menjadi symbol dari surat yang dijadikan wirid Nabi pada setiap harinya maka:
- huruf "fa" symbol dari surat "al fatihah", sebagai awal wirid beliau hari pertama,
- huruf "mim" symbol dari surat "al maidah", sebagai awal wirid beliau hari kedua,
- huruf "ya" symbol dari surat "yunus", sebagai wirid beliau hari ketiga,
- huruf "ba" symbol dari surat "bani israil (nama lain dari surat al isra)", sebagai wirid beliau hari keempat,
- huruf "syin" symbol dari surat "asy syu'ara", sebagai awal wirid beliau hari kelima,
- huruf "wau" symbol dari surat "wa shafaat", sebagai awal wirid beliau hari keenam,
- huruf "qaaf" symbol dari surat "qaaf", sebagai awal wirid beliau hari ketujuh hingga akhir surat "an-nas".

Adapun pembagian hizib yang ada pada al-qur an sekarang ini tidak lain adalah buatan Hajjaj bin Yusuf.

BAGAIMANA CARA MEMBEDAKAN ANTARA BACAAN YANG MUTASYABIH (MIRIP) DALAM AL-QUR AN?
Cara terbaik untuk membedakan antara bacaan yang hampir sama (mutasyabih) adalah dengan cara membuka mushaf lalu bandingkan antara kedua ayat tersebut dan cermatilah perbedaan antara keduanya, kemudian buatlah tanda yang bisa untuk membedakan antara keduanya, dan ketika anda melakukan murajaah hafalan perhatikan perbedaan tersebut dan ulangilah secara terus menerus sehingga anda bisa mengingatnya dengan baik dan hafalan anda menjadi kuat (mutqin).

KAIDAH DAN KETENTUAN MENGHAFAL:
1- Anda harus menghafal melalui seorang guru atau syekh yang bisa membenarkan bacaan anda jika salah.
2- Hafalkanlah setiap hari sebanyak 2 halaman, 1 halaman setelah subuh dan 1 halaman setelah ashar atau maghrib, dengan cara ini insya Allah anda akan bisa menghafal al-qur an secara mutqin dalam kurun waktu satu tahun, akan tetapi jika anda memperbanyak kapasitas hafalan setiap harinya maka anda akan sulit untuk menjaga dan memantapkannya, sehingga hafalan anda akan menjadi lemah dan banyak yang dilupakan.
3- Hafalkanlah mulai dari surat an-nas hingga surat al baqarah (membalik urutan al Qur an), karena hal itu lebih mudah.
4- Dalam menghafal hendaknya menggunakan satu mushaf tertentu baik dalam cetakan maupun bentuknya, hal itu agar lebih mudah untuk menguatkan hafalan dan agar lebih mudah mengingat setiap ayatnya serta permulaan dan akhir setiap halamannya.
5- Setiap yang menghafalkan al-quran pada 2 tahun pertama biasanya akan mudah hilang apa yang telah ia hafalkan, masa ini disebut masa "tajmi'" (pengumpulan hafalan), maka jangan bersedih karena sulitnya mengulang atau banyak kelirunya dalam hafalan, ini merupakan masa cobaan bagi para penghafal al-qur an, dan ini adalah masa yang rentan dan bisa menjadi pintu syetan untuk menggoda dan berusaha untuk menghentikan dari menghafal, maka jangan pedulikan godaannya dan teruslah menghafal, karena meghafal al-quran merupakan harta yang sangat berharga dan tidak tidak diberikan kecuali kepada orag yang dikaruniai Allah swt, akhirnya kita memohon kepada-Nya agar termasuk menjadi hamba-hamba-Nya yang diberi taufiq untuk menghafal dan mengamalkan kitabNya dan mengikuti sunnah nabi-Nya dalam kehidupan yang fana ini. Amin ya rabal 'alamin.

Category: 0 komentar

2. Syarah Hikam

BAGIAN KEDUA
2: AHLI ASBAB DAN AHLI TAJRID

KEINGINAN KAMU UNTUK BERTAJRID PADAHAL ALLAH MASIH MELETAKKAN KAMU DALAM SUASANA ASBAB ADALAH SYAHWAT YANG SAMAR, SEBALIKNYA KEINGINAN KAMU UNTUK BERASBAB PADAHAL ALLAH TELAH MELETAKKAN KAMU DALAM SUASANA TAJRID BERERTI TURUN DARI SEMANGAT DAN TINGKAT YANG TINGGI.

Hikmat 1 menerangkan tanda orang yang bersandar kepada amal. Bergantung kepada amal adalah sifat manusia biasa yang hidup dalam dunia ini. Dunia ini dinamakan alam asbab. Apabila perjalanan hidup keduniaan dipandang melalui mata ilmu atau mata akal akan dapat disaksikan kerapian susunan sistem sebab musabab yang mempengaruhi segala kejadian. Tiap sesuatu berlaku menurut sebab yang menyebabkan ia berlaku. Hubungan sebab dengan akibat sangat erat. Mata akal melihat dengan jelas keberkesanan sebab dalam menentukan akibat. Kerapian sistem sebab musabab ini membolehkan manusia mengambil manfaat daripada anasir dan kejadian alam. Manusia dapat menentukan anasir yang boleh memudaratkan kesihatan lalu menjauhkannya dan manusia juga boleh menentukan anasir yang boleh menjadi ubat lalu menggunakannya. Manusia boleh membuat ramalan cuaca, pasang surut air laut, angin, ombak, letupan gunung berapi dan lain-lain kerana sistem yang mengawal perjalanan anasir alam berada dalam suasana yang sangat rapi dan sempurna, membentuk hubungan sebab dan akibat yang padu.

Allah s.w.t mengadakan sistem sebab musabab yang rapi adalah untuk kemudahan manusia menyusun kehidupan mereka di dunia ini. Kekuatan akal dan pancaindera manusia mampu mentadbir kehidupan yang dikaitkan dengan perjalanan sebab musabab. Hasil daripada pemerhatian dan kajian akal itulah lahir berbagai-bagai jenis ilmu tentang alam dan kehidupan, seperti ilmu sains, astronomi, kedoktoran, teknologi maklumat dan sebagainya. Semua jenis ilmu itu dibentuk berdasarkan perjalanan hukum sebab-akibat.
Kerapian sistem sebab musabab menyebabkan manusia terikat kuat dengan hukum sebab-akibat. Manusia bergantung kepada amal (sebab) dalam mendapatkan hasil (akibat). Manusia yang melihat kepada keberkesanan sebab dalam menentukan akibat serta bersandar dengannya dinamakan ahli asbab.

Sistem sebab musabab atau perjalanan hukum sebab-akibat sering membuat manusia lupa kepada kekuasaan Allah s.w.t. Mereka melakukan sesuatu dengan penuh keyakinan bahawa akibat akan lahir daripada sebab, seolah-olah Allah s.w.t tidak ikut campur dalam urusan mereka. Allah s.w.t tidak suka hamba-Nya ‘mempertuhankan’ sesuatu kekuatan sehingga mereka lupa kepada kekuasaan-Nya. Allah s.w.t tidak suka jika hamba-Nya sampai kepada tahap mempersekutukan diri-Nya dan kekuasaan-Nya dengan anasir alam dan hukum sebab-akibat ciptaan-Nya. Dia yang meletakkan keberkesanan kepada anasir alam berkuasa membuat anasir alam itu lemah semula. Dia yang meletakkan kerapian pada hukum sebab-akibat berkuasa merombak hukum tersebut. Dia mengutuskan rasul-rasul dan nabi-nabi membawa mukjizat yang merombak hukum sebab-akibat bagi mengembalikan pandangan manusia kepada-Nya, agar waham sebab musabab tidak menghijab ketuhanan-Nya. Kelahiran Nabi Isa a.s, terbelahnya laut dipukul oleh tongkat Nabi Musa a.s, kehilangan kuasa membakar yang ada pada api tatkala Nabi Ibrahim a.s masuk ke dalamnya, keluarnya air yang jernih dari jari-jari Nabi Muhammad s.a.w dan banyak lagi yang didatangkan oleh Allah s.w.t, merombak keberkesanan hukum sebab-akibat bagi menyedarkan manusia tentang hakikat bahawa kekuasaan Allah s.w.t yang menerajui perjalanan alam maya dan hukum sebab-akibat. Alam dan hukum yang ada padanya seharusnya membuat manusia mengenal Tuhan, bukan menutup pandangan kepada Tuhan. Sebahagian daripada manusia diselamatkan Allah s.w.t daripada waham sebab musabab.

Sebagai manusia yang hidup dalam dunia mereka masih bergerak dalam arus sebab musabab tetapi mereka tidak meletakkan keberkesanan hukum kepada sebab. Mereka sentiasa melihat kekuasaan Allah s.w.t yang menetapkan atau mencabut keberkesanan pada sesuatu hukum sebab-akibat. Jika sesuatu sebab berjaya mengeluarkan akibat menurut yang biasa terjadi, mereka melihatnya sebagai kekuasaan Allah s.w.t yang menetapkan kekuatan kepada sebab tersebut dan Allah s.w.t juga yang mengeluarkan akibatnya. Allah s.w.t berfirman:
Segala yang ada di langit dan di bumi tetap mengucap tasbih kepada Allah; dan Dialah Yang Maha Kuasa, lagi Maha Bijaksana. Dialah sahaja yang menguasai dan memiliki langit dan bumi; Ia menghidupkan dan mematikan; dan Ia Maha Kuasa atas tiap-tiap sesuatu. ( Ayat 1 & 2 : Surah al-Hadiid )
Maka Kami (Allah) berfirman: “Pukullah si mati dengan sebahagian anggota lembu yang kamu sembelih itu”. (Mereka pun memukulnya dan ia kembali hidup). Demikianlah Allah menghidupkan orang-orang yang telah mati, dan memperlihatkan kepada kamu tanda-tanda kekuasaan-Nya, supaya kamu memahaminya. ( Ayat 73 : Surah al-Baqarah )

Orang yang melihat kepada kekuasaan Allah s.w.t menerajui hukum sebab-akibat tidak meletakkan keberkesanan kepada hukum tersebut. Pergantungannya kepada Allah s.w.t, tidak kepada amal yang menjadi sebab. Orang yang seperti ini dipanggil ahli tajrid.

Ahli tajrid, seperti juga ahli asbab, melakukan sesuatu menurut peraturan sebab-akibat. Ahli tajrid juga makan dan minum Ahli tajrid memanaskan badan dan memasak dengan menggunakan api juga. Ahli tajrid juga melakukan sesuatu pekerjaan yang berhubung dengan rezekinya. Tidak ada perbezaan di antara amal ahli tajrid dengan amal ahli asbab. Perbezaannya terletak di dalam diri iaitu hati. Ahli asbab melihat kepada kekuatan hukum alam. Ahli tajrid melihat kepada kekuasaan Allah s.w.t pada hukum alam itu. Walaupun ahli asbab mengakui kekuasaan Allah s.w.t tetapi penghayatan dan kekuatannya pada hati tidak sekuat ahli tajrid.

Dalam melakukan kebaikan ahli asbab perlu melakukan mujahadah. Mereka perlu memaksa diri mereka berbuat baik dan perlu menjaga kebaikan itu agar tidak menjadi rosak. Ahli asbab perlu memperingatkan dirinya supaya berbuat ikhlas dan perlu melindungi keikhlasannya agar tidak dirosakkan oleh riak (berbuat baik untuk diperlihatkan kepada orang lain agar dia dikatakan orang baik), takbur (sombong dan membesar diri, merasakan diri sendiri lebih baik, lebih tinggi, lebih kuat dan lebih cerdik daripada orang lain) dan sama’ah (membawa perhatian orang lain kepada kebaikan yang telah dibuatnya dengan cara bercerita mengenainya, agar orang memperakui bahawa dia adalah orang baik). Jadi, ahli asbab perlu memelihara kebaikan sebelum melakukannya dan juga selepas melakukannya. Suasana hati ahli tajrid berbeza daripada apa yang dialami oleh ahli asbab. Jika ahli asbab memperingatkan dirinya supaya ikhlas, ahli tajrid tidak melihat kepada ikhlas kerana mereka tidak bersandar kepada amal kebaikan yang mereka lakukan. Apa juga kebaikan yang keluar daripada mereka diserahkan kepada Allah s.w.t yang mengurniakan kebaikan tersebut. Ahli tajrid tidak perlu menentukan perbuatannya ikhlas atau tidak ikhlas. Melihat keihklasan pada perbuatan sama dengan melihat diri sendiri yang ikhlas. Apabila seseorang merasakan dirinya sudah ikhlas, padanya masih tersembunyi keegoan diri yang membawa kepada riak, ujub (merasakan diri sendiri sudah baik) dan sama’ah. Apabila tangan kanan berbuat ikhlas dalam keadaan tangan kiri tidak menyedari perbuatan itu baharulah tangan kanan itu benar-benar ikhlas. Orang yang ikhlas berbuat kebaikan dengan melupakan kebaikan itu. Ikhlas sama seperti harta benda. Jika seorang miskin diberi harta oleh jutawan, orang miskin itu malu mendabik dada kepada jutawan itu dengan mengatakan yang dia sudah kaya. Orang tajrid yang diberi ikhlas oleh Allah s.w.t mengembalikan kebaikan mereka kepada Allah s.w.t. Jika harta orang miskin itu hak si jutawan tadi, ikhlas orang tajrid adalah hak Allah s.w.t. Jadi, orang asbab bergembira kerana melakukan perbuatan dengan ikhlas, orang tajrid pula melihat Allah s.w.t yang mentadbir sekalian urusan. Ahli asbab dibawa kepada syukur, ahli tajrid berada dalam penyerahan.

Kebaikan yang dilakukan oleh ahli asbab merupakan teguran agar mereka ingat kepada Allah s.w.t yang memimpin mereka kepada kebaikan. Kebaikan yang dilakukan oleh ahli tajrid merupakan kurniaan Allah s.w.t kepada kumpulan manusia yang tidak memandang kepada diri mereka dan kepentingannya. Ahli asbab melihat kepada keberkesanan hukum sebab-akibat. Ahli tajrid pula melihat kepada keberkesanan kekuasaan dan ketentuan Allah s.w.t. Dari kalangan ahli tajrid, Allah s.w.t memilih sebahagiannya dan meletakkan kekuatan hukum pada mereka. Kumpulan ini bukan sekadar tidak melihat kepada keberkesanan hukum sebab-akibat, malah mereka berkekuatan menguasai hukum sebab-akibat itu. Mereka adalah nabi-nabi dan wali-wali pilihan. Nabi-nabi dianugerahkan mukjizat dan wali-wali dianugerahkan kekeramatan. Mukjizat dan kekeramatan merombak keberkesanan hukum sebab-akibat.

Di dalam kumpulan wali-wali pilihan yang dikurniakan kekuatan mengawal hukum sebab-akibat itu terdapatlah orang-orang seperti Syeikh Abdul Kadir al-Jailani, Abu Hasan as-Sazili, Rabiatul Adawiah, Ibrahim Adham dan lain-lain. Cerita tentang kekeramatan mereka sering diperdengarkan. Orang yang cenderung kepada tarekat tasauf gemar menjadikan kehidupan aulia Allah s.w.t tersebut sebagai contoh, dan yang mudah memikat perhatian adalah bahagian kekeramatan. Kekeramatan biasanya dikaitkan dengan perilaku kehidupan yang zuhud dan bertawakal sepenuhnya kepada Allah s.w.t. Timbul anggapan bahawa jika mahu memperolehi kekeramatan seperti mereka mestilah hidup sebagaimana mereka. Orang yang berada pada peringkat permulaan bertarekat cenderung untuk memilih jalan bertajrid iaitu membuang segala ikhtiar dan bertawakal sepenuhnya kepada Allah s.w.t. Sikap melulu bertajrid membuat seseorang meninggalkan pekerjaan, isteri, anak-anak, masyarakat dan dunia seluruhnya. Semua harta disedekahkan kerana dia melihat Saidina Abu Bakar as-Siddik telah berbuat demikian. Ibrahim bin Adham telah meninggalkan takhta kerajaan, isteri, anak, rakyat dan negerinya lalu tinggal di dalam gua. Biasanya orang yang bertindak demikian tidak dapat bertahan lama. Kesudahannya dia mungkin meninggalkan kumpulan tarekatnya dan kembali kepada kehidupan duniawi. Ada juga yang kembali kepada kehidupan yang lebih buruk daripada keadaannya sebelum bertarekat dahulu kerana dia mahu menebus kembali apa yang telah ditinggalkannya dahulu untuk bertarekat. Keadaan yang demikian berlaku akibat bertajrid secara melulu. Orang yang baharu masuk ke dalam bidang latihan kerohanian sudah mahu beramal seperti aulia Allah s.w.t yang sudah berpuluh-puluh tahun melatihkan diri. Tindakan mencampak semua yang dimilikinya secara tergesa-gesa membuatnya berhadapan dengan cabaran dan dugaan yang boleh menggoncangkan imannya dan mungkin juga membuatnya berputus-asa. Apa yang harus dilakukan bukanlah meniru kehidupan aulia Allah s.w.t yang telah mencapai makam yang tinggi secara melulu. Seseorang haruslah melihat kepada dirinya dan mengenalpasti kedudukannya, kemampuanya dan daya-tahannya. Ketika masih di dalam makam asbab seseorang haruslah bertindak sesuai dengan hukum sebab-akibat. Dia harus bekerja untuk mendapatkan rezekinya dan harus pula berusaha menjauhkan dirinya daripada bahaya atau kemusnahan.

Ahli asbab perlu berbuat demikian kerana dia masih lagi terikat dengan sifat-sifat kemanusiaan. Dia masih lagi melihat bahawa tindakan makhluk memberi kesan kepada dirinya. Oleh yang demikian adalah wajar sekiranya dia mengadakan juga tindakan yang menurut pandangannya akan mendatangkan kesejahteraan kepada dirinya dan orang lain. Tanda Allah s.w.t meletakkan seseorang pada kedudukan sebagai ahli asbab ialah apabila urusannya dan tindakannya yang menurut kesesuaian hukum sebab-akibat tidak menyebabkannya mengabaikan kewajipan terhadap tuntutan agama. Dia tetap berasa rengan untuk berbakti kepada Allah s.w.t, tidak gelojoh dengan nikmat duniawi dan tidak berasa iri hati terhadap orang lain. Apabila ahli asbab berjalan menurut hukum asbab maka jiwanya akan maju dan berkembang dengan baik tanpa menghadapi kegoncangan yang besar yang boleh menyebabkan dia berputus asa dari rahmat Allah s.w.t. Rohaninya akan menjadi kuat sedikit demi sedikit dan menolaknya ke dalam makam tajrid secara selamat. Akhirnya dia mampu untuk bertajrid sepenuhnya.

Ada pula orang yang dipaksa oleh takdir supaya bertajrid. Orang ini asalnya adalah ahli asbab yang berjalan menurut hukum sebab-akibat sebagaimana orang ramai. Kemungkinannya kehidupan seperti itu tidak menambahkan kematangan rohaninya. Perubahan jalan perlu baginya supaya dia boleh maju dalam bidang kerohanian. Oleh itu takdir bertindak memaksanya untuk terjun ke dalam lautan tajrid. Dia akan mengalami keadaan di mana hukum sebab-akibat tidak lagi membantunya untuk menyelesaikan masalahnya. Sekiranya dia seorang raja, takdir mencabut kerajaannya. Sekiranya dia seorang hartawan, takdir menghapuskan hartanya. Sekiranya dia seorang yang cantik, takdir menghilangkan kecantikannya itu. Takdir memisahkannya daripada apa yang dimiliki dan dikasihinya. Pada peringkat permulaan menerima kedatangan takdir yang demikian, sebagai ahli asbab, dia berikhtiar menurut hukum sebab-akibat untuk mempertahankan apa yang dimiliki dan dikasihinya. Jika dia tidak terdaya untuk menolong dirinya dia akan meminta pertolongan orang lain. Setelah puas dia berikhtiar termasuklah bantuan orang lain namun, tangan takdir tetap juga merombak sistem sebab-akibat yang terjadi ke atas dirinya. Apabila dia sendiri dengan dibantu oleh orang lain tidak mampu mengatasi arus takdir maka dia tidak ada pilihan kecuali berserah kepada takdir. Dalam keadaan begitu dia akan lari kepada Allah s.w.t dan merayu agar Allah s.w.t menolongnya. Pada peringkat ini seseorang itu akan kuat beribadat dan menumpukan sepenuh hatinya kepada Tuhan. Dia benar-benar berharap Tuhan akan menolongnya mengembalikan apa yang pernah dimilikinya dan dikasihinya. Tetapi, pertolongan tidak juga sampai kepadanya sehinggalah dia benar-benar terpisah dari apa yang dimiliki dan dikasihinya itu. Luputlah harapannya untuk memperolehinya kembali. Redalah dia dengan perpisahan itu. Dia tidak lagi merayu kepada Tuhan sebaliknya dia menyerahkan segala urusannya kepada Tuhan. Dia menyerah bulat-bulat kepada Allah s.w.t, tidak ada lagi ikhtiar, pilihan dan kehendak diri sendiri. Jadilah dia seorang hamba Allah s.w.t yang bertajrid. Apabila seseorang hamba benar-benar bertajrid maka Allah s.w.t sendiri akan menguruskan kehidupannya. Allah s.w.t menggambarkan suasana tajrid dengan firman-Nya:
Dan (ingatlah) berapa banyak binatang yang tidak membawa rezekinya bersama, Allah jualah yang memberi rezeki kepadanya dan kepada kamu; dan Dialah jua Yang Maha Mendengar, lagi Maha Mengetahui. ( Ayat 60 : Surah al-‘Ankabut )

Makhluk Allah s.w.t seperti burung, ikan, kuman dan sebagainya tidak memiliki tempat simpanan makanan. Mereka adalah ahli tajrid yang dijamin rezeki mereka oleh Allah s.w.t. Jaminan Allah s.w.t itu meliputi juga bangsa manusia. Tanda Allah s.w.t meletakkan seseorang hamba-Nya di dalam makam tajrid ialah Allah s.w.t memudahkan baginya rezeki yang datang dari arah yang tidak diduganya. Jiwanya tetap tenteram sekalipun terjadi kekurangan pada rezeki atau ketika menerima bala ujian.

Sekiranya ahli tajrid sengaja memindahkan dirinya kepada makam asbab maka ini bermakna dia melepaskan jaminan Allah s.w.t lalu bersandar kepada makhluk . Ini menunjukkan akan kejahilannya tentang rahmat dan kekuasaan Allah s.w.t. Tindakan yang jahil itu boleh menyebabkan berkurangan atau hilang terus keberkatan yang Allah s.w.t kurniakan kepadanya. Misalnya, seorang ahli tajrid yang tidak mempunyai sebarang pekerjaan kecuali membimbing orang ramai kepada jalan Allah s.w.t, walaupun tidak mempunyai sebarang pekerjaan namun, rezeki datang kepadanya dari berbagai-bagai arah dan tidak pernah putus tanpa dia meminta-minta atau mengharap-harap. Pengajaran yang disampaikan kepada murid-muridnya sangat berkesan sekali. Keberkatannya amat ketara seperti makbul doa dan ucapannya biasanya menjadi kenyataan. Andainya dia meninggalkan suasana bertajrid lalu berasbab kerana tidak puas hati dengan rezeki yang diterimanya maka keberkatannya akan terjejas. Pengajarannya, doanya dan ucapannya tidak seberkesan dahulu lagi. Ilham yang datang kepadanya tersekat-sekat dan kefasihan lidahnya tidak selancar biasa.

Seseorang hamba haruslah menerima dan reda dengan kedudukan yang Allah s.w.t kurniakan kepadanya. Berserahlah kepada Allah s.w.t dengan yakin bahawa Allah Maha Mengetahui dan Maha Bijaksana. Allah s.w.t tahu apa yang patut bagi setiap makhluk-Nya. Allah s.w.t sangat bijak mengatur urusan hamba-hamba-Nya.

Keinginan kepada pertukaran makam merupakan tipu daya yang sangat halus. Di dalamnya tersembunyi rangsangan nafsu yang sukar disedari. Nafsu di sini merangkumi kehendak, cita-cita dan angan-angan. Orang yang baharu terbuka pintu hatinya setelah lama hidup di dalam kelalaian, akan mudah tergerak untuk meninggalkan suasana asbab dan masuk ke dalam suasana tajrid. Orang yang telah lama berada dalam suasana tajrid, apabila kesedaran dirinya kembali sepenuhnya, ikut kembali kepadanya adalah keinginan, cita-cita dan angan-angan. Nafsu mencuba untuk bangkit semula menguasai dirinya. Orang asbab perlulah menyedari bahawa keinginannya untuk berpindah kepada makam tajrid itu mungkin secara halus digerakkan oleh ego diri yang tertanam jauh dalam jiwanya. Orang tajrid pula perlu sedar keinginannya untuk kembali kepada asbab itu mungkin didorong oleh nafsu rendah yang masih belum berpisah dari hatinya. Ulama tasauf mengatakan seseorang mungkin dapat mencapai semua makam nafsu, tetapi nafsu peringkat pertama tidak kunjung padam. Oleh yang demikian perjuangan atau mujahadah mengawasi nafsu sentiasa berjalan.
TAJUK 3

KANDUNGAN

SYARAH AL-HIKAM

Category: 0 komentar

1. Syarah Hikam

BAGIAN PERTAMA
1: PERBUATAN DHAHIR DAN SUASANA HATI

SEBAHAGIAN DARIPADA TANDA BERSANDAR KEPADA AMAL (PERBUATAN ZAHIR) ADALAH BERKURANGAN HARAPANNYA (SUASANA HATI) TATKALA BERLAKU PADANYA KESALAHAN.


Imam Ibnu Athaillah memulakan Kalam Hikmat beliau dengan mengajak kita merenung kepada hakikat amal. Amal boleh dibahagikan kepada dua jenis iaitu perbuatan zahir dan perbuatan hati atau suasana hati berhubung dengan perbuatan zahir itu. Beberapa orang boleh melakukan perbuatan zahir yang serupa tetapi suasana hati berhubung dengan perbuatan zahir itu tidak serupa. Kesan amalan zahir kepada hati berbeza antara seorang dengan seorang yang lain. Jika amalan zahir itu mempengaruhi suasana hati, maka hati itu dikatakan bersandar kepada amalan zahir. Jika hati dipengaruhi juga oleh amalan hati, maka hati itu dikatakan bersandar juga kepada amal, sekalipun ianya amalan batin. Hati yang bebas daripada bersandar kepada amal sama ada amal zahir atau amal batin adalah hati yang menghadap kepada Allah s.w.t dan meletakkan pergantungan kepada-Nya tanpa membawa sebarang amal, zahir atau batin, serta menyerah sepenuhnya kepada Allah s.w.t tanpa sebarang takwil atau tuntutan. Hati yang demikian tidak menjadikan amalnya, zahir dan batin, walau berapa banyak sekalipun, sebagai alat untuk tawar menawar dengan Tuhan bagi mendapatkan sesuatu. Amalan tidak menjadi perantaraan di antaranya dengan Tuhannya. Orang yang seperti ini tidak membataskan kekuasaan dan kemurahan Tuhan untuk tunduk kepada perbuatan manusia. Allah s.w.t Yang Maha Berdiri Dengan Sendiri berbuat sesuatu menurut kehendak-Nya tanpa dipengaruhi oleh sesiapa dan sesuatu. Apa sahaja yang mengenai Allah s.w.t adalah mutlak, tiada had, sempadan dan perbatasan. Oleh kerana itu orang arif tidak menjadikan amalan sebagai sempadan yang mengongkong ketuhanan Allah s.w.t atau ‘memaksa’ Allah s.w.t berbuat sesuatu menurut perbuatan makhluk. Perbuatan Allah s.w.t berada di hadapan dan perbuatan makhluk di belakang. Tidak pernah terjadi Allah s.w.t mengikuti perkataan dan perbuatan seseorang atau sesuatu.Sebelum menjadi seorang yang arif, hati manusia memang berhubung rapat dengan amalan dirinya, baik yang zahir mahu pun yang batin. Manusia yang kuat bersandar kepada amalan zahir adalah mereka yang mencari faedah keduniaan dan mereka yang kuat bersandar kepada amalan batin adalah yang mencari faedah akhirat. Kedua-dua jenis manusia tersebut berkepercayaan bahawa amalannya menentukan apa yang mereka akan perolehi baik di dunia dan juga di akhirat. Kepercayaan yang demikian kadang-kadang membuat manusia hilang atau kurang pergantungan dengan Tuhan. Pergantungan mereka hanyalah kepada amalan semata-mata ataupun jika mereka bergantung kepada Allah s.w.t, pergantungan itu bercampur dengan keraguan. Seseorang manusia boleh memeriksa diri sendiri apakah kuat atau lemah pergantungannya kepada Allah s.w.t. Kalam Hikmat 1 yang dikeluarkan oleh Ibnu Athaillah memberi petunjuk mengenainya. Lihatlah kepada hati apabila kita terperosok ke dalam perbuatan maksiat atau dosa. Jika kesalahan yang demikian membuat kita berputus asa daripada rahmat dan pertolongan Allah s.w.t itu tandanya pergantungan kita kepada-Nya sangat lemah. Firman-Nya:
“Wahai anak-anakku! Pergilah dan intiplah khabar berita mengenai Yusuf dan saudaranya (Bunyamin), dan janganlah kamu berputus asa dari rahmat serta pertolongan Allah. Sesungguhnya tidak berputus asa dari rahmat dan pertolongan Allah melainkan kaum yang kafir ”. ( Ayat 87 : Surah Yusuf )

Ayat di atas menceritakan bahawa orang yang beriman kepada Allah s.w.t meletakkan pergantungan kepada-Nya walau dalam keadaan bagaimana sekali pun. Pergantungan kepada Allah s.w.t membuat hati tidak berputus asa dalam menghadapi dugaan hidup. Kadang-kadang apa yang diingini, dirancangkan dan diusahakan tidak mendatangkan hasil yang diharapkan. Kegagalan mendapatkan sesuatu yang diingini bukan bermakna tidak menerima pemberian Allah s.w.t. Selagi seseorang itu beriman dan bergantung kepada-Nya selagi itulah Dia melimpahkan rahmat-Nya. Kegagalan memperolehi apa yang dihajatkan bukan bermakna tidak mendapat rahmat Allah s.w.t. Apa juga yang Allah s.w.t lakukan kepada orang yang beriman pasti terdapat rahmat-Nya, walaupun dalam soal tidak menyampaikan hajatnya. Keyakinan terhadap yang demikian menjadikan orang yang beriman tabah menghadapi ujian hidup, tidak sekali-kali berputus asa. Mereka yakin bahawa apabila mereka sandarkan segala perkara kepada Allah s.w.t, maka apa juga amal kebaikan yang mereka lakukan tidak akan menjadi sia-sia.

Orang yang tidak beriman kepada Allah s.w.t berada dalam situasi yang berbeza. Pergantungan mereka hanya tertuju kepada amalan mereka, yang terkandung di dalamnya ilmu dan usaha. Apabila mereka mengadakan sesuatu usaha berdasarkan kebolehan dan pengetahuan yang mereka ada, mereka mengharapkan akan mendapat hasil yang setimpal. Jika ilmu dan usaha (termasuklah pertolongan orang lain) gagal mendatangkan hasil, mereka tidak mempunyai tempat bersandar lagi. Jadilah mereka orang yang berputus asa. Mereka tidak dapat melihat hikmat kebijaksanaan Allah s.w.t mengatur perjalanan takdir dan mereka tidak mendapat rahmat dari-Nya.

Jika orang kafir tidak bersandar kepada Allah s.w.t dan mudah berputus asa, di kalangan sebahagian orang Islam juga ada yang demikian, bergantung setakat mana sifatnya menyerupai sifat orang kafir. Orang yang seperti ini melakukan amalan kerana kepentingan diri sendiri, bukan kerana Allah s.w.t. Orang ini mungkin mengharapkan dengan amalannya itu dia dapat mengecapi kemakmuran hidup di dunia.Dia mengharapkan semoga amal kebajikan yang dilakukannya dapat mengeluarkan hasil dalam bentuk bertambah rezekinya, kedudukannya atau pangkatnya, orang lain semakin menghormatinya dan dia juga dihindarkan daripada bala penyakit, kemiskinan dan sebagainya. Bertambah banyak amal kebaikan yang dilakukannya bertambah besarlah harapan dan keyakinannya tentang kesejahteraan hidupnya.

Sebahagian kaum muslimin yang lain mengaitkan amal kebaikan dengan kemuliaan hidup di akhirat. Mereka memandang amal salih sebagai tiket untuk memasuki syurga, juga bagi menjauhkan azab api neraka. Kerohanian orang yang bersandar kepada amal sangat lemah, terutamanya mereka yang mencari keuntungan keduniaan dengan amal mereka. Mereka tidak tahan menempuh ujian. Mereka mengharapkan perjalanan hidup mereka sentiasa selesa dan segala-segalanya berjalan menurut apa yang dirancangkan. Apabila sesuatu itu berlaku di luar jangkaan, mereka cepat naik panik dan gelisah. Bala bencana membuat mereka merasakan yang merekalah manusia yang paling malang di atas muka bumi ini. Bila berjaya memperoleh sesuatu kebaikan, mereka merasakan kejayaan itu disebabkan kepandaian dan kebolehan mereka sendiri. Mereka mudah menjadi ego serta suka menyombong.

Apabila rohani seseorang bertambah teguh dia melihat amal itu sebagai jalan untuknya mendekatkan diri dengan Tuhan. Hatinya tidak lagi cenderung kepada faedah duniawi dan ukhrawi tetapi dia berharap untuk mendapatkan kurniaan Allah s.w.t seperti terbuka hijab-hijab yang menutupi hatinya. Orang ini merasakan amalnya yang membawanya kepada Tuhan. Dia sering mengaitkan pencapaiannya dalam bidang kerohanian dengan amal yang banyak dilakukannya seperti berzikir, bersembahyang sunat, berpuasa dan lain-lain. Bila dia tertinggal melakukan sesuatu amal yang biasa dilakukannya atau bila dia tergelincir melakukan kesalahan maka dia berasa dijauhkan oleh Tuhan. Inilah orang yang pada peringkat permulaan mendekatkan dirinya dengan Tuhan melalui amalan tarekat tasauf.

Jadi, ada golongan yang bersandar kepada amal semata-mata dan ada pula golongan yang bersandar kepada Tuhan melalui amal. Kedua-dua golongan tersebut berpegang kepada keberkesanan amal dalam mendapatkan sesuatu. Golongan pertama kuat berpegang kepada amal zahir, iaitu perbuatan zahir yang dinamakan usaha atau ikhtiar. Jika mereka tersalah memilih ikhtiar, hilanglah harapan mereka untuk mendapatkan apa yang mereka hajatkan. Ahli tarekat yang masih diperingkat permulaan pula kuat bersandar kepada amalan batin seperti sembahyang dan berzikir. Jika mereka tertinggal melakukan sesuatu amalan yang biasa mereka lakukan, akan berkurangan harapan mereka untuk mendapatkan anugerah dari Allah s.w.t. Sekiranya mereka tergelincir melakukan dosa, akan putuslah harapan mereka untuk mendapatkan anugerah Allah s.w.t.

Dalam perkara bersandar kepada amal ini, termasuklah juga bersandar kepada ilmu, sama ada ilmu zahir atau ilmu batin. Ilmu zahir adalah ilmu pentadbiran dan pengurusan sesuatu perkara menurut kekuatan akal. Ilmu batin pula adalah ilmu yang menggunakan kekuatan dalaman bagi menyampaikan hajat. Ia termasuklah penggunaan ayat-ayat al-Quran dan jampi. Kebanyakan orang meletakkan keberkesanan kepada ayat, jampi dan usaha, hinggakan mereka lupa kepada Allah s.w.t yang meletakkan keberkesanan kepada tiap sesuatu itu.

Seterusnya, sekiranya Tuhan izinkan, kerohanian seseorang meningkat kepada makam yang lebih tinggi. Nyata di dalam hatinya maksud kalimat:

Tiada daya dan upaya kecuali beserta Allah.
“Padahal Allah yang mencipta kamu dan benda-benda yang kamu perbuat itu!” ( Ayat 96 : Surah as- Saaffaat )

Orang yang di dalam makam ini tidak lagi melihat kepada amalnya, walaupun banyak amal yang dilakukannya namun, hatinya tetap melihat bahawa semua amalan tersebut adalah kurniaan Allah s.w.t kepadanya. Jika tidak kerana taufik dan hidayat dari Allah s.w.t tentu tidak ada amal kebaikan yang dapat dilakukannya. Allah s.w.t berfirman:
“Ini ialah dari limpah kurnia Tuhanku, untuk mengujiku adakah aku bersyukur atau aku tidak mengenangkan nikmat pemberian-Nya. Dan (sebenarnya) sesiapa yang bersyukur maka faedah syukurnya itu hanyalah terpulang kepada dirinya sendiri, dan sesiapa yang tidak bersyukur (maka tidaklah menjadi masalah kepada Allah), kerana sesungguhnya Tuhanku Maha Kaya, lagi Maha Pemurah”. ( Ayat 40 : Surah an-Naml )
Dan tiadalah kamu berkemahuan (melakukan sesuatu perkara) melainkan dengan cara yang dikehendaki Allah; sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui, lagi Maha Bijaksana (mengaturkan sebarang perkara yang dikehendaki-Nya). Ia memasukkan sesiapa yang kehendaki-Nya (menurut aturan yang ditetapkan) ke dalam rahmat-Nya (dengan ditempatkan-Nya di dalam syurga); dan orang-orang yang zalim, Ia menyediakan untuk mereka azab seksa yang tidak terperi sakitnya. ( Ayat 30 & 31 : Surah al-Insaan )

Segala-galanya adalah kurniaan Allah s.w.t dan menjadi milik-Nya. Orang ini melihat kepada takdir yang Allah s.w.t tentukan, tidak terlihat olehnya keberkesanan perbuatan makhluk termasuklah perbuatan dirinya sendiri. Makam ini dinamakan makam ariffin iaitu orang yang mengenal Allah s.w.t. Golongan ini tidak lagi bersandar kepada amal namun, merekalah yang paling kuat mengerjakan amal ibadat.

Orang yang masuk ke dalam lautan takdir, reda dengan segala yang ditentukan Allah s.w.t, akan sentiasa tenang, tidak berdukacita bila kehilangan atau ketiadaan sesuatu. Mereka tidak melihat makhluk sebagai penyebab atau pengeluar kesan.

Di awal perjalanan menuju Allah s.w.t, seseorang itu kuat beramal menurut tuntutan syariat. Dia melihat amalan itu sebagai kenderaan yang boleh membawanya hampir dengan Allah s.w.t. Semakin kuat dia beramal semakin besarlah harapannya untuk berjaya dalam perjalanannya. Apabila dia mencapai satu tahap, pandangan mata hatinya terhadap amal mula berubah. Dia tidak lagi melihat amalan sebagai alat atau penyebab. Pandangannya beralih kepada kurniaan Allah s.w.t. Dia melihat semua amalannya adalah kurniaan Allah s.w.t kepadanya dan kehampirannya dengan Allah s.w.t juga kurniaan-Nya. Seterusnya terbuka hijab yang menutupi dirinya dan dia mengenali dirinya dan mengenali Tuhannya. Dia melihat dirinya sangat lemah, hina, jahil, serba kekurangan dan faqir. Tuhan adalah Maha Kaya, Berkuasa, Mulia, Bijaksana dan Sempurna dalam segala segi. Bila dia sudah mengenali dirinya dan Tuhannya, pandangan mata hatinya tertuju kepada Kudrat dan Iradat Allah s.w.t yang menerajui segala sesuatu dalam alam maya ini. Jadilah dia seorang arif yang sentiasa memandang kepada Allah s.w.t, berserah diri kepada-Nya, bergantung dan berhajat kepada-Nya. Dia hanyalah hamba Allah s.w.t yang faqir.
TAJUK 2

KANDUNGAN

SYARAH AL-HIKAM

Category: 1 komentar

القرآن الكريم